Saya mengamati wajah sabar yang kini makin nyata tercetak kerut itu mengasuh Ahmad (3 tahun), cucu ketiganya. Beliau sendiri pasti tak menyangka di usia sekarang, masih harus mengasuh seorang bocah batita yang super aktif. Bocah lincah itu bahkan sering melakukan gerakan tak terduga seperti tiba-tiba memukul dada neneknya atau menubrukkan badan gempalnya ke tubuh sepuh sang nenek.
Beliau pasti lelah. Badannya yang kini semakin kurus pasti kewalahan mengasuh bocah itu. Tapi saya yakin keikhlasan hatinya mengalahkan rasa lelah itu. Karena saya mengenalnya seperti ibu kandung saya sendiri. Tak ada perempuan lain yang saya temui seumur hidup saya yang memiliki hati seluas hatinya. Dialah ibu mertua saya, seorang perempuan bersahaja, pensiunan guru SMP Muhammadiyah yang saya kagumi ketegarannya.
Sepenggal kisah hidupnya yang saya tuliskan ikut meramaikan antologi Girl’s Power | Catatan Heroik Perempuan (diterbitkan bulan Agustus 2011 oleh Indie Publishing). Kisahnya cukup heroik untuk ikut diulas dalam buku itu. Sepenggal kisah hidup itu hanya mengisahkan secuil demi secuil kisah-kisah heroiknya. Dan kini, saat memandang wajah sabar itu tengah kerepotan mengurus cucu nan lincah – saya tersentak. Saya tersentak karena menyadari, episode heroik tak akan lepas sepanjang usianya di dunia ini. Beliau akan terus menjadi pahlawan yang selalu tulus berkorban demi anak-cucunya.
*****
Bulan Mei silam, beliau mengawal ibu Ahmad beserta Ahmad dan adiknya Althaf dari Manokwari ke Makassar. Ibu Ahmad terkena penyakit berat, levernya bermasalah sehingga perutnya membesar tetapi tidak ada fasilitas untuk mengobservasi lebih lanjut penyakitnya itu di Manokwari sehingga tidak bisa diketahui secara detil apa sebenarnya penyakitnya itu. Sebelumnya, ia sempat dirawat-inap selama seminggu di rumah sakit sana. Ini bukan kali pertama ibu Ahmad dirawat-inap, sebelumnya sudah beberapa kali ia sakit berat. Oleh karenanya, ia minta dirujuk ke Makassar untuk observasi dan pengobatan lebih lanjut.
Perjalanan yang cukup panjang Manokwari – Makassar mereka tempuh dengan pesawat terbang. Sepanjang perjalanan beliau menggendong Althaf yang walaupun masih berusia 7 bulan sudah memiliki berat badan 10 kilogram. Beliau tak membolehkan ibu Ahmad menggendongnya padahal sebenarnya tak mudah baginya menggendong Althaf selama berjam-jam.
Setelah melalui beragam permeriksaan, ibu Ahmad dirawat di rumah sakit Wahidin Sudirohusodo Makassar. Seorang kerabat berbaik hati membawa Althaf untuk diasuhnya di Pare Pare (letaknya 150 km dari Makassar). Secara bergantian, beberapa kerabat yang lain menemani ibu Ahmad di rumah sakit. Sementara beliau tinggal di rumah kerabat yang jaraknya dekat dengan rumah sakit tersebut sembari mengasuh Ahmad. Setiap hari beliau mengusahakan menjenguk ibu Ahmad di rumah sakit.
Karena kelelahan fisik yang luar biasa ditambah beban pikiran, beliau jatuh sakit hingga dirawat selama seminggu di rumah sakit yang sama. Sewaktu masih di Manokwari, beliau tak putus merawat ibu Ahmad yang kerap sakit sekaligus merawat kedua cucunya. Bahkan pernah sekali masa, beliau menunggui ibu Ahmad di siang hari sambil membawa si bayi Althaf. Sore hari beliau pulang ke rumah bersama Althaf, bergantian dengan ayah Ahmad yang datang membawa Ahmad untuk ‘jaga’ malam. Sepanjang malam yang tersisa hingga keesokan pagi hingga siang harinya, sudah tentu beliau yang merawat sang bayi yang tembem. Menggendongnya, memandikannya, memberinya makan, membuatkannya susu, dan meladeni kelincahannya. Lalu setelah itu, pada siang hari beliau menggendong Althaf, membawanya ke rumah sakit untuk ‘piket’ pagi. Bagaikan estafet, sepulang dari rumah sakit, beliau sendiri yang mengemasi segala sesuatunya untuk dibawa ke Makassar sembari mengasuh kedua cucunya dan merawat ibu Ahmad. Tak ada jeda sehari pun, hingga mereka berempat terbang ke Makassar.
