Tuesday, November 15, 2011

Tukang Bakso yang Baik Hati

Kontainer bakso yang digandeng motor

Warga sekitar rumah kami memiliki dua orang tukang bakso langganan. Yang satu berjualan dengan gerobak yang didorong, yang satunya menggunakan kontainer yang digandeng motor. Kedua orang ini berjualan di lorong (gang) kami setiap hari, pada waktu-waktu tertentu. Sesekali mereka malah berdiri berdampingan menunggu pembeli di persimpangan lorong di seberang rumah.
Saking akrabnya dengan warga di lorong kami, kedua tukang bakso itu mengenal nama beberapa orang di antara kami. Saya pernah mendengar sendiri, tukang bakso yang memakai gerobak itu menyapa tetangga depan rumah dengan menyebutkan namanya.

Setiap hari, kontainer bakso yang ditarik motor itu bisa tiga kali mangkal di tempat itu. Biasanya di pagi hari sekitar jam sepuluh pagi. Ia menunggu pembeli selama beberapa waktu, kemudian berkeliling daerah sekitar sini. Kadangkala ia datang lagi sekitar pukul dua siang. Setelah menunggu beberapa waktu, ia kembali berkeliling. Setelah itu ia datang lagi lepas maghrib.
Tukang bakso sedang meladeni pelanggan ciliknya
Suatu pagi, saat melihat ‘kontainer bakso’ keliling itu tengah parkir di tempat biasanya: di depan warung di seberang rumah kami, Athifah langsung minta dibelikan. Karena sudah lama tidak makan bakso, “Kali ini dibelikan tak apalah,” pikir saya.
            Saya menyambut senyum ramah tukang bakso itu dengan membalas tersenyum dan memesan, “Mas, baksonya dua yah!” Dengan sigap ia mengambil dua batang kayu dan menusukkannya masing-masing kepada dua butir bakso.
            Saya mengeluarkan uang dua ribu rupiah untuk membayar bakso-bakso itu. Setelah membayar, kedua tusuk bakso itu diserahkannya kepada Athifah. Tangan saya penuh dengan tas-tas Athifah sehingga saya membiarkan Athifah yang membawa bakso-bakso tersebut.
            Dua orang pembeli cilik yang mendekat kemudian ditegurnya dengan ramah. Ia bahkan mengetahui nama salah seorang dari mereka.
            Tiba-tiba saja satu tusuk itu meluncur bebas dari tangan Athifah. Saya langsung mengambilnya. Sang tukang bakso cepat tanggap. Ia berkata, “Dibuang saja Mbak, kotor.” Ia lalu bergegas membuat yang baru.
            Sesaat kemudian, dengan ramahnya setangkai tusukan berisi dua butir bakso diserahkannya kepada Athifah. Saya mengeluarkan uang seribu rupiah dan menyodorkan kepadanya, “Ini, Mas.” Ia menolak. Saya tetap menyodorkannya, meminta ia menerimanya. Ia menolak dengan tegas, masih dengan senyum ramahnya yang khas. Saya bahkan berkata, “Mas, baksonya masih bisa Saya cuci, Mas. Ini uangnya.” Dia tetap gigih menolak. Dengan senyum yang masih tersungging di bibir ia berkata, “Jangan. Tidak usah, Mbak.” Lalu kepada Athifah ia berkata, “Ayo pulang,” masih dengan senyuman ramah yang menghiasi bibirnya.
***
            Saya melangkah menuju rumah dengan perasaan takjub. Hati saya selalu saja takjub ketika bertemu orang-orang ikhlas seperti tukang bakso ini. Kalau dipikir, secara materi ia sebenarnya rugi karena membiarkan saya membawa setangkai bakso itu pulang. Mana ia tahu saya membuangnya atau memakannya? Saya kan bisa mencucinya, lha hanya beberapa detik jatuhnya. Tapi ia tak memikirkan hal itu. Ia lebih memilih mengganti bakso yang jatuh itu padahal sebenarnya kalau tak ia ganti pun tak apa-apa karena bukan ia yang menjatuhkan tetapi pembelinya. Ia pun tak meminta kembali bakso yang sudah jatuh itu.
            Tukang bakso yang baik hati, do’a saya besertamu: mudah-mudahan Allah memberkahi rezekimu.
Makassar, 15 November 2011

No comments:

Post a Comment