http://shop.waroeng.nl |
“Anak saya dipukul dengan sapu ... syukurlah”.
Saat membaca judul ini anda mungkin berpikir, saya ini ibu yang gila, anaknya dipukul dengan sapu malah bilang “syukurlah”.
Sabar ... saya kan belum bercerita apa-apa.
Begini kisahnya.
Affiq (sulung saya berusia 10 tahun) pulang mengaji dengan wajah muram. Ia langsung masuk kamar. Setelah berganti baju, ia keluar kamar masih dengan wajah muram. Saya yang mengamati buram wajahnya kemudian melihat ia mulai terisak-isak.
“Kenapa, Nak?” tanya saya.
Ia mendekati saya, masih dengan terisak-isak. Kali ini dengan suara yang lebih keras, nyaris tersedu-sedu.
Saya menatapnya, ia belum menjawab. Suara isakannya masih terdengar.
“Kenapa, Nak?” ulang saya.
Di sela-sela isakannya ia berkata lirih, “Saya tidak mau mengaji lagi!”
“Lho, kenapa?” tanya saya.
“Temanku ada yang marahi Saya,” Affiq masih terisak-isak.
Saya masih harus bertanya kepadanya, sepertinya ada hal yang serius. Atau mungkin ia yang terlalu sensitif. Kadang-kadang Affiq sangat sensitif, ia bisa sedih bahkan sakit hati jika dimarahi sedang ia tak merasa bersalah. “Memangnya kenapa Kamu dimarahi?” tanya saya lagi.
Kali ini saya menariknya ke dalam kamar, mendatangi papanya. Rasanya lebih mudah menghadapi masalah jika kami berdua.
Mengapa ia menangis hanya karena dimarahi temannya? Apa ia mungkin dipukul?
Affiq masih terisak-isak, mulai lagi suaranya mengeras. Ia mencoba menjelaskan. Tetapi yang tedengar di telinga saya hanyalah gumaman. Saya melirik suami saya. Kami serempak berkata, “Bicara yang jelas. Berhenti menangis dulu. Bagaimana bisa didengarkan apa yang Kamu bilang kalau masih terus menangis seperti itu?”
Affiq berusaha menguasai dirinya. “Temanku main lempar-lempar sapu, saya tanya Puang. Temanku marahi Saya,” jawab Affiq. Puang adalah panggilan masyarakat sekitar kepada pak Haryadi, guru mengaji sekaligus pemilik TPA Babul Jannah – tempat Affiq belajar mengaji.
“Terus, apa Puang juga memarahi Affiq?” tanya saya lagi.
“Tidak,” gelengnya.
“Terus, apa lagi yang terjadi?” saya masih mengejarnya dengan pertanyaan.
Saya memutar otak mencerna. Saya harus menanyakan lebih jelas maksud kata ‘tanya’ di sini. Kalau dalam dialek Bugis-Makassar, kata ‘tanya’ berarti ‘beritahu’. “Maksudnya, Affiq memberitahu Puang kalau ada teman Affiq yang melempar-lempar sapu?”
“Iya,” angguk Affiq. Ia masih terisak-isak pelan. “Dia juga memukul Saya,” lanjut Affiq.
“Apa? Anak nakal itu memukul anak saya? Padahal anak saya berniat baik?” Otak saya mulai teracuni rasa kasih sayang. Kalau mendengar ada seorang anak berbuat buruk kepada anak saya, ingin sekali rasanya memukul anak itu. Saya melirik suami saya. Suami saya balik melirik saya.
“Siapa nama temanmu itu?” saya mengejar detil kejadian ini.
“Tidak tahu,” jawab Affiq.
“Lho, masak tidak tahu nama temannya?” tanya saya. Suami saya berkata, “Yang namanya teman itu harusnya ditahu namanya dong.”
“Gimana, Pa?” tanya saya. Suami saya hanya mengangkat bahu.
“Memangnya, temanmu itu memukul pakai apa?” tanya saya lagi kepada Affiq.
“Pakai sapu,” jawabnya.
“Bagian apanya sapu yang dipukulkan ke Affiq, kayunya atau rambutnya?” saya mulai panik.
“Kayunya,” jawab Affiq.
“Terus, di mananya Affiq yang dipukul? Berapa kali?” kejar saya lagi.
“Di dada, hanya satu kali,” jawabnya.
“Hah .. anak model apa ini?” di benak saya mulai berseliweran ide-ide jahat. Selain kepingin memukul balik anak itu dengan sapu, saya memikirkan alternatif lain, melapor kepada pak Haryadi.
Saya menarik napas panjang. Kembali saya lirik suami saya yang dari tadi membisu sementara saya mewawancarai anak kami. “Bagaimana seharusnya ia menghadapi hal ini, ya Pa?” tanya saya. “Tergantung .. kasusnya bagaimana,” jawab suami saya pendek.
