Setelah Athifah lahir, suami saya mengurus akte kelahirannya, seperti biasa secara birokrasi mulai dari surat kelahiran di rumah bersalin, kelurahan, kantor kecamatan. Selain itu, kartu keluarga kami juga diurus untuk menambahkan nama Athifah ke dalamnya. Pengurusan ini makan waktu berhari-hari dan harus bolak-balik.
Atas usul seseorang di kantor kecamatan, suami saya mengurus kartu keluarga baru untuk keluarga kecil kami. Jadi rencananya ada dua kartu keluarga di alamat yang sama, katanya sih bisa demikian. Satu kartu keluarga untuk saya, suami saya, Affiq, dan Athifah. Dan kartu keluarga yang terpisah untuk ayah dan ibu saya.
Suami saya pun memberikan rincian data-data kami semuanya kepada petugas kantor kecamatan. Berhari-hari kemudian suami saya datang, dengan harapan kartu keluarga kami selesai sesuai keinginan. Namun masih ada kesalahan penulisan data anggota keluarga. Suami saya meralatnya dan meninggalkan data yang benar di kantor itu.
Berhari-hari kemudian suami saya datang kembali ke kantor kecamatan. Seharusnya kartu keluarga kami sudah selesai. Eh, ternyata masih juga ada kesalahan di kartu keluarga ayah. Seharusnya nama saya dan adik-adik dan seorang adik sepupu yang tidak lagi masuk di dalam daftar, masih juga dimasukkan. Karena capek bolak-balik, apalagi lokasi kantor kecamatan bukan ‘wilayah kerjanya’ dan jaraknya cukup jauh dari rumah kami, suami saya pun membawa pulang saja kedua kartu keluarga itu.
Tiga tahun yang lalu
Saat saya harus mengganti KTP, saya diantar suami pergi ke kantor kecamatan karena harus foto langsung dan tanda tangan di kartu. Nomor KTP baru saya sesuai dengan nomor di kartu keluarga yang baru.
Dua tahun yang lalu
Pada pemilihan umum tahun ini, alhamdulillah kami semua masuk dalam daftar warga yang wajib memilih. Tidak seperti tetangga di sekitar kami, beberapa dari mereka harus kecewa karena nama mereka tidak ada di dalam daftar.
Tahun lalu
Pada sensus penduduk yang serentak diadakan di seluruh Indonesia ini, kami sudah dengan sangat jujur memberikan keterangan kepada petugas sensus. Seharusnya dengan riwayat ini, data kami sudah tersimpan dengan baik dan benar di kantor kecamatan ataupun kelurahan.
Beberapa minggu yang lalu
Surat panggilan untuk datang ke kantor kecamatan guna mengurus penggantian KTP lama menjadi KTP elektronik tiba di rumah. Di surat panggilan itu hanya ada nama tiga orang: ayah, ibu, dan saya. Nomor penduduk saya yang tertera di situ tidak sama dengan nomor penduduk di KTP yang sudah tiga tahun saya kantongi. Setelah dicek, ternyata yang tertera di surat panggilan itu adalah nomor dari kartu keluarga lama.
Ketua RT kami dengan baik hati menguruskan suami saya yang tidak masuk dalam daftar, kemudian mengantarkan surat panggilan khusus untuk suami saya yang terjadwal pada bulan November 2011.
25 Oktober 2011
Siang Hari
Baru pulang dari kantor kecamatan yang letaknya kira-kira 6 – 8 kilometer dari rumah untuk mengurus penggantian KTP lama ke KTP elektronik. Kami (saya dan ibu serta bapak) datang lewat setengah jam dari jadwal yang ditentukan. Sampai di sana ternyata harus ambil nomor urut dulu. Kami mendapat nomor 158, petugas berkata bahwa waktu pelayanan kami adalah habis maghrib.
Gubrak!
Haduh.. harus kembali lagi ke kantor kecamatan, pergi-pulang naik taksi (lagi) dengan kedua orangtua yang sudah sepuh (ayah saya 71 tahun, ibu saya 68 tahun)?
Kami tak punya kendaraan roda empat. Naik angkot ribet karena untuk ke jalan besar jalur angkot yang letaknya sekitar 400 meter, kami harus naik becak dahulu kalau tidak mau ngos-ngosan jalan kaki. Sudah itu baru naik angkot, itupun harus ganti angkot satu kali baru sampai di jalan masuk kantor kecamatan, kemudian jalan kaki lagi sekitar seratus meter.
Ooooh paduka pemerintahku bisa kah besok-besok kalian lebih bijak?
Itu adalah status FB saya hari ini pada pukul dua belasan. Didasarkan pada kekesalan saya menjumpai kesemrawutan di kantor kecamatan. Mulanya saya pikir kami datang terlambat setengah jam dari waktu yang ditentukan (pukul 11). Ternyata setelah saya cek kembali, kami datang tepat pada waktu yang ditentukan di surat panggilan itu.
