Monday, February 28, 2011
Betulkah Ada Piramida Raksasa di Jawa Barat
Mentari nyaris berada di atas ubun-ubun, saat empat mobil menepi di pinggiran Jalan Raya Soreang-Cipatik, medio Februari 2011. Siang itu, Kampung Badaraksa yang terletak di lereng bukit, kedatangan tamu.
Rombongan itu menyusuri jalan kecil mendaki di tengah pemukiman penduduk, hendak menuju ke atas puncak Gunung Lalakon, yang terletak di Desa Jelegong, Kecamatan Kotawaringin, Kabupaten Bandung.
Dari Kampung Badaraksa yang berada di ketinggian sekitar 720 m di atas permukaan laut, mereka bergegas naik memutari bukit dari bagian selatan ke barat.
Sambil membawa berbagai peralatan dan beberapa gulungan besar kabel, rombongan membelah hutan gunung. Derap langkah kaki mereka seolah berkejaran dengan ritme suara jengkerik, dan tonggeret di kanan-kiri.
Tim yang terdiri dari sekelompok pemuda dan para peneliti itu, akhirnya sampai di puncak setinggi 988 meter dari permukaan laut.
Kabel direntang. Tim mulai memasang alat geolistrik yang mereka bawa. Sebanyak 56 sensor yang dipasangi altimeter (alat pengukur ketinggian) diuntai dari puncak bukit ke bawah lereng, masing-masing berjarak lima meter, dicatu oleh dua aki listrik.
Alat-alat itu berfungsi mendeteksi tingkat resistivitas batuan, dan bisa digunakan menganalisa struktur kepadatan batuan hingga ratusan meter ke bawah. “Tujuan kami saat itu mengetahui apakah ada bangunan tersembunyi di dalam gunung,” kata Agung Bimo Sutedjo, kepada VIVAnews, di Jakarta, Selasa, 15 Februari 2011.
sumber : vivanews
Rombongan itu menyusuri jalan kecil mendaki di tengah pemukiman penduduk, hendak menuju ke atas puncak Gunung Lalakon, yang terletak di Desa Jelegong, Kecamatan Kotawaringin, Kabupaten Bandung.
Dari Kampung Badaraksa yang berada di ketinggian sekitar 720 m di atas permukaan laut, mereka bergegas naik memutari bukit dari bagian selatan ke barat.
Sambil membawa berbagai peralatan dan beberapa gulungan besar kabel, rombongan membelah hutan gunung. Derap langkah kaki mereka seolah berkejaran dengan ritme suara jengkerik, dan tonggeret di kanan-kiri.
Tim yang terdiri dari sekelompok pemuda dan para peneliti itu, akhirnya sampai di puncak setinggi 988 meter dari permukaan laut.
Kabel direntang. Tim mulai memasang alat geolistrik yang mereka bawa. Sebanyak 56 sensor yang dipasangi altimeter (alat pengukur ketinggian) diuntai dari puncak bukit ke bawah lereng, masing-masing berjarak lima meter, dicatu oleh dua aki listrik.
Alat-alat itu berfungsi mendeteksi tingkat resistivitas batuan, dan bisa digunakan menganalisa struktur kepadatan batuan hingga ratusan meter ke bawah. “Tujuan kami saat itu mengetahui apakah ada bangunan tersembunyi di dalam gunung,” kata Agung Bimo Sutedjo, kepada VIVAnews, di Jakarta, Selasa, 15 Februari 2011.
sumber : vivanews
Sunday, February 27, 2011
Bau Apa ?
Suatu hari, di ruang tengah tercium bau menyengat dari tetangga sebelah yang sedang masak. Oma bertanya pada cucu-cucunya yang tengah nonton TV, "Bau apa ini?". Lalu seketika itu juga oma menjawab pertanyaannya sendiri dengan jawaban candanya, "Oh ... bau kentut ... ada yang kentut?".
Athifah (4 tahun 5 bulan) yang sedari tadi asyik nonton rupanya merasa tidak sreg, ia protes, "Bukan Oma, itu bukan bau kentut. Itu BAU TERAPI !"
He he he, maksudnya "BAU TERASI". Maklum, TERAPI dan TERASI sama-sama kosa kata baru baginya jadi masih salah pemakaian.
