Seminggu setelah menikah pada bulan April 1999, saya pindah dari Makassar ke Riau, mengikuti suami saya yang bekerja di perusahaan minyak di sana. Pengalaman baru dalam berkeluarga membangkitkan minat saya dan suami untuk mencari tahu melalui media cetak,elektronik, internet, dan pengamatan secara langsung seputar hubungan suami-istri dan bagaimana menjadi orangtua guna membangun keluarga berkualitas.
Ternyata ada begitu banyak hal yang harus kami pelajari. Kesadaran tentang itu membuat saya menjadi terbebani. Tidak mudah ya ternyata membangun keluarga berkualitas itu. Ada banyak hal yang harus diusahakan. Namun karena sudah mengikat janji di hadapan Allah dan sudah berniat beribadah dalam lembaga pernikahan ini, bismillah ... segala tantangan yang ada di depan dilalui dengan baik agar bernilai ibadah menurut Allah SWT.
Pengetahuan mengenai ASI (air susu ibu) adalah salah satu di antara sekian pengetahuan baru yang saya peroleh. Ternyata pertumbuhan otak seorang anak mencapai 70% dari otak orang dewasa sejak dalam kandungan hingga usia 1 tahun dan mencapai 90% dari ukuran otak orang dewasa pada usia 3 tahun. Dalam periode itu tentu saja dibutuhkan stimulasi yang maksimal. Manfaat ASI makin saya pahami dari tahun ke tahun setelah menjalani proses menyusui ketiga buah hati saya dan dari berbagai media yang memberitakan walaupun promosi susu formula sangat gencar membentuk opini seolah susu formula bisa menggantikan ASI.
ASI mengandung nutrien-nutiren khusus dalam komposisi ideal yang sangat berguna bagi pertumbuhan otak bayi manusia. Nutrien-nutrien khusus ini sedikit sekali atau malah tidak terkandung dalam susu sapi, di antaranya:taurin (zat putih telur – hanya terdapat di ASI, berguna untuk pertumbuhan susunan saraf dan retina), laktosa (zat hidrat arang utama dari ASI, hanya sedikit terdapat dalam susu sapi), dan asam lemak ikatan panjang (DHA, AA, omega-3, omega 6, merupakan asam lemak utama ASI yang hanya sedikit terdapat dalam susu sapi). Hasil penelitian Dr. Lucas (1993) terhadap 300 bayi prematur menunjukkan bahwa bayi prematur yang hanya diberi ASI eksklusif mempunyai IQ lebih tinggi 8,3 poin dibanding bayi prematur yang tidak diberi ASI. Pada penelitian Dr. Riva (1997) ditemukan bahwa bayi yang diberi ASI eksklusif,ketika berusia 9,5 tahun mempunyai tingkat IQ 12,9 poin lebih tinggi dibanding anak yang ketika bayi tidak diberi ASI eksklusif[i].
Itu hanya sekelumit dari manfaat/kelebihan pemberian ASI pada bayi, selain itu masih berjubel kelebihan ASI yang dikhususkan Allah untuk bayi manusia ini. Daftar manfaat ASI selalu bertambah setiap hari. Penelitian menunjukkan, bayi yang diberi ASI secara khusus terlindung dari serangan penyakit sistem pernapasan dan pencernaan. Tambahan lagi, berdasar hasil penelitian yang dibahas dalam ratusan tulisan yang telah terbit, terbukti bahwa ASI mampu melindungi bayi terhadap kanker. Catharina Svanborg, Profesor imunologi klinis di Universitas Lund, Swedia, memimpin kelompok penelitian yang menemukan rahasia mengagumkan ASI ini. Mereka menjelaskan kemampuan ajaib ASI dalam memberikan perlindungan melawan beragam jenis kanker. Penyakit kanker getah bening pada masa anak-anak ternyata 9 kali lebih sering menjangkiti anak-anak yang diberi susu formula, mereka juga menemukan bahwa hasil yang sama berlaku pula untuk jenis-jenis kanker lainnya. Ini karena peran besar zat yang disebut alphalac (alphalactalbumin), yang terdapat dalam jumlah besar di dalam ASI, zat ini mengenali keberadaan sel-sel kanker dan membunuhnya tanpa merusak sel yang sehat. Alphalac dihasilkan oleh sebuah protein yang membantu pembuatan gula laktosa di dalam susu[ii].
Saat-Saat Awal Pemberian ASI, Ibu dan Bayi Sama-Sama Belajar
Setelah banyak membaca tentang ASI. Saya pun bertekad menyusui sejak anak pertama saya masih berada dalam kandungan. Tetapi ternyata tekad itu harus betul-betul diuji. Menyusui tidak semudah kelihatannya. Menyusui ternyata adalah sebuah proses panjang dengan cucuran keringat dan air mata.