Di depan mata saya, terlihat seorang ibu yang nomor urutnya ‘besar’ cepat dipanggil masuk oleh seorang petugas tetapi perasaan saya datar-datar saja. Mungkin karena hal ini sudah biasa, di mana-mana ada tak perlu diprediksi lagi, ini sudah menjadi realitas di sekitar kita. Malah kesemrawutan inilah yang justru menimbulkan kekesalan di hati saya karena tidak bisa diprediksi sejak awal dan mengacaukan ‘stabilitas agenda’ sekaligus ‘stabilitas kantung’ kami.
Di samping itu saya mungkin terlalu menuntut ‘lebih’. Menurut saya karena sehari-harinya orang-orang itu berkecimpung dalam wilayah pelayanan publik sudah seharusnya mereka mampu dengan bijak memprediksi segala kemungkinan yang terjadi berkaitan dengan hal ini sehingga warga merasa nyaman.
Tadi saya sempat ‘mewawancarai’ seorang ibu yang baru selesai memproses KTP-nya. Ibu itu berkata, “Saya datang dari jam 7. Nomor antrian saya lima puluh tiga.” Waduh, berarti kami betul-betul harus kembali selepas maghrib! Syukur pada Allah kedua orangtua saya dalam keadaan sehat wal afiat sehingga masih bisa diperintahkan bolak-balik seperti ini.
Suami saya yang sudah berencana hendak ke luar kota sejak dua minggu yang lalu untuk suatu urusan penting terpaksa menunda keberangkatannya. Rupanya ini ‘rahasia’ Allah mengapa ia tak mendapatkan panggilan hari ini. Kalau ia mendapatkan panggilan ke kantor kecamatan hari ini, ketiga buah hati kami terpaksa harus dibawa ke tempat yang sama sekali tidak nyaman buat anak-anak itu. Syukurnya lagi, keberangkatannya masih bisa ditunda. Kalau tidak? Wah, itu berarti anak-anak harus kami bawa malam ini, sungguh lebih tidak nyaman lagi.
Setelah shalat dhuhur saya tertidur nyenyak beberapa kali. Beberapa kali? Iya, beberapa kali, tetapi selama beberapa menit. Karena saya harus mengawasi Athifah dan Afyad yang jam tidurnya seperti ‘piket’. Kalau bersamaan, saya bisa ikut tidur. Kalau tidak ... he he he tahu sendirilah. Dan yang paling sering jam tidur mereka tidak bersamaan. Syukurnya ayah dan ibu sesekali ikut ‘memantau’ anak-anak, hingga saya tidak benar-benar pulas berjam-jam sebab tubuh saya lelah sekali – lelah yang sudah berwaktu-waktu saya bawa.
Cucian piring yang menumpuk, baju kusut bersih yang minta diseterika menggunung, dan tak kalah menggunungnya pakaian kotor yang minta dicuci – semuanya terpaksa harus saya abaikan dulu karena badan saya menuntut haknya: istirahat. Apalagi malam ini harus balik ke kantor kecamatan, meski senjata (kopi dan Eks*** **ss) sudah siap saya tetap butuh menyegarkan badan sejenak dengan meluruskan punggung dan menutup mata supaya tidak ambruk di sana nanti.
Malam Hari
Tanpa membuang waktu, setelah shalat maghrib kami berangkat ke kantor kecamatan dengan menyetop taksi di jalan besar. Mau tidak mau kami harus menyiapkan ongkos transportasi sebesar hampir seratus ribu rupiah hari ini untuk keperluan bolak-balik – angka yang cukup berarti buat kami. Syukurnya, KTP elektronik ini gratis jadi hanya ongkos transportasi yang perlu disiapkan.
Berada di kantor kecamatan malam ini membuat saya dapat menyaksikan langsung sistem administrasi yang kacau. Setiap hari kantor kecamatan menjadwalkan seratus lima puluh surat panggilan untuk diproses. Ini berarti seratus lima puluh kepala keluarga. Satu surat bisa berisi dua atau tiga nama bahkan enam sampai sembilan nama! Dan hari ini, ada dua ratus surat panggilan yang sedianya diproses, berarti sedikitnya ada empat ratus orang yang mengurus KTP elektronik hari ini, tetapi bisa jadi total orang yang harus dilayani ada enam ratus hingga tujuh ratus orang. Sementara perangkat yang digunakan (kamera, scanner sidik jari, dan scanner iris mata) hanya ada dua set. Saat salah seorang ibu bertanya, “Kapan KTP ini selesai?” Seorang petugas menjawab, “Masih lama, sekitar tiga sampai empat bulan.” Hah?
