“Niar ... Kamu ini ... kenapa Saya SMS, tidak Kamu balas? Dua kali lho Saya SMS, waktu tanggal 4 September dan lebaran!” seru seorang kerabat yang tinggal di Semarang saat saya meneleponnya berdasarkan permintaan ibu.
“Oya Kak? SMS yang mana? Yang tanggal 4 tidak sampai,” jawab saya sambil menepuk jidat dan berusaha mengingat-ingat SMS yang dimaksudnya. Tanggal 4 September adalah hari ulangtahun pernikah orangtua saya. Kerabat yang satu ini memang sangat hafal ulangtahun kami semua, termasuk ulangtahun pernikahan ayah dan ibu saya dan ia sangat rajin mengirim SMS untuk mengucapkan selamat ulangtahun kepada kami.
Saya yakin pada tanggal 4 September itu tak ada SMS darinya. Operator seluler terkadang ‘curang’, mengirim laporan bahwa SMS yang dikirim sampai tapi ternyata tidak diterima oleh yang bersangkutan. Tetapi SMS lebaran? Aduh, ada atau tidak ya? Tidak mungkin kerabat itu berbohong mengatakan mengirimkan SMS lebaran untuk kami melalui saya. Memang ada beberapa SMS lebaran yang sebenarnya ditujukan kepada orangtua saya, tetapi seingat saya sudah saya balas semuanya. Apa ada yang terlewat ya?
Saat saya meneleponnya, sebelumnya saya menelepon saudarinya yang mukim di Jakarta yang baru saja ditimpa musibah: berpulangnya suami tercinta. Sebenarnya musibah itu sudah beberapa hari yang lalu dan kami mendapatkan kabar itu beberapa jam setelah kejadian. Tetapi saat itu ibu saya sedang sibuk. Beberapa kali saya hendak menelepon untuk beliau tak pernah jadi. Sialnya, saya lupa kalau seharusnya saya bisa kirim SMS saja dulu, menyampaikan belasungkawa. Kepada keluarga dekat yang ditimpa musibah seperti ini kan seharusnya diberi perhatian secepatnya, dengan secepat mungkin mengirim SMS atau menelepon mengucapkan belasungkawa. Kali ini saya tidak melakukannya. Aduh, kenapa saya ini?
Saat kemudian ibu berkesempatan bicara di telepon dengannya, ia sedang berobat di Malaysia sehingga saat saya telepon tidak dijawabnya supaya tidak terkena roaming. Keesokan harinya, ia menelepon saya tetapi saya tidak mengangkatnya karena tidak mendengar dering HP di perjalanan. Saat itu saya sedang berboncengan dengan suami menuju rumah teman. Kendaraan yang lalu-lalang di sekitar motor yang melaju tentu saja membuat saya tak bisa mendengar dering HP.
Kemudian SMS-nya masuk dan berisi permintaan supaya saya mengangkat telepon darinya, katanya ia menelepon-menelepon tetapi tak saya angkat. Segera SMS-nya saya jawab, dengan menceritakan kondisi saya saat itu.
Peristiwa-peristiwa ini membuat saya merasa tidak enak. Saya tahu rasanya bagaimana jika memberi perhatian kepada seseorang dalam bentuk SMS atau telepon yang tidak digubris oleh orang itu. Rasanya tidak enak. Sekarang, saya berlaku sama dengan orang-orang itu.
Setiap harinya, benak saya penuh dengan rentetan hal yang harus saya kerjakan di rumah, mengurus ketiga anak saya, dan menyelesaikan pekerjaan rumah. Kesemuanya ini rasanya tidak pernah cukup dikerjakan dalam waktu dua puluh empat jam. Rentetan hal itu sering kali sangat menyita pikiran saya sehingga membuat saya abai dan lalai terhadap yang lainnya. Ditambah lagi dengan kegiatan baru saya: menulis. Di benak saya kini sering tiba-tiba bermunculan ide sehingga otak saya nyaris tak berhenti beraktivitas. Ini makin membuat saya abai dan lalai terhadap hal-hal yang sedang berada di luar fokus perhatian saya.
Duh kerabatku sayang. Bukan saatnya berapologi. Saya tak bermaksud mengacuhkan tali kekerabatan di antara kita. Maafkan saya yang tak membalas telepon dan SMS dari kalian. Saya sadar sepenuhnya tali kekerabatan yang sudah lama terjalin dalam darah kakek-nenek kita dan berasal dari moyang yang sama harus sebisa mungkin saya jaga. Mudah-mudahan besok-besok saya tak abai dan lalai lagi ....
Makassar, 28 September 2011
No comments:
Post a Comment