Friday, October 28, 2011

Pemuda, Ayo Berjuang Tentukan Pilihan, Kejar Impianmu

Seorang kerabat di sebuah pulau di Indonesia timur pernah minta dicarikan bimbingan belajar untuk persiapan masuk UNHAS (Universitas Hasanuddin) untuk salah seorang gadis - kenalan baiknya.
Saya bertanya, “Mau masuk jurusan apakah?”
Kerabat saya menjawab, “Hubungan internasional.”
Kerabat itu kemudian berkata lagi, “Kalau bisa carikan kalau membayar tanpa tes, bagaimana caranya. Katanya susah masuk UNHAS, harus ada channel di dalam baru bisa lulus.”
Saya menjadi geregetan. Ini pemikiran beracun dari mana? Siapa bilang demikian? Idealisme saya terusik. Saya sangat menyukai anak-anak muda yang mempunyai daya juang tinggi. Yang rela mempersiapkan dirinya untuk menggapai mimpi terindahnya dengan berjuang sekuat tenaga.

Saya berkata, “Anak muda koq pikirannya begitu, langsung mau cari yang bayar, tidak perlu tes. Kenapa dia tidak bimbingan dulu, persiapkan diri untuk tes?”
Kerabat saya hanya bisa menjawab, “Saya tidak tahu, dia hanya minta tolong kepada Saya.”
Bukan hanya anak gadis itu yang berpikiran seperti itu. Beberapa orang saya ketahui berpendapat seperti itu. Menurut mereka masuk UNHAS itu susah, harus ada yang bantu dari dalam kalau mau lolos. Sama persis dengan yang disangkakan anak gadis tadi.
Saya bilang, “Salah!” Kawan-kawan satu jurusan seangkatan saya di UNHAS dulu sebagian besar malah dari daerah, dan mereka lolos dengan perjuangan murni tanpa mengeluarkan duit hingga jutaan rupiah. Juga tanpa kenalan ‘orang dalam’.
Kasihan juga. Adanya pemikiran ini mungkin karena persiapan siswa-siswa SMA  di daerah tidak seperti persiapan siswa-siswa SMA di Makassar. Saya dan adik-adik dulu beruntung karena kami mengikuti bimbingan belajar jauh beberapa bulan sebelum ujian masuk perguruan tinggi dilaksanakan. Selain itu sekolah kami juga menyelenggarakan bimbingan secara intensif. Adanya banyak toko buku juga membantu kami untuk mencari bahan-bahan latihan guna menghadapi ujian. Sementara di banyak daerah belum ada bimbingan belajar sehingga untuk mengikuti bimbingan belajar mereka harus hijrah ke Makassar secepat mungkin selepas SMA. Tetapi itu pun waktu yang tersisa hanya sebulan sebelum ujian, dan sudah tentu butuh biaya yang tidak sedikit.
Lama kami tak mendengar kabar tentang anak gadis itu. Hingga suatu saat kerabat saya berkata bahwa anak gadis tersebut masuk UNHAS.
Saya bertanya, “Oya? Fakultas apa?”
Kerabat saya menjawab, “Kedokteran umum, sama-sama sepupunya, ada sepupunya yang sudah lebih dulu masuk di situ.”
Saya terkejut tetapi saya tak berkata apa-apa. Hanya ada monolog dalam pikiran saya, “What, kedokteran? Kedokteran dan HI kan bagaikan bumi dan langit? Perbedaannya signifikan sekali. Bagaimana dia bisa mengikuti pelajaran di fakultas kedokteran sementara minat awalnya sama sekali tidak ada di situ?”
‘Fakultas kedokteran’ adalah pilihan yang harus betul-betul masak pertimbangan dalam memilihnya. Terus terang tidak masuk di kepala saya ada seseorang yang tadinya memilih HI (Hubungan Internasional) yang kemudian dalam jangka waktu kurang dari sebulan memutuskan masuk fakultas kedokteran. Bukan berarti saya merendahkan HI lho. Tapi kenyataan di lapangan membuktikan bahwa, jurusan itu sangat jauh berbeda dengan dunia kedokteran. Kalau misalnya dari pilihan awal FKM (fakultas Kesehatan Masyarakat) menjadi Kedokteran masih wajar. Atau dari Sospol menjadi Ekonomi, masih wajar. Ini dari HI menjadi Kedokteran?
Memang sih sekarang ada jalannya orang-orang yang berduit bisa masuk fakultas Kedokteran tanpa tes. Mereka menyiapkan duit yang cukup besar saja, sedikitnya sekitar seratus jutaan. Mereka hanya melalui serangkaian proses seleksi berkas dan wawancara, tanpa mengikuti ujian seleksi masuk perguruan tinggi lagi. Bisa jadi pilihan gadis itu adalah: tes untuk masuk ke HI atau tanpa tes untuk masuk ke Kedokteran?
Sebenarnya ini merupakan suatu pertanda kelemahan sistem pendidikan di negara kita karena selepas SMA kebanyakan orang tidak bisa menentukan dengan yakin hendak meneruskan ke jurusan apa. Yang harus dipelajari selama di bangku sekolah SD hingga SMA terlalu banyak. Beda dengan di negara-negara lain seperti Jerman dan Amerika, lulusan SMA di sana biasanya sudah tahu hendak melanjutkan ke mana.
Seperti diri saya misalnya, karena sangat gemar dengan pelajaran matematika dan bahasa Inggris serta sangat membenci pelajaran hafalan, saat di bangku SMA saya memilih jurusan Fisika. Alhamdulillah nilai-nilai saya sangat memadai untuk masuk ke jurusan itu sehingga menimba ilmulah saya di situ selama dua tahun. Nah, tamat SMA, tujuan saya hanya satu yaitu fakultas Teknik.
Tapi mau ambil jurusan apa? Saya pun mempersempit pilihan dengan menimbang-nimbang pelajaran apa yang saya sukai dan apa yang tidak saya sukai. Saya masih sangat menyukai matematika dan bahasa Inggris tetapi saya sangat membenci menggambar. Jadi, beberapa jurusan yang cukup banyak pelajaran menggambarnya sudah tentu tak masuk dalam daftar pilihan saya (Arsitektur, Sipil, Perkapalan, dan Mesin).
Saya tak berminat sama sekali masuk jurusan Geologi. Untung juga saya tak memilih Geologi karena ternyata jurusan itu memerlukan stamina fisik yang tangguh, sangat tak cocok dengan diri saya yang memiliki stamina fisik ‘ala kadarnya’ ini. Akhirnya, meskipun saya tak menyukai pelajaran fisika, pilihan saya jatuh pada teknik Elektro. Itulah satu-satunya pilihan yang sangat masuk akal bagi saya. Selanjutnya dalam menentukan pilihan kedua dan ketiga, saya pun memiliki rumus tersendiri. Tapi tak usahlah saya ceritakan di sini karena keputusan memilih pilihan kedua dan ketiga waktu itu bukan karena minat tetapi karena alasan ‘daripada tidak kuliah’ he he he.
Waktu itu saya sudah mengeset diri saya untuk hanya berusaha masuk universitas negeri. Jika tahun itu saya tak lulus, saya sudah punya plan B yaitu mengikuti bimbingan belajar selama satu tahun atau sepuluh bulan untuk mempersiapkan diri mengikuti tes di tahun berikutnya. Masuk swasta bukan pilihan bagi saya karena sudah tentu akan memberatkan kedua orangtua saya. Alhamdulillah saya diterima di pilihan pertama: jurusan Elektro. Beberapa pemuda sekarang malah tidak mau ikut ujian masuk perguruan tinggi dengan alasan: susah lulusnya, mereka langsung saja memilih universitas swasta yang bertebaran di Makassar.
Bukannya mengecilkan universitas swasta tetapi saya sangat menyayangkan mental mereka yang kalah sebelum berperang. Apalagi faktanya – bukan rahasia, dunia kerja masih mempertimbangkan asal almamater pelamarnya, mereka tentu saja lebih memilih pelamar yang berasal dari universitas negeri yang punya ‘nama’. Bukan berarti universitas swasta mutunya rendah lho, saya hanya mengemukakan fakta di lapangan. Ada juga universitas swasta yang bersaing dengan universitas negeri yang alumninya sudah merupakan jaminan mutu.

        Tak lama setelah lulus dari jurusan Elektro, visi dan misi saya dalam berumahtangga membuat saya akhirnya memutuskan tidak mengambil jalur karir di sektor publik. Minat saya malah makin menguat dalam dunia psikologi populer, pendidikan praktis, dan parenting. Nah lho, sangat tidak nyambung dengan sekolah saya kan? Kalau mau berandai-andai (meski tak ada guna), jika seandainya dari lepas SMA dulu saya bisa memindai minat saya yang sebenarnya kan saya tak perlu ‘buang waktu’ kuliah di fakultas Teknik yah? 
         Ah, tapi itu pengandaian yang tak ada guna. Karena saya beruntung di fakultas Teknik logika saya terasah apalagi saya aktif di lembaga mahasiswa jurusan, lingkungan di sana membuat logika saya semakin terasah. Logika yang cukup terasah itu bekal yang besar dalam menjalani bahtera rumahtangga bersama suami dan anak-anak. Sekarang saya jadi terbiasa mengasah logika, selain itu senantiasa berusaha juga mengasah hati. Dan satu hal, saya ketemu jodoh di kampus merah tepatnya di jurusan Elektro, fakultas Teknik. Jadi, tak rugi saya kuliah di jurusan itu  J J J.  



Makassar, 29 Oktober 2011 (pukul 01:00 jiaaaa hari Sumpah Pemuda sudah lewat)

No comments:

Post a Comment