Saat sedang menunggu di pekarangan kantor kecamatan, nomor-nomor antrian yang seharusnya di belakang kami banyak yang sudah lalu-lalang di depan kami: masuk ke dalam ruangan lalu keluar dan pulang ke rumah masing-masing. Alhamdulillah itu tidak mengusik saya. Sudah biasa. Alhamdulillah pula rasa kesal saya sudah menguap karena memaklumi kenyataan yang ada.
Buku Ranah Tiga Warna-nya A. Fuadi yang saya bawa dari rumah untuk menghapus waktu menunggu terpaksa menetap dalam tas karena lampu di tempat menunggu sangat tidak memadai untuk dipakai membaca. Jika sedang tak berbincang dengan sesama warga kelurahan yang sama, saya menghibur diri dengan mengingat-Nya. Betapa tidak di sela-sela pengalaman tidak nyaman ini ada hal-hal yang patut saya syukuri seperti kesehatan kedua orangtua saya, tidak dipanggilnya suami saya hari ini, dan kepergian suami ke luar kota yang bisa ditunda. Wah .. ternyata saya masih beruntung banyak!
Akhirnya tiba juga giliran kami. Setelah ayah dan ibu menghadap seorang petugas yang memegang berkas kami, saya pun dipanggil. Saya menunjukkan KTP yang masih berlaku dan meminta agar data saya diperbaiki (mengingat nomor KTP pada surat panggilan mengacu kepada KTP lama). Petugas itu pun membaca data saya di layar komputer. Kemudian ia mencoba memasukkan nomor yang tertera di KTP yang masih berlaku. “Tidak bisa Bu, ditolak.”
Waduh, ditolak? KTP ini kan dulu saya urus di kantor ini juga? Jadi saya ini penghuni ilegal dong? Saya berkata, “Ini kan baru tiga tahun yang lalu saya urus, Pak. Jadi bagaimana?” Petugas itu menjawab, “Kalau mau nomor yang ini, ibu harus mengurusnya lagi. Ini bukan mau saya Bu, ini maunya data di sini. Jadi, kita pakai nomor yang terdaftar di sini saja” Kemudian tanya jawab berlanjut.
Ia mengkonfirmasi, “Siapa namanya?”
Saya menjawab, “Mugniar Marakarma.”
Ia mengangguk lalu menyebutkan tanggal lahir yang tertera di layar komputer.
Saya mengiyakan.
Ia bertanya, “Golongan darah B?”
Saya menjawab, “Iya.”
Lalu ia membaca data berikut, “Pekerjaan: pelajar, mahasiswa?”
Wah ... apa saya nampak seperti mahasiswa S3 yah?
Saya menggeleng, “Tidak, Pak. Saya ibu rumah tangga.”
Ia melanjutkan ke data berikut, “Status: belum menikah?”
Ini kesalahan fatal ...
Saya menggeleng lagi, “Tidak pak, Saya sudah menikah.”
Ibu saya nyeletuk, “Anaknya sudah tiga!”
Petugas mengubah kedua data asal itu. Heran juga saya. Sewaktu hendak menikah lebih dua belas tahun yang lalu, kami kan harus mengurus berkas untuk keperluan surat nikah. Berkas itu diurus mulai dari tingkat kelurahan hingga ke kantor kecamatan dan kantor Catatan Sipil. Sekarang, mengapa data itu termasuk data yang sudah di-update saat mengurus akte kelahiran Athifah, saat mengurus kartu keluarga baru dan KTP saya, saat pemilihan umum, dan sensus penduduk semuanya diabaikan? Seolah di-reset kembali ke zaman saya kuliah dulu? Ck ck ck ....
Ayah saya yang tergolong pendiam itu tadi sempat memberi masukan kepada pak lurah yang masih dengan setia ikut melayani warga (oya ini poin lebih yang saya dapatkan malam ini: beliau ikut bertugas juga di kantor kecamatan melayani warganya). Tapi sepertinya pak lurah tak bisa berbuat lebih karena kejadian hari ini sudah terwujud, dan hal ini wewenang kecamatan (apa perkiraan saya sudah benar?).
Di taksi, dalam perjalanan pulang ke rumah, kami berbincang tentang pengalaman hari ini. Tak sadar meluncur kritik dan saran dari bibir kami, ‘sebaiknya begini’, ‘sebaiknya begitu’, atau ‘seharusnya begini’. Kemudian saya diam karena tersadar, dan akhirnya merasa geli sendiri karena tak ada gunanya kritik dan saran itu kami lontarkan di dalam taksi.
Yah .. akhirnya hanya bisa bilang inilah Indonesia. Hanya bisa maklum dan menerima. Paling tidak, malam ini banyak nikmat-Nya yang masih bisa saya syukuri. Dan beristighfar untuk satu hal: “Mohon ampunan-Mu ya Allah. Saya sudah alpa dari bersabar kepada-Mu hari ini. Seharusnya, urusan pelayanan publik oleh pemerintah ini masuk dalam file penting tentang hal-hal yang harus saya bersabar menerimanya.”
Makassar, 26 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment