Kegiatan rutin ayah kecuali saat hari hujan |
Figur dari orang yang aku ‘tiru’ wajahnya ini adalah figur yang sangat penting dalam keseharianku setelah suamiku. Aku pernah merasa bangga karena mirip dengannya dan berharap akulah yang paling disayang daripada kedua adik-adikku karenanya. Ayah penyayang keluarga (family man) ini lahir 14 Juli 1940 di kota Sengkang, kabupaten Wajo, Sulawesi Selatan. Alhamdulillah lelaki pendiam ini masih bugar, hanya sesekali diganggu oleh kejutan kolesterol dan asam urat yang kadarnya naik di dalam tubuhnya.
Sejak ketiga anakku bayi, selain suamiku - ia membantuku mengasuh mereka. Aku sangat bersyukur ayahku telaten menjaga anak-anak saat aku dan suamiku keluar rumah untuk suatu keperluan. Sebelumnya aku beri makan dulu mereka sebelum ditinggalkan karena tak mungkin aku tega menyuruh ayah memberi makan anak-anakku. Namun ayah tak canggung menyuapi cucu-cucunya, sesekali ia menyuapi mereka dengan sukarela ketika mengetahui aku sedang sibuk berkutat dengan pekerjaan rumahtangga.
Mainan anak-anak jika rusak diperbaikinya |
Karena sering dijaga oleh ayah, anak-anakku merasa lebih dekat dengannya dibanding dengan ibuku. Bungsuku Afyad (2 tahun) misalnya, ia akan menangis frustrasi jika tiba-tiba ditinggal ayah ke masjid. Sulungku Affiq (10 tahun) yang berwatak keras, bisa bermanja-manja di pangkuan ayah sementara ia tak pernah melakukan hal itu kepada ibuku.
Seperti saat aku dan adik-adikku masih kecil, ayah suka memperbaiki mainan kami yang rusak. Sekarang ayah suka memperbaiki mainan rusak cucu-cucunya. Raket mainan bolong yang sudah hampir kubuang misalnya, bisa diperbaikinya kembali dengan mengganti jaring-jaring kawat besinya dengan plastik tebal bekas alas meja makan. Ayah sangat kreatif, ia pernah membuatkan anak-anak sebuah skateboard dari bahan sebilah kayu tebal sepanjang lengan orang dewasa dan roda-roda bekas stroller (kereta bayi) rusak. Affiq dan Athifah (5 tahun) sampai berkelahi berebut mainan itu. Menjadi hal yang menakjubkan bagi mereka bisa ‘berselancar’ dalam rumah di atas roda-roda itu.
'Skateboard' hasil kreativitas ayah |
Gayung dari botol, buah kreativitas ponakan (Ifa) bersama kakeknya |
Sebagian kecil tanaman ayah |
Sebagian dari beberapa tumbuhan anggrek ayah |
Begitu pun saat keponakanku Ifa tiba-tiba mendapat ide kreatif untuk mengubah botol bekas air kemasan menjadi gayung, ayah membantunya. Ayah memotongkan botol tersebut, memanaskan sedikit bagian sisinya di atas api hingga meleleh dan mencetak sedemikian rupa hingga berbentuk lingkaran seukuran mulut botol lalu memasukkan mulut botol ke bagian yang berlubang itu, kemudian menutupnya dengan tutup botol. Pfuh, aku kesulitan menjelaskannya secara detil, mungkin anda tak bisa membayangkannya ya? Yang jelas, dari sebuah botol bekas air kemasan jadilah sebuah gayung yang bisa dipakai mandi!
Tanaman binahong yang dipelihara ayah dibuatkan tempat merambat dari kayu serupa pagar |
Pekarangan depan bagian samping yang disemen ayah |
Tanjakan motor ke teras depan yang dibuat ayah |
Bangku-bangku kayu buatan ayah |
Ayah terampil memasak. Ia pandai membersihkan, memotong, dan memasak ikan, memotong sayuran, mengerjakan pisang hingga menggorengnya, mengerjakan labu hingga memasaknya menjadi kolak, mengolah kembali dendeng sehingga menjadi lebih renyah, dan memasak ikan asin.
Salah satu buah kreativitas ayah :) |
Kucing-kucing ini diberi makan oleh ayah di pagi hari |
Meja dapur, dulu dicat oleh ayah |
Ia mahir memperbaiki segala sesuatu yang rusak: mengelem atau menjahit sepatu yang rusak, menjahit pakaiannya yang robek, mengganti kunci pintu/lemari yang rusak, mengganti saklar yang rusak, hingga memperbaiki atap yang rusak/bocor.
Tanggul 'penghadang' banjir di pintu belakang yang dibuat ayah dari campuran semen dan batu-bata |
Ia rajin mengurusi pekarangan rumah kami hingga menjadi taman indah dengan aneka tanaman warna-warni antara lain anggrek, kembang terkini, asoka, dan kamboja yang dipuji keasriannya oleh banyak orang. Ia tahu cara mengecat dinding dalam/luar rumah juga pagar besi/tembok dan plafon rumah dengan rapi.
Ayah sigap membakar sampah kering, memisahkannya dengan yg basah dan membuang sampah dengan mengendarai skuter |
Sewaktu haid pertama kali, ia yang mengajariku cara mandi wajib. Dan ketika aku masuk SMP, ia pula yang mengajariku cara menyeterika rok biru berlipit seragam SMP-ku. Ia tak pernah berkata “TIDAK” untuk semua keperluan sekolah yang kupinta termasuk studi banding hingga ke pulau Jawa. Ayah seorang seniman, kreativitasnya menunjukkan itu, juga terlihat dari buku-buku catatan tuanya yang berisi untaian kata-kata yang dirangkai indah dan huruf-huruf yang ditulisnya seolah diukir.
*****
Tanaman ayah dalam pot-pot kecil yang terbuat dari gelas plastik dan botol minuman soda |
“Berikan kepada anakmu nama Misbah,” begitu kata ayah di telepon pada hari kelahiran anak pertamaku. Usulan nama itu aku tolak dengan halus. Aku dan suamiku sudah memilih nama yang tak kalah indahnya untuk anak kami. Ayah terdengar kecewa, ia telah memintakan anakku nama kepada ustadz pengajiannya. Aku agak merasa bersalah tetapi aku tak bisa menerimanya karena bagiku dan suamiku, pemberian nama anak-anak adalah hal prinsip. Memberikan nama kepada anak-anak, bagi kami adalah mutlak tanggung jawab kami karena nama anak-anak bukan hanya do’a tetapi juga beban amanah yang harus kami pikul untuk membimbing mereka menuju kualitas makna yang terkandung dalam nama mereka. Bukan kakek dan neneknya yang akan dimintai pertanggungjawaban kelak perihal pengasuhan mereka, apalagi ustadz itu. Melainkan kami sebagai orangtua mereka.
Plafon dapur yang baru dibersihkan ayah karena terkelupas |
Skuter yang dikendarai ayah sejak tahun 1976 |
Alhamdulillah, atas izin Allah aku dan suamiku adalah pasangan tidak subur yang berhasil memiliki anak setelah berobat kepada tabib tersebut. Kemudian aku, suamiku, dan ketiga anakku pun secara bergantian sembuh dari berbagai penyakit yang menyerang. Mulai dari batuk-pilek, campak, cacar, gangguan menstruasiku, hingga gangguan ginjal yang dialami suamiku.
Tempat perkakas ayah di halaman samping kiri rumah |
*****
Tanaman dalam pot-pot kecil |
Mungkin aku tak mampu menciptakan binar bangga di matanya seperti ketika ia tengah bercerita tentang adik bungsuku yang langganan juara umum, tamat dengan nilai memuaskan di Teknik Informatika ITS, dan sekarang tengah berkarir di salah satu perusahaan pupuk besar di Kalimantan, karena aku hanyalah seorang ibu rumah tangga tanpa karir di ruang publik yang sehari-harinya disibukkan dengan pekerjaan rumahtangga dan ketiga anakku.
Tempat perkakas ayah yang lain |
Ia mewarisiku 'wajah' dan postur tubuhnya |
Makassar, 23 Oktober 2011
No comments:
Post a Comment