Sebelum melahirkan Affiq menjelang Isya pada bulan Juli 2001, saya harus diinduksi karena ketuban saya pecah sementara pembukaan jalan lahir belum mengalami kemajuan. Pengalaman pertama kali melahirkan sungguh merupakan pengalaman yang menegangkan. Beruntung saya melahirkan di rumah sakit pro ASI, RS Caltex Rumbai, Pekanbaru (sekarang: RS. Chevron). Setelah melalui proses yang alot karena leher Affiq terlilit tali pusar sebanyak 3 kali (sehingga ia pun harus berjuang maju-mundur selama sejam di mulut rahim saya), bidan Ola yang membantu proses persalinan yang alhamdulillah berlangsung normal itu, segera menyodorkan Affiq ke puting payudara saya. Wow, mulut kecilnya kelihatan bergerak-gerak. Sungguh pemandangan yang menakjubkan bagi saya setelah melalui hari yang melelahkan itu.
Di bagian OBGYN (obstetri & gynecology) rumah sakit yang rooming in (ibu dan bayi disatukan dalam kamar) itu, tidak ada kamar yang dikhususkan untuk satu orang, beberapa kamar malah diperuntukkan bagi enam orang. Saya kebagian kamar untuk 3 orang, akan tetapi saat itu dua tempat tidur lainnya kosong. Para pengantar pasien termasuk suami harus meninggalkan rumah sakit saat jam bezuk berakhir, ya masih ada toleransi setengah jam-lah untuk para suami. Praktis, pada pukul 9.30 malam kala mata dan badan yang penat minta istirahat, saya hanya berdua saja dengan Affiq. Affiq diam, matanya membelalak, menoleh, mengitari ruangan, seolah memperhatikan dunia sekeliling yang baru dilihatnya. Saya memandanginya dengan takjub. Ia yang selama hampir 42 minggu bersemayam dalam rahim saya, akhirnya bisa saya tatap sepuasnya. Karena badan yang terasa lemah dan perut serta jalan lahir yang masih terasa tidak nyaman, saya hanya bisa berusaha menggapainya dengan jemari saya sambil mengajaknya berbicara. Tak lama kemudian ia gelisah. Perut saya tiba-tiba terserang rasa mulas. Dengan tertatih-tatih saya melangkah ke kamar mandi, rupanya masih ada darah kotor yang hendak keluar. Beberapa menit kemudian, kepala saya terasa pening, penglihatan saya menggelap. Saya berteriak-teriak memanggil suster. Dalam kondisi setengah sadar, saya diangkat ke atas tempat tidur oleh beberapa perawat. Affiq yang kemudian menangis, dibawa ke ruang bayi. Malam itu saya tidur tanpa Affiq di sisi saya. Terpaksa ia tidak disusui lagi, tetapi itu tidak berakibat buruk padanya karena Allah sudah mengatur, dalam tubuh bayi yang baru lahir, ada cadangan makanan yang masih bisa diproses sampai dua hari setelah kelahirannya, meski ia tidak mengkonsumsi apa-apa.
Esok paginya, saya kebingungan bagaimana caranya menyusui, karena saya dan Affiq masih sama-sama dalam taraf belajar, pagi pertama kebersamaan kami bukanlah hal yang menyenangkan. Alhasil Affiq tidak mendapatkan ASI dengan maksimal sehingga ia merengek-rengek lapar dan kesal. Saya kebingungan dan mencari bidan untuk membantu saya. Kebetulan ada bidan Titin. Ia membantu saya dan membawakan cairan glukosa. Tiba-tiba dari ruangan sebelah muncul bidan Lani menginterupsi. Saya terpaksa menjelaskan kembali kepadanya apa yang saya alami saat itu. Bidan Titin hanya diam terpaku melihat seniornya menatap saya dengan tajam sementara saya menjelaskan situasi saat itu. “Tidak usah diminumkan caira gula, diusahakan terus ASI-nya. ASI penting sekali untuk bayi ....... “ bla ... bla ... bla .... Ia menggiring saya masuk kembali ke dalam kamar dan mendudukkan saya di kursi. Sambil menjelaskan mengenai pentingnya ASI. Ia mengajarkan saya posisi menyusui yang baik dan benar, dengan tegas dan lugas. Affiq pun berhasil mendapatASInya, mulutnya bergerak-gerak mengisap dan lambat laun ia tertidur, wajahnya tenang dan puas. “Terimakasih, Bu”, kata saya. “Iya”, katanya, masih tanpa senyum, sambil memberikan saya penjelasan singkat mengenai tata laksana menyusui.