Setelah beliau keluar dari rumah sakit, beberapa waktu kemudian ibu Ahmad dioperasi. Beberapa hari setelah operasi, kerabat yang tadinya menemani ibu Ahmad di rumah sakit satu per satu kembali ke kampung. Mereka pun memiliki keluarga dan pekerjaan yang tak bisa mereka tinggalkan terlalu lama di sana. Ayah Ahmad yang datang beberapa hari menjelang operasi juga harus segera kembali ke Manokwari. Dengan ikhlas, beliau menemani ibu Ahmad di rumah sakit, meladeni segala keperluannya, mulai dari memberi obat, makan, mencucikan pakaian hingga meladeni kemanjaannya. Ahmad untuk sementara dibawa oleh anak bungsu beliau ke kota Rappang (kabupaten Sidrap, Sulawesi Selatan).
Saat itu saya tak selalu bisa mencucikan pakaian ipar saya tersebut karena kondisi kesehatan saya dan anak-anak yang sedang memburuk ditambah lagi dengan jarak rumah sakit dari rumah yang cukup jauh. Untuk makan sehari-hari, beliau pergi membeli sendiri di kantin, begitu pun jika putri semata wayangnya yang sudah mulai eneg dengan masakan rumah sakit itu menginginkan makanan tertentu di kantin, ia sendiri yang pergi membelikannya. Duh, sedih sebenarnya hati saya karena tak bisa mengantarkannya makanan setiap hari tetapi kondisi saya pun tengah drop dan tidak lepas dari pekerjaan rumahtangga yang menumpuk serta tiga orang anak yang harus diurus.
Jika harus menebus obat di apotek sementara suami saya belum datang, beliau sendiri yang pergi menebusnya. Suatu ketika, saat suami saya datang dengan langkah terseok-seok karena kakinya bengkak setelah menginjak sesuatu, beliau sebenarnya hendak memintanya menebus obat. Namun ketika melihat kaki anak sulungnya, beliau berkeras pergi sendiri menebus obat itu di apotek.
Setelah lima minggu lamanya dirawat-inap, tiba waktunya ibu Ahmad dan beliau pulang ke Pare Pare. Beruntung di sana, ada kerabat yang membantu mengasuh Althaf sehingga beliau cukup terbantu sehari-harinya dalam mengasuh Ahmad dan ibunya.
*****
Beberapa kali beliau, Ahmad, dan ibunya datang dari Pare Pare, saya menyaksikan sendiri betapa beliau mengasuh Ahmad laksana anak sendiri. Mengejar-ngejar Ahmad sembari menyuapinya, tergopoh-gopoh membuatkan susu setiap kali Ahmad memintanya bahkan di tengah malam buta sekali pun, memandikannya, mencebokinya, dan mencucikan pakaiannya. Walau ada gurat lelah di wajahnya, tak pernah ada kegusaran apalagi kemarahan. Pun ketika ibu Ahmad berseru, “Ma, mana obatku,” dengan tergopoh-gopoh beliau ke kamar untuk mengambilkannya sejumlah obat.
Saat ibu Ahmad sudah harus kembali ke Manokwari, melanjutkan pengobatannya yang belum selesai di sana, untuk kebaikan bersama beliau berkeras agar kedua cucunya tetap tinggal di Pare Pare. Ibu Ahmad sebenarnya keberatan namun kondisinya yang belum sehat betul membuatnya menyerah kepada keputusan beliau. Sudah terlalu lama ia tinggalkan Manokwari, banyak tugas yang harus dikerjakannya di sekolah tempatnya mengajar. Di samping itu ia tentu belum mampu menggendong dan meladeni kedua anaknya jika mereka hendak bermanja-manja, sementara nyeri bekas sayatan operasi masih terasa.
*****
Ahmad itu ‘anak nenek’, kata saya. Ahmad bahkan memanggil ‘MAMA’ kepada beliau. Ini nyata sekali di mata saya saat beliau dan Ahmad datang dua minggu lalu. Saya kembali menyimak perempuan bersahaja ini mengasuh Ahmad setiap harinya. Di saat-saat itulah hati saya merasa miris demi menyadari episode heroik takkan pernah lepas dari hidupnya. Namun demikian, disela-sela rasa miris itu terselip rasa sejuk seolah sejuknya udara pagi di pegunungan ketika mengamati wajah sabar nan ikhlas miliknya.
Saya pun tergerak mengirim SMS kepada ibu Ahmad yang isinya:
“ ... Mama kurus, Ahmad aktifnya minta ampun, mama mesti selalu disuplaikan vitamin. Pasti capek sekali badan mama menjaga Ahmad.”
Beberapa menit kemudian masuk balasan SMS dari ibu Ahmad. SMS itu berbunyi:
“Waktu ke sini sebenarnya saya mau bawa Ahmad tapi semuanya tidak mau kalau ia saya bawa ... Di sini saya seperti orang bodoh karena tidak ada anak kecil. Biasanya dulu pulang mengajar ada yang dipanggil, dan ditemani bermain, sekarang tidak ada lagi. Rasanya tersiksa. Kami juga kepikiran dan merasa bersalah. Tapi mama dan semuanya tidak mau kalau saya bawa. Jadi bagaimana?” [i]
Saya menarik nafas panjang dan menahan dongkol membaca balasan SMS-nya. Mengapa ia tak menangkap makna yang nyata-nyata tersurat dalam SMS saya sebelumnya? Saya hanya ingin ia memperhatikan kesehatan mama yang setiap harinya kelelahan mengurus anaknya. Mengapa ia seakan balik menyalahkan kami yang katanya melarang ia membawa anaknya? Saya tidak menyalahkannya dalam SMS itu tapi mengapa ia merasa disalahkan? Saat saya perlihatkan dan diskusikan dengan suami saya, ia menangkap makna SMS ibu Ahmad itu seperti makna yang saya terima.
Saya mengirim balasan SMS:
“Memang harus begitu. Tidak ada yang menyalahkanmu. Itu supaya kamu bisa cepat pulih kembali. Yang salah adalah jika kamu tidak istirahat baik-baik selama anak-anak ada di Pare-Pare. Jangan sampai kondisimu tak ada perkembangannya di sana. Lagipula justru akan lebih tersiksa jika mama dan anak-anak ikut denganmu ke Manokwari karena mau tidak mau mama harus merawat dua orang anak kecil dan memasak setiap harinya. Kalau di Pare Pare, mama hanya menjaga Ahmad karena ada yang membantu menjaga Althaf. Dan selama di Pare-Pare, mama tidak perlu ke pasar dan memasak sendiri karena ada yang membantunya. Kamu jangan merasa saya persalahkan, saya tidak menyalahkanmu. Lagipula mengenai keputusan itu, murni keputusan mama, saya dan kakakmu tidak ikut campur. Lagipula itu keputusan yang tepat” [ii]
Tak berapa lama, ia mengirim SMS lagi, isinya mencoba memperbaiki keadaan:
“Kondisi saya di sini sudah membaik, teman-teman bilang sudah mulai kembali seperti semula. Timbangan sudah 45 kg. Di sekolah juga tidak capek. Kalau merasa capek, saya meminta izin kepada kepala sekolah dan beliau langsung menyusuh istirahat. Saya tidak merasa kakak menyalahkan saya. Saya merasa bersalah karena mama jaga Ahmad, dia jadi kurus. Mungkin juga mama pikirkan saya. Saya di sini baik-baik saja, maunya makan terus ... “
Alhamdulillah. Kalau begitu, saat beliau nanti ikut kalian ke Manokwari (beliau pasti ikut karena tak ada yang menjaga anak-anakmu saat dirimu harus mengajar), harap pegang kata-katamu itu saudariku sayang. Jangan buat beliau terlalu capek karena mengasuh kedua anakmu dan memasak untukmu sekeluarga setiap harinya. Sudah terlalu banyak beliau korbankan untukmu dan anak-anak, sejak kamu dalam kandungannya hingga sekarang. Tolong jaga beliau seperti menjaga berlian karena beliau adalah berlian dalam keluargamu. Jaga fisiknya, jaga pula hatinya.
Makassar, 20 September 2011
[i] SMS itu diedit tata bahasanya (misalnya kata ‘aq’ diganti dengan ‘saya’) dan dihilangkan beberapa kalimat yang tidak penting. Saya menuliskan apa adanya, tidak mencoba mengubah maknanya.
[ii] SMS itu diedit tata bahasanya (misalnya saya menyebutnya dengan kita’ yang berarti ‘anda’ (sopan) dalam dialek Bugis, pada tulisan di atas kata kita’ itu saya ganti dengan ‘kamu’). Saya menuliskan apa adanya, tidak mencoba mengubah maknanya.
No comments:
Post a Comment