28 Februari 2011
Sunday Safari - Looming Presences
Martin Wittfooth, A Milder Fate Than Tyranny
John Brosio, Fatigue, thanks to Dark SIlence in Suburbia
Gerald Rose, illustration for Nessie The Mannerless Monster By Ted Hughes
thanks to Hazel Terry's Classics of Children's Illustration Flickr set
Michael Sowa, Haunted City
Di Liu, two photos from the Animal Regulation series
Shuichi Nakano, Premonition of Storm and Chill at 5:25
from the Searching for Paradise series
Chris Appelhans, Midnight Party
Labels:
bats,
bunnies and hares,
Chris Appelhans,
crabs,
deer,
Di Liu,
dogs,
fish,
foxes,
illustration,
monkeys,
monsters,
ostriches,
painting,
photography,
Pietari Posti,
Shuichi Nakano,
snails
Saturday, February 26, 2011
Arabesque
Hassan Massoudi, Peace
This post was already on my mind since I love Arab art and calligraphy,
today I dedicate it to all the Arab people fighting for their rights...
may your victory come soon!
Bird shaped calligraphy, 17th century Iran,
from the Museum für Islamische Kunst in Berlin
Françoise Joire, Arabalphabêtes
Bismillah in the shape of an ostrich and
elephant shaped calligraphy by Hassan Musa
unidentified calligraphy found at BibliOdyssey
Jila Peacock, two animal shaped poems for Ten poems from Hafez
poster by Mehdi Saeedi
Shahnawaz Alam Ahmed, poetry by Meer Taqi Meer, thanks to Ephemera Assemblyman
Salavat Ghilyazetdinov, Prophet's Horse, from the International Exhibition of Calligraphy
Salavat Ghilyazetdinov, Prophet's Horse, from the International Exhibition of Calligraphy
for more images and links check out
BibliOdyssey's beautiful Zoomorphic Calligraphy post
Labels:
birds,
butterflies,
calligraphy,
deer,
doves,
elephants,
hassan massoudi,
horses,
lions,
ostriches
Friday, February 25, 2011
Manusia yang Mempunyai Darah Langka, Darahnya Telah Menyelamatkan 2 Juta Jiwa Bayi!
James Harrison (74 tahun), seorang pria Australia yang mempunyai jenis darah yang sangat langka telah menyumbangkan darahnya selama 56 tahun dan telah menyelamatkan nyawa lebih dari dua juta bayi.
James memiliki antibodi dalam plasma darah yang dapat menghentikan kematian bayi akibat penyakit Rhesus (suatu bentuk anemia yang parah). Dia telah memungkinkan banyak ibu-ibu untuk melahirkan bayi yang sehat, termasuk putrinya sendiri, Tracey, yang memiliki anak sehat berkat darah ayahnya.
Harrison telah memberikan darah setiap beberapa minggu sejak ia berusia 18 tahun dan kini telah mencapai hingga 984 total sumbangan. Ketika ia mulai menyumbangkan darahnya, hidupnya dianggap begitu istimewa hingga telah diasuransikan untuk satu juta dolar Australia.
Dia berkata: "Aku tidak pernah berpikir tentang berhenti. Tidak akan pernah." Dia membuat janji untuk menjadi seorang donor pada saat berusia 14 tahun setelah menjalani operasi pembedahan besar di mana ia membutuhkan 13 liter darah.
"Aku berada di rumah sakit selama tiga bulan," katanya. "Darah yang saya terima dari orang lain telah menyelamatkan hidup saya, jadi saya membuat janji untuk memberikan darah kepada orang lain ketika aku berusia 18 tahun."
Tepat setelah dia mulai menyumbangkan darah, ternyata ditemukan bahwa darahnya sangat langka dan terdapat antibodi dalam darahnya. Pada waktu itu, ribuan bayi di Australia sedang sekarat setiap tahunnya dari penyakit Rhesus. Bayi yang baru lahir lainnya menderita kerusakan otak permanen karena kondisi penyakit tersebut.
Penyakit tersebut menciptakan ketidakcocokan antara darah ibu dan darah bayi yang belum lahir. Kondisi ini akibat dari yang satu memiliki darah Rh-positif dan Rh-negatif lainnya.
Setelah jenis darah Harrison ditemukan, ia menawarkan diri untuk menjalani serangkaian tes untuk membantu mengembangkan vaksin anti-D. "Mereka mengasuransikan saya untuk satu juta dolar jadi aku tahu istri saya Barbara akan diurus dan saya tidak khawatir" katanya.
"Aku tidak takut, saya senang untuk membantu, saya harus menandatangani setiap form dan pada dasarnya itu adalah form tanda kehidupan." Diperkirakan ia telah membantu menyelamatkan 2,2 juta bayi sejauh ini.
