Sumber gambar: www.sacredwaste.com |
Setelah membaca tulisan saya yang berjudul “Ketika Maaf Harus Terucap, Maka Runtuhlah Dinding Superioritas Itu” di blog saya, seorang kawan yang sedang berada di negari sakura membagi pengalaman serupa dengan itu kepada saya. Pengalaman saat dirinya didera rasa bersalah karena sempat memperturutkan sensitivitas yang mendadak timbul dalam hatinya.
Saat itu ada pembagian alat musik di klub musik sekolah anak sulungnya. Si sulung kebagian alat musik ‘tamborin’.
Beberapa waktu kemudian, terjadi percakapan dengan sesama warga Indonesia yang anak-anaknya sekolah di sekolah yang sama dengan si sulung. Kawan saya menceritakan kejadiannya :
Gak tau awalnya, tiba2 ngomongin tentang klub musik di sekolahan. “Si fulan pegang alat musik A ya, kalo anakmu pegang alat musik apa?” tanya seseorang. Tiba-tiba ada yang nyeletuk, pegang krincingan yang kayak gini,” sambil menirukan cara mainnya. Semuanya pada ketawa sampai-sampai ada yg nyeletuk,”Jadi ingat pengamen di indonesia.” Biasanya saya cuek tapi kok perasaanku jadi gak enak ya.... Rasanya goblok banget memelihara rasa itu...
Pulang ke rumah, saya langsung ngomong sama si kakak, “Kenapa sih tidak mau ganti alat musik, tadi kamu diketawain sama orang, katanya kayak pengamen di Indonesia,” ujarku. Si kakak dengan muka marah menjawab, “Baka,” baca: bodoh, bahasa Jepang , “Yang bilang begitu.” dan dengan emosi dia mulai menjelaskan dan menyebutkan beberapa jenis alat musik yang sekelompok dengan tamborin itu.
Penjelasannya campur nihonggo yang saya tidak terlalu paham. Sepertinya dia mau menjelaskan kalo dia bisa main tamborin maka dia juga bisa memainkan alat musik lain yang sekelompok dengan tamborin, termasuk drum.
Mengingat anaknya pernah menyatakan keinginannya untuk memainkan alat musik drum dan terompet, kawan saya ini menawarkan kepadanya untuk membicarakan kepada guru seni musik kemungkinan penggantian alat musik dengan drum. Si sulung menolak, “Drum sudah ada yang pegang, Mama. Lagipula mainnya tidak gampang”
Karena sebal dengan mamanya yang ngotot, si sulung menyatakan kesediaannya untuk bicara dengan gurunya mengenai penggantian alat musik. Namun rasa keibuan kawan saya ini tidak mengizinkannya untuk merasa puas atas keputusan akhir sulungnya. Tadinya ia yang ngotot minta supaya anaknya mengusahakan mengganti alat musik yang dipegangnya, sekarang ia merasa menyesal memperturutkan rasa malunya setelah ditertawakan rekan-rekan sebangsanya. Allah menjewer hatinya untuk menyadari kesalahannya yang telah memaksa sulungnya mengikuti keinginannya. Maka runtuhlah dinding superioritas itu, ketika ia memutuskan harus meminta maaf kepada si sulung.
Chatting kami berlanjut. Saya katakan kepadanya bahwa rasanya saya juga ingin berteriak ‘BAKA’ kepada orang-orang yang telah menertawakan anaknya itu. Saya heran mengapa ada orang yang bertindak seperti itu? Menertawakan hal yang sama sekali tidak ada lucu-lucunya?
Kawan saya berkata, “Mungkin seperti itulah orang Indonesia. Orang Jepang tidak seperti itu. Pernah ada pertemuan antara para 'pejabat institusi pendidikan' dari Indonesia dengan para pejabat institusi pendidikan dari Jepang yang paling banyak dihadiri oleh orang-orang Indonesia. Saat ada salah ucap dalam pertemuan itu, orang-orang Indonesia pada tertawa, sementara orang-orang Jepang diam saja ... “
Saya jadi berpikir, apakah ini memang ‘warna’ orang Indonesia?
Saya ingat semasa masih kuliah di fakultas Teknik dulu. Mayoritas kawan-kawan kuliah saya adalah laki-laki. Saya sering mendengar mereka bercengkerama. Dari situlah saya menyimpulkan bahwa ternyata bukan hanya perempuan yang suka bergosip sembari tertawa ria, laki-laki pun begitu.
Ada dua kejadian yang mengemuka dalam benak saya.
Kejadian pertama, saya sedang bersama kawan-kawan lelaki saya di kantin. Entah dari mana awalnya, salah seorang kawan saya membicarakan seorang mahasiswi yang berada pada jarak sekitar lima meter dari meja kami, dengan nada mengejek sambil tertawa. Ia mengatai mahasiswi itu ‘jelek’. Saya yang sebal langsung ‘menembaknya’, “Memangnya Kamu merasa sempurna ya mengatai orang seperti itu?” Kontan ia terdiam. Skak mat.
Kejadian kedua, masih di kantin dengan kawan-kawan lelaki yang lain. Saya merasa tidak sreg ada salah seorang dari mereka membicarakan mahasiswi lain dengan cara yang tidak enak sembari tertawa. Kontan saya berujar, “Saya kira perempuan saja yang suka bergosip, ternyata laki-laki juga begitu!” Ia mengelak, “Alah, perempuan juga kan kalau ngumpul membicarakan laki-laki?” Saya geleng-geleng kepala. Saya bersyukur kawan-kawan mahasiswi saya tidak seperti itu. Meski kami minoritas yang selalu menjadi pusat perhatian para kumbang ini, kami tak membicarakan laki-laki seperti perkiraannya. Hanya satu hal yang membuat kami membicarakan laki-laki, yaitu perlakukan sewenang-wenang beberapa di antara mereka di laboratorium kala menjadi asisten kami yang hanya segelintir ini. Beberapa dari mereka bersikap laksana prajurit ‘sok gagah’ di dalam laboratorium, dan mereka berusaha mempertunjukkan ‘kegagahannya’ itu dengan cara-cara yang norak.
Kalau menggosipkan para makhluk mars ini sembari tertawa-tawa? Pfuih .. tak sudi lah yauw!
Makassar, 28 September 2011
No comments:
Post a Comment