Tidak terasa usia pernikahan saya saat ini hampir dua belas tahun. Sejak gadis, saya sangat sering mengalami masalah dalam menstruasi, sering kali saya tidak haid selama berbulan-bulan, selama 3 bulan, 4 bulan, bahkan pernah selama 6 bulan. Untuk bisa haid dengan normal layaknya gadis-gadis lain, saya harus berobat ke dokter kandungan, sin she, hingga tabib pengobatan alternatif. Alhamdulillah untuk pertama kalinya, haid saya mulai teratur tiap bulan sejak bulan Januari 1999. Setelah pernikahan kami pada bulan April 1999, saya pindah dari Makassar ke Riau mengikuti suami yang bekerja di perusahaan minyak. Sejak saat itu saya berhenti berobat hingga menstruasi saya mulai tidak normal lagi. Selama tiga bulan berturut-turut tidak haid, sekurangnya ada dua kali saya memeriksakan diri ke dokter, dengan harapan saya hamil. Nyatanya saya tidak kunjung hamil. Dokter pun memberikan obat agar saya bisa haid.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter spesialis kandungan, secara medis saya dan suami sangat sulit memiliki anak. Masing-masing dari kami memiliki masalah spesifik yang membuat kami berdua sama-sama sangat jauh dari subur. Jumlah sperma suami saya sangat sedikit, jauh dari jumlah sperma normalnya laki-laki subur, sudah begitu sperma yang aktif hanya sebagian kecil. Sementara saya memiliki masalah dengan hormon, kadar hormon kesuburan saya seperti kadar hormon perempuan menopause padahal saat itu usia saya masih 25 tahun.Saat itu dokter kandungan yang kami kunjungi sampai memberikan gambaran mengenai inseminasi buatan dan program bayi tabung yang mungkin harus kami jalani jika ingin memiliki momongan. Ada yang tahu berapa biaya program bayi tabung? Biayanya ratusan juta rupiah!
Menjelang 1 tahun usia pernikahan kami, saya dan suami menjalani semacam terapi dengan obat-obat penyubur, selain itu dokter juga meminjamkan kami Maybe Baby - alat pengetes masa subur, supaya saya bisa mengetahui kapan saat-saat subur saya karena masa subur saya tidak tentu waktunya. Dalam terapi kesuburan itu, mulanya saya hanya mendapatkan dosis Profertil (obat penyubur) sebanyak 1 x 1. Bulan-bulan berikutnya dosisnya ditingkatkan oleh dokter hingga 1 x 3 (oya, harga obat ini mahal lho, waktu itu saja kalau tidak salah Rp. 7.000/butirnya, untungnya saat itu terapi kami ditanggung oleh perusahaan). Dari cerita teman saya, ia hanya perlu mengkonsumsi obat tersebut dengan dosis 1 x 1 sampai akhirnya hamil. Tetapi ternyata tidak demikian halnya dengan saya. Meskipun dosis obat tersebut ditingkatkan (sementara suami saya juga tetap mengkonsumsi obat penyubur), setiap bulan di-USG, hanya satu saja sel telur saya yang matang, itu pun ukurannya sangat kecil, jauh dari memadai untuk bisa dibuahi. Sudah tentu dengaan keadaan demikian saya belum juga bisa hamil.
Pada bulan September 2000, saat cuti ke Makassar, saya kembali berobat alternatif pada tabib yang dahulu membantu pengobatan menstruasi saya. Suami saya juga turut berobat. Saat itu semua obat dokter yang sedang dikonsumsi kami tinggalkan. Kami hanya berobat pada tabib tersebut dan pasrah pada ketentuan Allah. Bukannya mengecilkan pengobatan medis, hanya saja kami lebih memilih obat alami, tanpa efek samping sama sekali, lagi berkah (air putih yang dibacakan do’a). Sekembalinya ke Riau, keluarga di Makassar rutin mengambilkan. ‘air obat’ kami pada sang tabib dan mengirimkannya ke Riau. Alhamdulillah, mendekati penghujung tahun 2000 saya hamil dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat pada tanggal 9 Juli 2001, di saat pernikahan kami menginjak usia 2 tahun. Dengan berat badan saya yang bertambah sebanyak 18 kg selama hamil, ia lahir dengan bobot 3,35 kg.
Kalau saat itu ditanya mengapa saya ingin punya anak, terus terang saya tidak tahu jawaban pastinya. Mungkin karena saya melihat betapa bahagia dan terlihat lengkapnya teman-teman saya yang telah memiliki anak, atau mungkin juga karena saya bosan ditanya sana-sini dengan pertanyaan yang isinya sama tetapi dilontarkan dengan redaksi berbeda-beda: “Sudah hamil?”. Belum lagi, ada yang merespon jawaban “Belum” saya dengan kalimat “Koq bisa?”, dengan mimik yang menusuk hati. Yang jelas semua itu membuat saya berusaha untuk bisa hamil.
