Sunday, November 13, 2011

Peran Orangtua Bagi Anak Penyandang Disabilitas dalam Menjawab Pandangan Masyarakat

 Disabilitas dan Pandangan Masyarakat’. Saat membaca tema kontes menulis blog semi SEO dari Kartunet ini, saya langsung teringat pernah menonton kisah tentang seorang personil grup vokal akapela yang terlahir menyandang disabilitas pada kaki dan tangannya. Waktu itu dikisahkan sang ibu gigih mengajar anak penyandang disabilitas itu untuk menyetir mobil. Pandangan masyarakat kebanyakan memberi tanggapan seperti:  “Koq tega ya, masa anak penyandang disabilitas seperti itu diajar nyetir mobil, kan kasihan ...”
Menanggapi hal ini, sang ibu berkata, “Selama Saya masih ada, Saya bisa menolong anak Saya. Bagaimana kalau Saya tidak ada kelak. Siapa yang mau membantu anak Saya?” Saya salut dengan sang ibu. Ia dengan ‘tega’-nya mengajar anaknya yang menyandang disabilitas supaya bisa menyetir agar anaknya tidak bergantung kepada siapa pun. Supaya sang anak bisa mandiri. Sangat beruntung sang anak yang memiliki orangtua seperti ini. Bukan karena tidak sayang, tetapi justru inilah wujud kasih sayang sejati. Karena dunia ini keras, bahkan penyandang disabilitas sekali pun harus memenangkan pertarungan.

Di rimba dunia ini, terdapat ambiguitas yaitu dalam persaingan tak mengenal penyandang disabilitas dan bukan yang menuntut penyandang disabilitas untuk mampu bertahan hidup sementara pandangan masyarakat cenderung menganggap penyandang disabilitas lemah sehingga menutup kesempatan bagi penyandang disabilitas untuk bersaing.
Bahkan jika dalam pandangan masyarakat inklusivisme sudah terwujud sekali pun, seorang penyandang disabilitas harus bisa bersaing dengan mereka yang bukan penyandang disabilitas dan merebut cita-cita seperti yang mereka idam-idamkan. Dari artikel yang saya baca di website Kartunet, saya menyimpulkan  masyarakat inklusi adalah sebuah sistem di mana pandangan masyarakatnya memberi kesempatan yang sama bagi para penyandang disabilitas dengan mereka yang normal dengan memberikan metode yang lebih bersahabat dengan mereka sehingga mereka bisa mengakses berbagai infra struktur, pelayanan, dan juga pendidikan untuk publik.

http://www.kartunet.com
Dengan demikian masyarakat dan penyandang disabilitas bisa saling bersinergi tanpa adanya jurang dikotomi antara penyandang ‘disabilitas’ dan ‘bukan disabilitas’. Terus terang, saya pun mengidam-idamkan adanya masyarakat inklusi. Karena sungguh tak adil jika kita tak memberi kesempatan kepada seseorang hanya karena disabilitas pada fisiknya padahal ia memiliki banyak potensi besar dalam hal lain.
Saya terhenyak membaca kisah di blog kawan saya Nunu saat ia melamar di sebuah SMK Umum sebelas tahun yang lalu dan ditolak oleh sang penentu kebijakan di situ dengan alasan:
“Pengalaman kami beberapa tahun yang lalu, kami menerima siswa yang memiliki cacat pada jari-jari tangannya, ketika dia menjalani mata pelajaran tersebut siswa itu kena pukul oleh gurunya karena tidak bisa memaksimalkan penggunaan jarinya.  Akhirnya siswa tersebut mengadu ke orang tuanya, dan mereka komplain kepada guru kami. Karena kami tidak ingin mendapatkan masalah yang sama sebaiknya sedari awal kami tidak menerima kamu di sekolah ini”.  
Spontan saya berkata, “Wah, kenapa kesempatan siswanya yang dibatasi, harusnya gurunya yang diganti dong.” Seberapa besar sih peran pelajaran mengetik itu? Apa sampai menentukan hidup dan mati seseorang sampai-sampai si guru mengetik berbuat seperti itu? Kalau siswanya tidak bisa mengetik cepat ya sudah, dikasih nilai ‘cukup’ saja, 6 atau 7 sudah lumayan. Toh siswa yang penyandang disabilitas itu tidak menuntut dikasih nilai 9? Aneh ...
Namun demikian saya salut sekali dengan orangtua dan nenek Nunu yang menyekolahkan Nunu di sekolah umum, bukannya di SLB agar percaya dirinya tumbuh. Saya juga salut sama Nunu yang cerdas yang punya daya juang tinggi. Ia akhirnya bisa menyelesaikan kuliahnya di sebuah STMIK dan bekerja. Keep fighting Nu!
Orangtua anak yang penyandang disabilitas, seharusnya seperti orangtua si penyanyi di atas dan juga seperti orangtua Nunu. Orangtua seharusnya bisa mempersiapkan anaknya untuk kelak dapat bersaing hidup di belantara kehidupan. Saat orangtua masih ada, ia bisa membantu anaknya dalam hal apapun. Tapi kelak jika mereka berpulang, sang anak harus bisa ‘berdikari’: berdiri di atas kaki mereka sendiri.
Dalam hal ini, peran serta pemerintah sangat dibutuhkan. Syukur alhamdulillah, pada bulan Oktober lalu DPR bersama Pemerintah menyepakati untuk mengesahkan  hak-hak Para Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Persons with Disabilities/CRPD) ke dalam hukum nasional Indonesia dalam bentuk undang-undang. Dengan langkah tersebut berarti Indonesia secara resmi telah menjadi Negara Pihak (State Party) dalam CRPD sehingga ketundukan atas prosedur dan mekanisme hukum HAM internasional menjadi keniscayaan. Sikap ini patut didukung dan diapresiasi dalam upaya mendorong langkah-langkah akseleratif perlindungan dan penemuhan HAM bagi penyandang disabilitas[i].
Dalam kaitannya dengan hal di atas semoga website Kartunet mampu menjadi motivator utama bagi para orangtua yang memiliki anak penyandang disabilitas dan mampu menyebar ‘virus’ kesadaran dalam pandangan masyarakat kita mengenai pentingnya masyarakat inklusi terwujud, bukan hanya bagi penyandang disabilitas tetapi juga bagi pandangan masyarakat itu sendiri. Dengan demikian, semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang hakiki dapat mewujud dalam pandangan masyarakat yang merangkul setiap pribadi individu yang unik dengan latar belakang, budaya, karakteristik dan kemampuan berbeda. Karena sejatinya keunikan dan perbedaan setiap pribadi individu mewarnai keberagaman masyarakat kita di Indonesia, termasuk para saudara kita penyandang disabilitas.
Makassar, 14 November 2011

No comments:

Post a Comment