_______
Right after he started donating blood, it found that his blood is very rare and there are antibodies in their blood. At that time, thousands of babies in Australia are dying each year from Rhesus disease. Newborns others suffer permanent brain damage because of the condition of the disease.
tag : antibodi, penyelamat bayi, nyawa, orang australia, warga negara, blogger, google, yahoo, mantap.
James memiliki antibodi dalam plasma darah yang dapat menghentikan kematian bayi akibat penyakit Rhesus (suatu bentuk anemia yang parah). Dia telah memungkinkan banyak ibu-ibu untuk melahirkan bayi yang sehat, termasuk putrinya sendiri, Tracey, yang memiliki anak sehat berkat darah ayahnya.
Harrison telah memberikan darah setiap beberapa minggu sejak ia berusia 18 tahun dan kini telah mencapai hingga 984 total sumbangan. Ketika ia mulai menyumbangkan darahnya, hidupnya dianggap begitu istimewa hingga telah diasuransikan untuk satu juta dolar Australia.
Dia berkata: "Aku tidak pernah berpikir tentang berhenti. Tidak akan pernah." Dia membuat janji untuk menjadi seorang donor pada saat berusia 14 tahun setelah menjalani operasi pembedahan besar di mana ia membutuhkan 13 liter darah.
"Aku berada di rumah sakit selama tiga bulan," katanya. "Darah yang saya terima dari orang lain telah menyelamatkan hidup saya, jadi saya membuat janji untuk memberikan darah kepada orang lain ketika aku berusia 18 tahun."
Tepat setelah dia mulai menyumbangkan darah, ternyata ditemukan bahwa darahnya sangat langka dan terdapat antibodi dalam darahnya. Pada waktu itu, ribuan bayi di Australia sedang sekarat setiap tahunnya dari penyakit Rhesus. Bayi yang baru lahir lainnya menderita kerusakan otak permanen karena kondisi penyakit tersebut.
Penyakit tersebut menciptakan ketidakcocokan antara darah ibu dan darah bayi yang belum lahir. Kondisi ini akibat dari yang satu memiliki darah Rh-positif dan Rh-negatif lainnya.
Setelah jenis darah Harrison ditemukan, ia menawarkan diri untuk menjalani serangkaian tes untuk membantu mengembangkan vaksin anti-D. "Mereka mengasuransikan saya untuk satu juta dolar jadi aku tahu istri saya Barbara akan diurus dan saya tidak khawatir" katanya.
"Aku tidak takut, saya senang untuk membantu, saya harus menandatangani setiap form dan pada dasarnya itu adalah form tanda kehidupan." Diperkirakan ia telah membantu menyelamatkan 2,2 juta bayi sejauh ini.
_______
Right after he started donating blood, it found that his blood is very rare and there are antibodies in their blood. At that time, thousands of babies in Australia are dying each year from Rhesus disease. Newborns others suffer permanent brain damage because of the condition of the disease.
tag : antibodi, penyelamat bayi, nyawa, orang australia, warga negara, blogger, google, yahoo, mantap.
Warna-Warni Perbedaan Suku
Di negeri yang diberkahi dengan banyak suku ini, bicara tentang perbedaan suku adalah hal yang cukup tabu. Sering kali ada peringatan semisal ‘tulisan yang mengandung SARA (suku, agama, dan ras) dilarang keras’. Tapi begitulah realitanya. Seperti juga realita saya yang sejak kecil berada di lingkungan yang berbeda suku karena orangtua saya berasal dari suku yang berbeda. Bapak saya bersuku Bugis (nenek saya orang Soppeng, kakek saya orang Wajo) sementara ibu saya bersuku Gorontalo (kakek saya bermarga Usman – dari Suwawa, nenek saya bermarga Nento – dari kota Gorontalo). Saya lahir dan besar di Makassar sehingga bahasa Indonesia dialek Makassar sangat lekat dengan saya. Saya tidak begitu paham bahasa Bugis, tetapi – mudah-mudahan – saya tidak mudah ‘dijual’ dalam bahasa Bugis karena setelah menikah dengan suami yang bersuku Bugis (ibunya orang Sidrap campur Malimpung, bapaknya orang Tolotang), pemahaman saya akan bahasa ini bertambah (bahasa Bugis adalah ‘bahasa ibu’-nya suami saya). Sementara bahasa Gorontalo, saya cukup memahaminya secara pasif (mendengarkan pembicaraan orang) meski saya tidak menangkap detil pembicaraan tetapi saya mengerti garis besar pembicaraan tersebut. Jadi, sering kali saya ‘aman’ menguping pembicaraan ibu saya dengan seseorang dalam bahasa ini karena ibu saya yakin saya tidak mengerti bahasa ini .... he he he (padahal berulang kali saya katakan pada beliau saya mengerti bahasanya, tetapi mungkin karena saya sama sekali tidak berbicara secara aktif dalam bahasa Gorontalo, beliau tetap dengan keyakinannya bahwa saya tidak mengerti).
