Sumber gambar: http://jalurpitu.blogspot.com |
Hanya ada satu becak yang ada di situ, dengan seseorang yang sedang terlelap di atasnya. Dialah sang pengemudi becak yang masih pulas di pukul setengah sembilan pagi itu.
Karena tidak tega membangunkan orang yang sedang pulas, saya melewati sang tukang becak, menunggu beberapa meter di depannya, berharap ada becak tak bermuatan melintas.
Sementara menunggu terlintas heran di benak saya, “Sepagi ini tukang becak itu sudah kecapaian? Tak mungkin, ia pasti melanjutkan tidur malamnya di situ. Sebenarnya ia sudah dalam waktu kerja tetapi menunggu penumpang cukup membosankan dan mengundang mulut untuk menguap, jadilah ia rebahan dan tertidur.”
Sekian menit menunggu, tak ada becak tak berpenumpang melintas. Saya menoleh kepada tukang becak itu. “Ah, harusnya ia Saya bangunkan saja. Ia berada di atas becaknya kan dalam rangka mencari nafkah? Ngapain Saya harus merasa tidak enak membangunkannya? Bukankan dengan membangunkannya kami sama-sama diuntungkan: Saya bisa sampai ke tujuan Saya, dan ia bisa mendapat rezeki?”
Saya melirik sang tukang becak. Tapi masih ragu-ragu membangunkannya. Tak lama tukang becak itu menggeliat. Kelopak matanya perlahan terbuka. Saya mendekatinya dan memberikan kode hendak menumpang becaknya. Ia turun dari becak, pindah ke tempat ‘kemudi’, meleluasakan saya dan anak-anak naik ke ‘tempat tidur’-nya.
Tidak perlu selalu segan membangunkan orang yang sedang tidur.
Dalam hal ini, sang tukang becak memang harus dibangunkan agar saya bisa menyampaikan rezeki Allah kepadanya dengan mengantarkan saya ke tempat yang saya tuju. Bukan begitu?
Makassar, 26 September 2011
No comments:
Post a Comment