Saya tidak pernah berobat secara medis lagi untuk bisa hamil setelah melahirkan Affiq. Baik saya maupun suami juga sama sekali tidak menggunakan peralatan kontrasepsi dalam keintiman kami. Pada awal tahun 2002, suami saya mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja dan kami kembali ke Makassar. Kami pun kembali mengunjungi tabib pengobatan alternatif yang dahulu mengobati kami. Atas kehendak Allah, saya hamil di tahun 2006. Betapa suka citanya kami. Di saat Affiq yang saat itu berusia lima tahun kami kabari tentang kehamilan saya - bahwa ada bayi dalam perut saya, ia kelihatan berpikir. Kemudian, sambil menatap perut saya yang mulai membuncit terlontar pertanyaan ini dari mulutnya: “Mama makan bayi?”. Saya bilang, “Tidak, Allah yang menaruh adik bayi dalam perut Mama”. Tetapi konsep ini masih sangat abstrak baginya. Berulang kali ia melantunkan kalimat ini: “Mama makan bayi …. Mama makan bayi …. “.
Affiq juga menciptakan cerita sendiri tentang ‘kehamilannya’. Ia ikut-ikutan hamil! Ia mengatakan di dalam perutnya ada bayi perempuan. Suatu saat terdengar bunyi yang berasal dari perutnya, ia berkata: “Perutku bunyi Ma, bayinya sendawa”. Di saat lain, ketika ia sedang malas bergerak, ia berkata pada saya, “Mama, saya tidak bisa bergerak, saya hamil. Di perutku ada bayi”. Atau saat ia menginginkan jenis makanan tertentu, ia meminta kepada saya dengan dalih yang menginginkan makanan itu adalah bayinya! Saat itu jika ditanya adiknya laki-laki atau perempuan, ia menjawab dengan mantap bahwa adiknya perempuan.
Banyak juga kerabat yang berharap bayi yang berada dalam kandungan saya berjenis kelamin perempuan. Namun saya tidak berani berharap karena kehamilan adalah hal yang mahal bagi saya. Allah meridhai saya untuk bisa hamil saja sudah merupakan anugerah yang luar biasa besarnya. Bagaimana mungkin saya ‘menuntut’-Nya memberikan saya anak dengan jenis kelamin yang saya inginkan? Namun Allah sungguh Mahapemurah! Dia melengkapi hidup saya dengan mengaruniai bayi perempuan cantik yang lahir pada tanggal 24 September 2006. Dengan berat badan saya yang bertambah hanya 5 kg selama hamil, ia lahir dengan bobot 3,35 kg. Sungguh menakjubkan kuasa Allah ya? Saya tidak perlu diet banyak untuk menurunkan berat badan saya setelah melahirkan. Proses kelahirannya pun cepat, antara pembukaan satu sampai pembukaan lengkap hanya memakan waktu tiga setengah jam! Subhanallah. Hari-hari pertama Athifah sangat seru, karena kakaknya ikut menemani saya dan papanya di rumah bersalin. Affiq begitu antusias melihat ada bayi kecil di antara kami. Hal itu kemudian menumbuhkan satu pertanyaan di benaknya: “Mama, dari mana adik lahir?”. Saya gelagapan.
Karunia-Nya sungguh luar biasa. Saya mulai menunjukkan tanda-tanda subur. Sehingga kami memutuskan berkontrasepsi. Alat kontrasepsi kami unik, yaitu air yang berkah dengan do’a dari tabib yang mengobati kami. Bagi banyak orang ini tentu bukanlah hal yang masuk akal. Tetapi apa yang tidak mungkin bagi Allah? Orang yang nyaris mandul seperti saya dan suami saya saja bisa dititipi-Nya anak, menjadikan air sebagai alat kontrasepsi tentu saja bukan hal yang mustahil bagi-Nya.
Namun suatu ketika di penghujung tahun 2008, saya lupa meminum ‘air KB’ saya hingga 12 jam lamanya. Sekali lagi, Allah menakdirkan amanah-Nya dalam kandungan saya. Saat perut saya membuncit, seperti kakak Affiq-nya dahulu, Athifah juga punya cerita sendiri tentang ‘kehamilannya’. Ia suka mengembang-kempiskan perutnya, untuk ‘memperlihatkan’ aktifitas ‘bayi-nya’ kepada saya. Saya menikmati masa kehamilan ini. Walaupun dari bulan ke bulan perut saya makin membesar, seperti kehamilan-kehamilan terdahulu, saya masih bisa mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, dan alhamdulillah saya tidak punya masalah dengan ngidam. Nafsu makan saya bahkan biasa-biasa saja, demikian pula keinginan saya terhadap sesuatu pun biasa-biasa saja. Bayi laki-laki sehat berbobot 3,15 kg itu pun lahir dari rahim saya pada tanggal 28 September 2009, dengan proses yang sangat cepat. Dokter memperkirakan ia lahir pukul 14, tetapi Allah berkehendak ia lahir pada pukul 11, hanya dengan satu kali mengejan! Subhanallah. Hari-hari pertama Afyad pun sama serunya dengan hari-hari pertama Athifah di dunia ini karena kedua kakaknya ikut menemani saya dan papanya di rumah bersalin. Affiq sangat menikmati ‘liburannya’ di rumah bersalin. Ia bahkan menyarankan saya, jika suatu saat melahirkan lagi supaya memilih rumah bersalin yang sama karena rumah bersalin ini mengasyikkan baginya. Waduh ...