Sekeluarnya dari rumah sakit, saya mengusahakan mengkonsumsi yang terbaik untuk kelancaran ASI saya. Alhamdulillah Affiq tergolong bayi yang sangat doyan ASI. Puting saya sampai lecet-lecet karena semangat mengisapnya. Sebulanan lebih saya menyusuinya dengan bercucuran keringat dingin, telapak tangan terkepal, jari kaki menekuk, dan nafas tertahan karena menahan sakit pada puting yang lecet. Saat-saat yang tidak nyaman, tetapi berusaha saya abaikan, demi Affiq dan ibadah saya. Tiga bulan setelah melahirkan, saat saya & suami hendak mengimunisasi Affiq, kami berpapasan dengan bidan Lani. Saya senyum padanya, ia membalas dan menghampiri kami. Betapa senangnya ia melihat kemontokan Affiq. ASI eksklusif memang membuat Affiq sehat dan montok. Alhamdulillah pemberian ASI eksklusif bagi Affiq selama 6 bulan berhasil. Selanjutnya ia masih mengisap ASI. Saat usianya 14 bulan, tiba-tiba ia mogok. Kelihatannya ia mau menyusu tetapi saat saya sodorkan ASI, ia menggigitnya. Itu berlangsung berulang kali, berhari-hari membuat kami sering sama-sama menangis karena frustrasi. Akhirnya ia betul-betul berhenti menyusu. Hati saya merana rasanya karena sangat ingin menyusuinya hingga usia 2 tahun tetapi tidak bisa.
Setelah menunggu selama 5 tahun sejak kelahiran Affiq, Athifah lahir di salah satu rumah bersalin di Makassar pada September 2006. Berhubung ini pengalaman kedua, saya dan suami tidak setegang pengalaman terdahulu. Kami sudah punya ‘patron’ sendiri dalam mendidik dan mengasuh anak yang akan kami terapkan pada Athifah termasuk dalam hal pemberian ASI. Allah yang Mahapemurah mempermudah proses kelahiran Athifah. Ia lahir secara normal hampir 3 jam setelah kedatangan saya di rumah bersalin. Sesaat setelah itu niat baik saya untuk menyusui mendapatkan cobaan. Bidan yang menolong persalinan saya mencoba mempengaruhi saya untuk memberikan susu formula pada putri mungil kami. Hal ini dilakukan semata-mata karena pihak rumah bersalin sudah terlanjur membuka kemasan susu formula tanpa persetujuan kami. Bidan itu berkata, “Ibu, biasanya pada hari-hari pertama bayi yang kurang menyusu berwarna kuning. Ibu yakin tidak akan memberikan susu formula? Lebih baik bayi Ibu diberi susu formula supaya ia tidak kuning!”. Saya menjawab, “Tidak, anak pertama saya diberi ASI, dan saya akan berusaha menyusui bayi saya ini”. Bidan tersebut bukannya menyerah, ia malah masih mencoba berargumen supaya saya menerima usulannya namun saya dan suami tidak goyah, kami yakin keputusan menyusui adalah keputusan yang tepat. Di antara rasa bahagia setelah melahirkan, terselip sedikit rasa miris di hati saya. Betapa tidak, sungguh ironis, orang yang seharusnya membimbing para ibu yang baru melahirkan untuk menyusui malah menyuruh saya memberikan bayi saya susu formula di saat saya masih sulit berpikir sehat karena baru melahirkan! Syukurnya saya sudah mendapat pengetahuan memadai dan sudah punya pengalaman tentang ASI. Jadi saya bisa ‘memperjuangkan’ hak bayi saya (sekaligus hak saya) untuk mendapatkan kolostrum yang mengandung antibodi dan antibiotika alamiah terbaik di awal hari-harinya di dunia ini.
Athifah sudah menyusui dengan lahap saat saya masih di ruang bersalin. Di hari pertamanya di alam fana ini ia sudah pandai mengisap. Benar pernyataan yang pernah saya baca bahwa refleks mengisap bayi baru lahir paling bagus adalah sampai satu jam setelah kelahirannya. Ia akan mudah menyusui jika sesegera mungkin setelah kelahirannya mulutnya ditempelkan pada puting ibunya. Ini terbukti pada Athifah. Selama di rumah bersalin ia mendapatkan kolostrum-nya secara maksimal. Namun niat tulus saya untuk terus menyusuinya pada hari-hari berikut setelah kepulangan kami dari rumah bersalin mengalami ujian. Beberapa kali saya mengalami bengkak pada payudara, dan demam. Serta hari-hari yang melelahkan dalam proses menyusui, hal ini karena saya harus sering bangun tengah malam untuk menyusui dan ada masalah dengan ukuran puting saya yang masih terlampau besar untuk mulut bayi semungil dia. Sering kami berdua menangis karena ia kesulitan mengisap puting saya. Bahkan pernah entah mengapa tiba-tiba saja ASI saya basi hingga Athifah menolak menyusu. Payudara saya sampai bengkak dan sakit. Setelah ASI basi itu dikeluarkan baru ia mau menyusu kembali, alhamdulillah hingga usianya 2 tahun 2 bulan.