Inilah uniknya Indonesia. Dari Sabang sampai Merauke warganya berbahasa Indonesia tetapi dialeknya beragam. Telinga saya menikmati percakapan dalam bahasa Indonesia dialek Bugis Soppeng yang mengalun saat berada di tengah keluarga bapak di Soppeng, juga menikmati percakapan bahasa Indonesia dialek Gorontalo saat berada di tengah keluarga ibu. Kekayaan Indonesia pun bisa dinikmati oleh telinga saya.
Di Gorontalo, rupanya bahasa Gorontalo bukan merupakan satu-satunya bahasa daerah. Di kampung kakek saya, ada bahasa Suwawa yang dipakai oleh warga daerah sana, selain bahasa Gorontalo. Dan uniknya, bahasa Suwawa berbeda dari bahasa Gorontalo. Begitu pula di kampung ibu mertua saya, di Malimpung yang letaknya di pedalaman kabupaten Pinrang, bahasa Malimpung dipakai di kampung itu sebagai bahasa daerah selain bahasa Bugis. Bahasa Malimpung pun berbeda dari bahasa Bugis.
Masalah SARA memang peka. Di Papua sering terjadi pertikaian antara warga pribumi dan pendatang, di daerah lain pun sering ada peristiwa perkelahian yang dipicu oleh perbedaan suku. Jika sedang berada di komunitas yang mayoritasnya merupakan orang-orang yang berasal dari suku tertentu, sering ada perbincangan membandingkan suku mereka dengan suku lain dengan kesan suku mereka lebih bagus. Ada ponakan saya, anak dari sepupu yang menikah dengan suku lain (bukan dari Sulawesi), mati-matian ditentang keras oleh saudaranya untuk menjalin hubungan dengan laki-laki yang berdarah Sulawesi. Katanya, karena orang Sulawesi kasar-kasar. Saya membantah, “Bukan kasar, mungkin lebih tepatnya, karakternya keras, nada berbicaranya keras/tegas”. Suami saya orang Sulawesi, lebih tepatnya lagi orang Bugis, walaupun power suaranya keras, ia tidak pernah sama sekali kasar pada saya. Bapak saya juga orang Bugis, tetapi suaranya pelan, orangnya kalem. Orang kasar ataupun halus, di mana-mana ada, tidak peduli sukunya apa. Akhirnya ponakan saya itu menikah dengan orang yang katanya berasal dari suku yang perangainya lemah lembut – menurut saudaranya, tapi nyatanya ia kerap mendapatkan KDRT. Pukulan dan tendanga akrab dengannya. Nah, bagaimana kalau begini?
Bapak dan ibu saya kadang-kadang saling mengolok (sambil bercanda tentu saja) dialek daerah satu sama lain dalam berbahasa Indonesia. Misalnya ibu saya selalu saja protes dengan cara orang Bugis memakai kata ‘tanya’ untuk membahasakan ‘bertanya’ dan juga ‘bilang’ atau ‘mengatakan’ (jadi sinonim, satu kata memiliki banyak arti). Misalnya untuk membahasakan kalimat, “Nanti saya bilang padanya”, dibahasakan dengan: “Nanti saya tanya’ ki” (artinya: “Nanti saya tanya dia) dalam dialek Bugis. Kalau sudah begitu, bapak saya membalas dengan frase “Bajalan kamari kaki” yang kalau dipahami dalam bahasa Indonesia yang terbayang adalah kaki yang berjalan sendiri (tanpa anggota tubuh yang lain ... J ). Padahal maksud sebenarnya frase ini adalah “Berjalan kaki”. Pada kenyataannya, bagi telinga orang yang memahami bahasa Indonesia yang baik dan benar, pasti terdapat keanehan dalam bahasa Indonesia dialek daerah (suku) apapun. Tidak percaya? Coba deh diteliti ....