Terus terang, saya bingung menghadapi hal ini. Saya ini dulu anak rumahan, saya tak pernah bermain intens dengan anak lelaki apalagi yang suka memukul. Affiq pun anak rumahan, ia tidak terbiasa berpetualang di jalan-jalan sekitar rumah kami seperti teman-teman mengajinya yang rata-rata ‘BOLANG’ (BOcah petuaLANG) itu, kegiatannya sehari-hari hanya di dalam rumah atau pekarangan saja. Ia keluar hanya untuk ke sekolah dan mengaji.
Mendapat konflik seperti ini tentu mengagetkan baginya. Terkadang saya gegabah, ingin mengajarinya supaya membalas jika ada teman-temannya yang kasar. Tapi rasanya koq tidak baik ya, membalas pukulan dengan pukulan. Bagaimana nanti jika ia ketagihan jadi tukang pukul? Lagipula pada dasarnya ia tidak terbiasa dengan perkelahian fisik. Hingga saat ini ia belum pernah berkelahi secara fisik ala anak laki-laki.
Papanya dulu tergolong ‘BOLANG’, meski ia termasuk ‘anak bawang’ di lingkungan bermainnya, ia tak takut berkelahi dengan anak-anak yang lebih besar. Ia pernah beberapa kali adu jotos. Tak mungkin juga baginya mengajari sulung kami adu fisik. Lagipula dalam kasus ini Affiq punya kesalahan: ‘mengadu’. Tak ada orang yang suka diadukan kepada ‘yang berwenang’ meskipun ia nyata membuat kesalahan!
Logika saya masih menuntut saya untuk berpikir lurus dan berperasaan tenang menghadapi masalah ini. Saya mengulangi lagi kronologisnya, “Jadi Affiq tadi memberitahu Puang, temanmu itu bermain lempar-lempar sapu, kemudian karena memberitahu kepada Puang, temanmu itu memarahi Affiq. Lalu setelah itu ia memukul Affiq.”
“Begitu kan kejadiannya?” saya kembali memuntahkan pertanyaan kepada Affiq.
“Iya,” jawab Affiq.
“Jelas saja temanmu marah, Nak. Tidak ada orang yang suka diadukan meskipun ia melakukan kesalahan. Kalau Affiq berbuat nakal, kemudian adikmu Athifah mengadukan kepada Mama, pasti Affiq juga tidak senang, kan? Affiq juga marah sama Athifah, kan?” jelas saya.
“Affiq pernah pukul Athifah karena mengadu,” imbuh suami saya.
Affiq diam. Isakannya terhenti. Ia kelihatan menyimak penjelasan saya.
Saya mengulangi lagi dengan lebih rinci penjelasan saya itu. Affiq terlihat menyimak dengan baik.
Lalu saya menambahkan, “Affiq, kalau mengadukan kenakalan teman harus siap dengan resikonya, yaitu: teman itu marah kepada Affiq.”
Suami saya berkata, “Harus juga siap dipukul.”
Saya mengiyakan, “Iya, itu namanya resiko. Harus siap-siap dipukul teman kalau berani mengadu. Kalau dipukul harus siap menghindar. Ini tak ada hubungannya dengan mengaji, jangan berkata tidak mau mengaji lagi!”
“Kalau tak siap dipukul, jangan mengadu,” kata suami saya.
Saya mengiyakan, “Iya, harus siap dimarahi, harus siap dipukul. Kalau tidak siap, jangan berani-berani mengadu.”
Affiq diam. Tak ada lagi suara isakan itu. Penjelasan saya dan papanya masuk akal baginya. Saya mengelus kepala dan punggungnya, lalu mencium dahinya. “Obati dadanya, ya,” kata saya. Ia mengangguk.
Tak lama kemudian Affiq masuk ke kamar mandi. Dari dalam kamar mandi terdengar suaranya bernyanyi riang.
Alhamdulillah satu masalah selesai.
Syukurlah, Affiq dipukul dengan sapu.
Karena:
- Ia bisa belajar mengatasi konflik yang timbul karenanya. Syukurlah anak saya tidak sekolah ala homeschooling. Sebelum ini sudah beberapa kali ia mendapat konflik dengan teman-temannya, di sekolah dan di TPA, bahkan ada yang lebih berat daripada ini. Dan masalah-masalah seperti ini akan menjadi pembelajaran baginya. Di setiap tahap perkembangan, manusia selalu akan menemui masalah dengan sekelilingnya. Di saat dewasa nanti, konflik yang timbul akan lebih beragam dan lebih keras. Jika tak terbiasa mendapat konflik sejak kecil dengan teman sebayanya, bagaimana ia bisa mengatasi konfliknya nanti pada zamannya?
- Saya dan suami saya pun belajar menjadi orangtua yang lebih baik dan juga belajar menjadi tim yang solid. Belajar untuk mencerna baik-baik dengan kepala dingin dan hati tenang masalah yang timbul sehingga bisa membantu Affiq memilah solusi atas masalahnya.
- Ini adalah salah satu momentum besar yang sangat berharga bagi pembentukan ikatan batin antara saya, Affiq dan juga suami saya. Momentum yang ini hanya datang sekali sumur hidup pada jam, menit, dan detik yang itu saja. Syukur alhamdulillah, saya ada saat ia membutuhkan saya.
Makassar, 15 September 2011
No comments:
Post a Comment