Begitu pun setelah kelahiran Afyad, putra ketiga kami, saya dengan semangatnya berusaha memberikan ASI padanya, sejak di ruang bersalin. Sesaat setelah melahirkan ia pada pukul 11, tekad saya langsung diuji dikarenakan secara tiba-tiba saya mengalami pendarahan dalam pada dinding vagina hingga saya harus segera dioperasi. Sakitnya minta ampun, jauh lebih sakit daripada proses melahirkan! Aturannya dalam operasi penanganan kasus demikian, pasien tidak boleh dibius, sehingga selain rasa sakit karena pendarahan itu, saya harus merasakan jarum jahit plus benangnya yang berbagai ukuran, keluar-masuk di jalan lahir. Alhamdulillah, Dr. Fatmah yang menangani saya waktu itu sangat tenang dan cekatan. Setelah operasi selesai, saya masih harus tinggal di ruang bersalin untuk diobservasi hingga menjelang maghrib. Dalam vagina saya untuk sementara dimasukkan semacam kapas untuk menahan pendarahan, yang dikeluarkan kemudian setelah kondisi saya cukup sehat.Empat kali menyusui Afyad kala itu, membuat saya hampir menyerah. Sementara itu, rasa sakit akibat operasi masih terasa. Tetapi saya menguatkan tekad, demi Afyad dan juga ibadah saya.
Sepulangnya kami ke rumah, tekad saya untuk menyusui masih mengalami ujian. Saya tiba-tiba saja mengalami sesak napas padahal saya bukanlah pengidap penyakit itu. HB saya drop hingga angka 7. Badan terasa lemas luar biasa. Berat badan saya yang sempat naik 13 kg, dengan cepat merosot 15 kg. Sangat tidak nyaman menyusui dalam kondisi seperti ini. Lagi-lagi saya hampir menyerah. Beruntung suami saya mendukung terus saya menyusui buah hati kami. Di samping itu ada orangtua dan mertua saya yang membantu proses penyembuhan saya. Alhamdulillah Afyad mendapatkan ASI, hingga sekarang.
ASI is the Best!
Dalam proses menyusui anak belajar mengenal perubahan-perubahan pada lingkungan psikisnya. Ia belajar mengenal manusia lain, yang terdekat dan paling utama adalah ibunya. Ini merupakan dasar paling awal dari akhlak islami. Kelak akhlak islami ini, insya Allah akan mudah dikuati melalui pendidikan. Karena itu, usaha meningkatkan kualitas menyusui dengan menghaluskan perasaan ibu, membeningkan hati, dan membersihkan jiwa, besar sekali artinya bagi pendidikan akhlak anak. Misalnya dengan meniru apa yang dilakukan oleh ibu Imam Syafi’i, yaitu mengaji al-Qur’an ketika sedang menyusui. Sehingga selama bayi mengisap, telinganya terus mendengar lantunan ayat-ayat suci. Apalagi, pendengaran merupakan pintu terpenting masuknya informasi dari luar bagi bayi. Ini terutama pada bayi baru lahir (neo partus) sebelum kelak penglihatan memegan peranan yang besar. Selain itu, ibu bisa mengucapkan kalimat-kalimat thayyibah, dan shalawat Nabi dengan lembut. Insya Allah akan masuk menembus hati anak jika ucapan itu keluar dari hati.[iii]
Subhanallah ... melihat perkembangan mereka sejak lahir hingga sekarang, sungguh mengagumkan ada bahan makanan bagi mereka yang keluar dari tubuh saya. Bahan makanan yang berperan dalam pembelahan sel-sel dalam tubuh mereka hingga sekarang. Allah sungguh Mahapemurah, saya berkesempatan menanam ‘modal’ amal jariyah dalam tubuh mereka. Sungguh menakjubkan, pada 6 bulan pertama kehidupan mereka, ASI sebagai satu-satunya makanan mereka, mampu menopang hidup mereka, menjadi sumber tenaga bagi mereka. Lalu setelah itu, ASI masih memadai bagi mereka. Mudah-mudahan modal ini berkah bagi sinergisme kami di dunia dan akhirat. Amin ya Rabbal ‘alamin.
Makassar, awal Maret 2011
[iii] Mohammad Fauzil Adhim, “Salahnya Kodok – Bahagia Mendidik Anak Bagi Ummahat”, Mitra Pustaka, 2001.
No comments:
Post a Comment