Ada satu paradigma aneh yang berkembang di Gorontalo, yaitu bahwa orang Bugis itu ‘tukang kawin’. Saya sering mendengar ada orang-orang yang takut anggota keluarganya menikah dengan orang Bugis. Aneh menurut saya, karena di mana-mana ada tukang kawin, apapun sukunya. Tidak terkecuali di Gorontalo. Bapak saya dan saudara-saudaranya buktinya, juga sepupu-sepupu saya, hanya setia pada satu istri, forever and ever.
Mungkin paradigma seperti itu muncul karena dalam satu lingkungan terjadi beberapa peristiwa yang mirip. Misalnya saja di tengah keluarga besar ibu mertua saya, orang-orang yang menikah dengan suku tertentu tidak mendapat penerimaan bagus karena istri/suaminya tidak bisa mengambil hati keluarga besar pasangannya. Hal itu menjadi parah karena menyangkut etika bahkan nilai moral. Misalnya saja ada yang mengunci ibu mertuanya di dapur saat ada tamu karena malu dengan ibu mertuanya yang orang kampung. Dan hal seperti itu terjadi bukan hanya pada satu orang, tetapi pada semua kerabat dari suku lain tersebut. Sehingga ada aturan tidak tertulis yang berlaku sewaktu kami belum menikah, yaitu suami saya tidak boleh memilih perempuan dari suku itu. Ini berlaku sebaliknya dalam keluarga bapak saya. Om, dan kakak-kakak sepupu yang menikah dengan pasangan mereka yang berasal dari suku tersebut sangat diterima dengan baik dalam keluarga besar bapak karena mereka menampilkan perilaku yang baik dan pandai mengambil hati keluarga kami.
Sewaktu masih di Caltex dulu, saya dan suami termasuk suku minoritas di tengah-tengah lingkungan kami. Kami, pada waktu BJ. Habibie menjadi presiden RI, kerap mendengar ia dihujat rekan-rekan yang sukunya mayoritas. Sampai ada yang mengatakan kalau sukunya yang presiden pasti lebih baik (waktu itu sering kali kebijakan beliau mengundang pro dan kontra). Yah, apa hubungannya? Lagi pula kalau mau diusut-usut beliau bukan murni orang Sulawesi. Tapi sekali lagi apa hubungannya? Amat tidak rasional pernyataan seperti itu!
Saat beberapa kali pengalaman saya berada di tengah-tengah suku mayoritas, saya sering mendengar perbincangan di antara orang-orang yang memiliki kesamaan ini bahwa suku mereka lebih baik dari suku lain. Saya hanya diam saja, malas menanggapi. Sesekali saya berkata bahwa hal yang mereka cela itu ada di mana-mana, tidak peduli sukunya apa. Orang baik dan orang jahat ‘kan ada di mana-mana?
Seperti peribahasa “Pars Pro Toto”, maksudnya sebagian untuk semua. Sebagian kecil orang dipakai untuk mencap satu suku. Bukan hal yang benar, kan? Dalam menilai orang, kita harus proporsional dan obyektif. Inner beauty tidak dipengaruhi oleh suku. Saya kira kita semua bisa sepakat.
Makassar, 25 Februari 2011
Thursday, February 24, 2011
Dari Tidak Subur Menjadi Subur (Tidak Ada yang Mustahil Bagi Allah)
Tidak terasa usia pernikahan saya saat ini hampir dua belas tahun. Sejak gadis, saya sangat sering mengalami masalah dalam menstruasi, sering kali saya tidak haid selama berbulan-bulan, selama 3 bulan, 4 bulan, bahkan pernah selama 6 bulan. Untuk bisa haid dengan normal layaknya gadis-gadis lain, saya harus berobat ke dokter kandungan, sin she, hingga tabib pengobatan alternatif. Alhamdulillah untuk pertama kalinya, haid saya mulai teratur tiap bulan sejak bulan Januari 1999. Setelah pernikahan kami pada bulan April 1999, saya pindah dari Makassar ke Riau mengikuti suami yang bekerja di perusahaan minyak. Sejak saat itu saya berhenti berobat hingga menstruasi saya mulai tidak normal lagi. Selama tiga bulan berturut-turut tidak haid, sekurangnya ada dua kali saya memeriksakan diri ke dokter, dengan harapan saya hamil. Nyatanya saya tidak kunjung hamil. Dokter pun memberikan obat agar saya bisa haid.
Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter spesialis kandungan, secara medis saya dan suami sangat sulit memiliki anak. Masing-masing dari kami memiliki masalah spesifik yang membuat kami berdua sama-sama sangat jauh dari subur. Jumlah sperma suami saya sangat sedikit, jauh dari jumlah sperma normalnya laki-laki subur, sudah begitu sperma yang aktif hanya sebagian kecil. Sementara saya memiliki masalah dengan hormon, kadar hormon kesuburan saya seperti kadar hormon perempuan menopause padahal saat itu usia saya masih 25 tahun.Saat itu dokter kandungan yang kami kunjungi sampai memberikan gambaran mengenai inseminasi buatan dan program bayi tabung yang mungkin harus kami jalani jika ingin memiliki momongan. Ada yang tahu berapa biaya program bayi tabung? Biayanya ratusan juta rupiah!
Menjelang 1 tahun usia pernikahan kami, saya dan suami menjalani semacam terapi dengan obat-obat penyubur, selain itu dokter juga meminjamkan kami Maybe Baby - alat pengetes masa subur, supaya saya bisa mengetahui kapan saat-saat subur saya karena masa subur saya tidak tentu waktunya. Dalam terapi kesuburan itu, mulanya saya hanya mendapatkan dosis Profertil (obat penyubur) sebanyak 1 x 1. Bulan-bulan berikutnya dosisnya ditingkatkan oleh dokter hingga 1 x 3 (oya, harga obat ini mahal lho, waktu itu saja kalau tidak salah Rp. 7.000/butirnya, untungnya saat itu terapi kami ditanggung oleh perusahaan). Dari cerita teman saya, ia hanya perlu mengkonsumsi obat tersebut dengan dosis 1 x 1 sampai akhirnya hamil. Tetapi ternyata tidak demikian halnya dengan saya. Meskipun dosis obat tersebut ditingkatkan (sementara suami saya juga tetap mengkonsumsi obat penyubur), setiap bulan di-USG, hanya satu saja sel telur saya yang matang, itu pun ukurannya sangat kecil, jauh dari memadai untuk bisa dibuahi. Sudah tentu dengaan keadaan demikian saya belum juga bisa hamil.
Pada bulan September 2000, saat cuti ke Makassar, saya kembali berobat alternatif pada tabib yang dahulu membantu pengobatan menstruasi saya. Suami saya juga turut berobat. Saat itu semua obat dokter yang sedang dikonsumsi kami tinggalkan. Kami hanya berobat pada tabib tersebut dan pasrah pada ketentuan Allah. Bukannya mengecilkan pengobatan medis, hanya saja kami lebih memilih obat alami, tanpa efek samping sama sekali, lagi berkah (air putih yang dibacakan do’a). Sekembalinya ke Riau, keluarga di Makassar rutin mengambilkan. ‘air obat’ kami pada sang tabib dan mengirimkannya ke Riau. Alhamdulillah, mendekati penghujung tahun 2000 saya hamil dan melahirkan seorang bayi laki-laki yang sehat pada tanggal 9 Juli 2001, di saat pernikahan kami menginjak usia 2 tahun. Dengan berat badan saya yang bertambah sebanyak 18 kg selama hamil, ia lahir dengan bobot 3,35 kg.
Kalau saat itu ditanya mengapa saya ingin punya anak, terus terang saya tidak tahu jawaban pastinya. Mungkin karena saya melihat betapa bahagia dan terlihat lengkapnya teman-teman saya yang telah memiliki anak, atau mungkin juga karena saya bosan ditanya sana-sini dengan pertanyaan yang isinya sama tetapi dilontarkan dengan redaksi berbeda-beda: “Sudah hamil?”. Belum lagi, ada yang merespon jawaban “Belum” saya dengan kalimat “Koq bisa?”, dengan mimik yang menusuk hati. Yang jelas semua itu membuat saya berusaha untuk bisa hamil.
Saya tidak pernah berobat secara medis lagi untuk bisa hamil setelah melahirkan Affiq. Baik saya maupun suami juga sama sekali tidak menggunakan peralatan kontrasepsi dalam keintiman kami. Pada awal tahun 2002, suami saya mengundurkan diri dari perusahaan tempatnya bekerja dan kami kembali ke Makassar. Kami pun kembali mengunjungi tabib pengobatan alternatif yang dahulu mengobati kami. Atas kehendak Allah, saya hamil di tahun 2006. Betapa suka citanya kami. Di saat Affiq yang saat itu berusia lima tahun kami kabari tentang kehamilan saya - bahwa ada bayi dalam perut saya, ia kelihatan berpikir. Kemudian, sambil menatap perut saya yang mulai membuncit terlontar pertanyaan ini dari mulutnya: “Mama makan bayi?”. Saya bilang, “Tidak, Allah yang menaruh adik bayi dalam perut Mama”. Tetapi konsep ini masih sangat abstrak baginya. Berulang kali ia melantunkan kalimat ini: “Mama makan bayi …. Mama makan bayi …. “.
