Salah satu segmen Apa Kabar Indonesia Pagi di TVONE pada tanggal 29 April 2011, membahas tentang orang-orang korban NII beserta orangtuanya. Ada pula tinjauan psikologis dari psikolog Ibu Elly Risman dan wakil dari ITB.
Betapa orangtua memegang peranan penting, ibu Elly Risman pun menjelaskan tentang ini. Korban NII yang diculik, yang dicuci otak adalah anak-anak muda yang tengah bergairah-bergairahnya memuaskan dahaga pengetahuan mereka. Yang tengah mencari jati diri mereka.
Dito, salah satu nara sumber kali ini, adalah seorang mahasiswa, korban indoktrinasi NII. Tujuh juta rupiah sudah – yang seharusnya merupakan biaya kuliahnya - melayang ke kas NII. Beruntung ia sadar, betapa hal ini akan mengecewakan ibundanya. Ia mengambil langkah tegas, keluar dari organisasi yang merekrutnya. Ibundanya di Pekanbaru dihubungi oleh TVONE via telepon, maka meluncurlah kata-kata permohonan maaf dari mulut Dito kepada sang ibunda. Air mata menggenang di pelupuk mata pemuda ini, suaranya bergetar. Ia pun memperdengarkan lagu yang khusus ia ciptakan untuk ibunya sebagai pertanda betapa ia betul-betul menyesali hal ini dan tidak akan mengulanginya lagi.
Dito saat itu tengah semangat-semangatnya mempelajari sejarah Islam. Ia sampai merasa gemas, mengapa khilafah Utsmaniyyah hancur. Ketika itu, ada orang yang mengajaknya masuk ke suatu organisasi yang sedang memperjuangkan suatu khilafah yang ia kira seperti ia harapkan. Saat itu, organisasi itu mampu menjawab dahaga pengetahuannya dan cukup menjanjikan, terbentuknya khilafah dengan ideologi Islam.
Jika ada ratusan pemuda/pemudi berpikiran kritis seperti Dito, dan orangtua mereka diharapkan cepat tanggap. Berapa banyak orangtua yang mampu menjawab dahaga pengetahuan mereka tentang sejarah Islam? Tentang kedaulatan Islam sebagai suatu negara? Jika orangtua tak bisa menjawabnya, tentu mereka akan mencari ke tempat/orang lain yang lebih bisa memuaskan dahaga pengetahuan mereka. Itu baru sedikit pertanyaan. Pemuda-pemudi kritis pasti punya segudang besar pertanyaan di benak mereka yang hendak dipuaskan.
Menjadi orangtua sebenarnya bukan sekedar bisa merawat dan membesarkan fisik anak-anak kita. Bukan sekedar memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan, kemudian kebutuhan sekunder lalu tersiernya. Sadarkah kita bahwa sebagai orangtua kita dituntut untuk cerdas? Cerdas secara intelektual agar bisa menjawab dahaga pengetahuan anak-anak kita. Cerdas secara emosional agar bisa mengajarkan prinsip-prinsip kecerdasan emosional kepada anak-anak kita (mengenali emosi diri, mengelola dan mengekspresikan emosi, memotivasi diri sendiri, mengenali emosi orang, dan membina hubungan). Dan tentu saja cerdas secara spiritual, agar bisa mengajarkan ibadah kepada anak, baik syari’at maupun akhlak Islami. Selain itu kita juga dituntut untuk cerdas dalam pertarungan hidup agar bisa mengajarkan ketangguhan hidup kepada anak-anak kita.
Sadarkah kita jika orangtua dituntut cerdas psikologis agar bisa menyikapi dan meningkatkan perkembangan psikologi anak-anak kita pada setiap masa pertumbuhannya? Tahukah kita bahwa orangtua juga harus cerdas menyikapi bahwa ternyata sebagian besar kompetensi yang dituntut oleh dunia kerja sebenarnya tidak diajarkan di sekolah-sekolah formal? Dan kompetensi itu sebenarnya bisa kita pupuk mulai dari rumah? Laa hawla walaa quwwata illaa billaah.
Makassar, 30 April 2011
No comments:
Post a Comment