Seingat saya, keharusan (soalnya belum menjadi budaya) ‘antri’ belum terlalu lama di Makassar (mungkin begitu juga di Indonesia ya?). Kelihatannya, sejak beroperasinya dua swalayan pertama di Makassar, pada tahun 1980-an. Soalnya, untuk membayar, para pembeli harus antri di depan kasir. Waktu itu hanya ada dua swalayan, City (maaf kalau salah, seingat saya namanya City) dan Jameson (sekarang, City sudah ‘almarhum’, Jameson sempat macet tetapi sekarang sudah menjadi swalayan yang menjual perkakas pertukangan/alat-alat rumah tangga). Lalu pelan-pelan muncul swalayan lain seperti Arini, Kembang Melati, Goro, dan Alfa, di mana pembeli juga diharuskan mengantri saat hendak membayar. Keempatnya pun tak bertahan lama. Kemudian muncul Makro yang belakangan berubah menjadi Lotte. Juga bermunculan mal-mal yang gerai-gerai di dalamnya mengharuskan para pembelinya untuk antri saat hendak membayar.
Namun hal ini tidak juga berhasil menjadikan antri sebagai budaya seluruh masyarakat Makassar. Kala sedang antri di swalayan, masih sering saja saya dapati ada orang yang berusaha memotong antrian. Biasanya kalau sudah melihat gelagat orang di dekat saya hendak memotong antrian, saya buru-buru merapatkan barisan dengan orang yang berada di depan saya sehingga selangkah pun tidak bisa diserobot oleh siapa pun. Biasanya sih berhasil, orang-orang itu berlagak seolah-olah tidak terjadi apa-apa (seolah ia tidak pernah berusaha memotong antrian, maksudnya), tetap berdiri di belakang saya, atau segera melenggang pergi, mencari peluang memotong antrian di kasir sebelah. Ada kalanya saya tak berdaya menolak orang-orang yang berusaha menyerobot antrian tatkala mereka meminta izin dengan sopan sebelumnya, apalagi jika diiringi dengan senyuman manis, "Permisi Bu, boleh Saya duluan? Barang Saya hanya satu ini". Saya hanya bisa membalas tersenyum sambil mempersilakan mereka berdiri di depan saya ... :-)
Ada pula reaksi yang tidak saya sangka. Saat itu, melihat seorang ibu sedang berusaha memotong antrian, buru-buru saya merapat ke depan. Eh, ibu itu mendelik ke arah saya. Sambil melotot, ia mengomel, “Cuma satu ini!” (maksudnya barang yang dibelinya hanya satu buah). Saya membuang muka, pura-pura cuek. Tetapi dalam hati menggerutu juga, “Seharusnya kan saya yang mengomel, bukannya dia”.
Suatu ketika, seorang muslimah yang berpakaian ‘sangat amat jauh’ lebih tertutup daripada baju muslimah yang saya kenakan, berdiri di belakang saya. Saya berprasangka baik tentunya. Saya sama sekali tidak punya pikiran buruk terhadapnya. Tetapi saat dengan tiba-tiba ia bergerak, dan kemudian berdiri di depan saya - ia memotong antrian, dengan tanpa merasa bersalah – Antara kaget, tidak percaya, dan kecewa: kali ini, tak sadar saya yang mendelik.
Makassar, 6 April 2011
No comments:
Post a Comment