Affiq juga menciptakan cerita sendiri tentang ‘kehamilannya’. Ia ikut-ikutan hamil! Ia mengatakan di dalam perutnya ada bayi perempuan. Suatu saat terdengar bunyi yang berasal dari perutnya, ia berkata: “Perutku bunyi Ma, bayinya sendawa”. Di saat lain, ketika ia sedang malas bergerak, ia berkata pada saya, “Mama, saya tidak bisa bergerak, saya hamil. Di perutku ada bayi”. Atau saat ia menginginkan jenis makanan tertentu, ia meminta kepada saya dengan dalih yang menginginkan makanan itu adalah bayinya! Saat itu jika ditanya adiknya laki-laki atau perempuan, ia menjawab dengan mantap bahwa adiknya perempuan.
Banyak juga kerabat yang berharap bayi yang berada dalam kandungan saya berjenis kelamin perempuan. Namun saya tidak berani berharap karena kehamilan adalah hal yang mahal bagi saya. Allah meridhai saya untuk bisa hamil saja sudah merupakan anugerah yang luar biasa besarnya. Bagaimana mungkin saya ‘menuntut’-Nya memberikan saya anak dengan jenis kelamin yang saya inginkan? Namun Allah sungguh Mahapemurah! Dia melengkapi hidup saya dengan mengaruniai bayi perempuan cantik yang lahir pada tanggal 24 September 2006. Dengan berat badan saya yang bertambah hanya 5 kg selama hamil, ia lahir dengan bobot 3,35 kg. Sungguh menakjubkan kuasa Allah ya? Saya tidak perlu diet banyak untuk menurunkan berat badan saya setelah melahirkan. Proses kelahirannya pun cepat, antara pembukaan satu sampai pembukaan lengkap hanya memakan waktu tiga setengah jam! Subhanallah. Hari-hari pertama Athifah sangat seru, karena kakaknya ikut menemani saya dan papanya di rumah bersalin. Affiq begitu antusias melihat ada bayi kecil di antara kami. Hal itu kemudian menumbuhkan satu pertanyaan di benaknya: “Mama, dari mana adik lahir?”. Saya gelagapan.
Karunia-Nya sungguh luar biasa. Saya mulai menunjukkan tanda-tanda subur. Sehingga kami memutuskan berkontrasepsi. Alat kontrasepsi kami unik, yaitu air yang berkah dengan do’a dari tabib yang mengobati kami. Bagi banyak orang ini tentu bukanlah hal yang masuk akal. Tetapi apa yang tidak mungkin bagi Allah? Orang yang nyaris mandul seperti saya dan suami saya saja bisa dititipi-Nya anak, menjadikan air sebagai alat kontrasepsi tentu saja bukan hal yang mustahil bagi-Nya.
Namun suatu ketika di penghujung tahun 2008, saya lupa meminum ‘air KB’ saya hingga 12 jam lamanya. Sekali lagi, Allah menakdirkan amanah-Nya dalam kandungan saya. Saat perut saya membuncit, seperti kakak Affiq-nya dahulu, Athifah juga punya cerita sendiri tentang ‘kehamilannya’. Ia suka mengembang-kempiskan perutnya, untuk ‘memperlihatkan’ aktifitas ‘bayi-nya’ kepada saya. Saya menikmati masa kehamilan ini. Walaupun dari bulan ke bulan perut saya makin membesar, seperti kehamilan-kehamilan terdahulu, saya masih bisa mengerjakan tugas-tugas rumah tangga, dan alhamdulillah saya tidak punya masalah dengan ngidam. Nafsu makan saya bahkan biasa-biasa saja, demikian pula keinginan saya terhadap sesuatu pun biasa-biasa saja. Bayi laki-laki sehat berbobot 3,15 kg itu pun lahir dari rahim saya pada tanggal 28 September 2009, dengan proses yang sangat cepat. Dokter memperkirakan ia lahir pukul 14, tetapi Allah berkehendak ia lahir pada pukul 11, hanya dengan satu kali mengejan! Subhanallah. Hari-hari pertama Afyad pun sama serunya dengan hari-hari pertama Athifah di dunia ini karena kedua kakaknya ikut menemani saya dan papanya di rumah bersalin. Affiq sangat menikmati ‘liburannya’ di rumah bersalin. Ia bahkan menyarankan saya, jika suatu saat melahirkan lagi supaya memilih rumah bersalin yang sama karena rumah bersalin ini mengasyikkan baginya. Waduh ...