Nah, kalau sekarang ditanya, bagaimana rasanya dititipi anak oleh Yang Mahakuasa, jawaban saya adalah nikmat luar biasa. Dan rasa nikmat itu tidak bisa saya ungkapkan seluruhnya dengan kata-kata, bahkan dengan semua kosa kata yang saya miliki karena nikmat itu sangat meresap dan membungkus hati saya dan sering membuat saya terharu.
Mulai dari keberhasilan pemberian ASI eksklusif dalam 6 bulan pertama kehidupan putra-putri saya hingga apa yang saya rasakan sekarang. Saya merasakan manfaat dan juga nikmat luar biasa dari pemberian ASI eksklusif pada anak-anak saya. Dibandingkan bayi-bayi lain seusia mereka yang tidak mendapatkan ASI eksklusif, ketiga buah hati saya tumbuh lebih sehat. Bahkan di saat saya dan suami beberapa kali terserang flu, mereka tak mudah tertular.
Sungguh nikmat menjadi orang pertama yang menyaksikan pertumbuhan dan perkembangan mereka, sejak tidak tahu apa-apa hingga mengetahui cukup banyak, sejak belajar berjalan hingga bisa berlari. Sejak belum bisa berbicara hingga fasih mengoceh, menanyakan apa saja, dan bereaksi secara verbal dengan lontaran-lontaran yang tak terduga. Dan masih banyak lagi.
‘Mendeteksi’ kemiripan ketiganya dengan saya atau papanya, atau dengan kakek-kakek dan nenek-neneknya maupun om-om dan tante-tantenya juga mendatangkan kenikmatan tersendiri bagi saya. Sangat menakjubkan. Betapa Mahakuasanya Allah, dari setetes mani, segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging yang terus berproses menjadi sel-sel yang membelah sampai menjadikan mereka bayi dalam rahim saya lalu kemudian lahir dan bertumbuh-kembang hingga sekarang ini, mereka memiliki banyak kemiripan dengan kami tetapi sesungguhnya masing-masing mereka adalah individu unik. Dengan perpaduan kemiripan itu semua, ketiganya justru membentuk postur yang unik, karakter, sikap, dan cara berpikir yang juga unik. Mengagumkan!
Menyelami kedalaman mata ketiganya, sungguh kenikmatan luar biasa bagi saya. Nikmat yang tidak pernah berkurang rasanya saat menatap mata mereka sambil menyusui atau di saat-saat mereka sedang berceloteh riang tentang apa saja. Menatap mata mereka ibarat komunikasi batin antara saya dengan mereka. Ada rasa indah yang sulit didefinisikan yang saya rasakan, turun ke hati saya saat menyimak binar polos dari mata ketiga permata hati ini.
Menyaksikan keriangan mereka saat bermain bersama, saat bernyanyi, saat membuka lembaran buku kesayangan mereka, saat menggoda saya atau papanya juga menciptakan kenikmatan luar biasa di hati saya. Pada kenyataannya, sungguh – saya tidak sanggup bercerita secara verbal semua nikmat luar biasa yang dianugerahkan Allah melalui mereka. Segala nikmat yang tentu saja membuat saya merasakan makna menyandang predikat ‘ibu’.
Saat mendengar lantunan ayat suci dari pengeras suara masjid menggemakan ayat dari surah Ar-Rahman yang artinya: “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan ?”, air mata haru tergenang di sudut-sudut mata saya. Ya, nikmat mana lagi yang saya dustakan ? Tidak, tidak ada nikmat-NYA yang pantas saya dustakan. Betapa luar biasanya nikmat merasakan dari tidak subur menjadi subur, hingga dirahmati tiga orang anak yang luar biasa. Sungguh Mahabesar Ia, yang telah mengizinkan saya menjadi saksi bahwa tidak ada yang mustahil bagi-Nya – Rabbul ‘alamin.
Semoga Allah memberkahi pak Haji di dunia dan akhirat. Tabib yang selalu lillahi ta’ala, tidak pernah menentukan tarif bahkan tak jarang ia tak mau dibayar.
Makassar, 19 Februari 2011
No comments:
Post a Comment