Nah, kalau sekarang ditanya, bagaimana rasanya dititipi anak oleh Yang Mahakuasa, jawaban saya adalah nikmat luar biasa. Dan rasa nikmat itu tidak bisa saya ungkapkan seluruhnya dengan kata-kata, bahkan dengan semua kosa kata yang saya miliki karena nikmat itu sangat meresap dan membungkus hati saya dan sering membuat saya terharu.
Mulai dari keberhasilan pemberian ASI eksklusif dalam 6 bulan pertama kehidupan putra-putri saya hingga apa yang saya rasakan sekarang. Saya merasakan manfaat dan juga nikmat luar biasa dari pemberian ASI eksklusif pada anak-anak saya. Dibandingkan bayi-bayi lain seusia mereka yang tidak mendapatkan ASI eksklusif, ketiga buah hati saya tumbuh lebih sehat. Bahkan di saat saya dan suami beberapa kali terserang flu, mereka tak mudah tertular.
Sungguh nikmat menjadi orang pertama yang menyaksikan pertumbuhan dan perkembangan mereka, sejak tidak tahu apa-apa hingga mengetahui cukup banyak, sejak belajar berjalan hingga bisa berlari. Sejak belum bisa berbicara hingga fasih mengoceh, menanyakan apa saja, dan bereaksi secara verbal dengan lontaran-lontaran yang tak terduga. Dan masih banyak lagi.
‘Mendeteksi’ kemiripan ketiganya dengan saya atau papanya, atau dengan kakek-kakek dan nenek-neneknya maupun om-om dan tante-tantenya juga mendatangkan kenikmatan tersendiri bagi saya. Sangat menakjubkan. Betapa Mahakuasanya Allah, dari setetes mani, segumpal darah, lalu menjadi segumpal daging yang terus berproses menjadi sel-sel yang membelah sampai menjadikan mereka bayi dalam rahim saya lalu kemudian lahir dan bertumbuh-kembang hingga sekarang ini, mereka memiliki banyak kemiripan dengan kami tetapi sesungguhnya masing-masing mereka adalah individu unik. Dengan perpaduan kemiripan itu semua, ketiganya justru membentuk postur yang unik, karakter, sikap, dan cara berpikir yang juga unik. Mengagumkan!
Menyelami kedalaman mata ketiganya, sungguh kenikmatan luar biasa bagi saya. Nikmat yang tidak pernah berkurang rasanya saat menatap mata mereka sambil menyusui atau di saat-saat mereka sedang berceloteh riang tentang apa saja. Menatap mata mereka ibarat komunikasi batin antara saya dengan mereka. Ada rasa indah yang sulit didefinisikan yang saya rasakan, turun ke hati saya saat menyimak binar polos dari mata ketiga permata hati ini.
Menyaksikan keriangan mereka saat bermain bersama, saat bernyanyi, saat membuka lembaran buku kesayangan mereka, saat menggoda saya atau papanya juga menciptakan kenikmatan luar biasa di hati saya. Pada kenyataannya, sungguh – saya tidak sanggup bercerita secara verbal semua nikmat luar biasa yang dianugerahkan Allah melalui mereka. Segala nikmat yang tentu saja membuat saya merasakan makna menyandang predikat ‘ibu’.
Saat mendengar lantunan ayat suci dari pengeras suara masjid menggemakan ayat dari surah Ar-Rahman yang artinya: “Maka nikmat Tuhan kamu yang manakah yang kamu dustakan ?”, air mata haru tergenang di sudut-sudut mata saya. Ya, nikmat mana lagi yang saya dustakan ? Tidak, tidak ada nikmat-NYA yang pantas saya dustakan. Betapa luar biasanya nikmat merasakan dari tidak subur menjadi subur, hingga dirahmati tiga orang anak yang luar biasa. Sungguh Mahabesar Ia, yang telah mengizinkan saya menjadi saksi bahwa tidak ada yang mustahil bagi-Nya – Rabbul ‘alamin.
Semoga Allah memberkahi pak Haji di dunia dan akhirat. Tabib yang selalu lillahi ta’ala, tidak pernah menentukan tarif bahkan tak jarang ia tak mau dibayar.
Makassar, 19 Februari 2011
Wednesday, February 23, 2011
A Wolf at the Door
More about the dark side of wolves...
but of course, only humans can be that cruel!
Tuesday, February 22, 2011
Monday, February 21, 2011
Subscribe to:
Posts (Atom)