Thursday, August 4, 2011

La Toli, Ahli Fisioterapi dari Kampung

Rumah Bugis dinding gamacca di Malimpung

Jatuhnya mertua saya dari teras rumah di kampung, membuat kami cemas. Betapa tidak, banyak kasus di sekitar kita menunjukkan usia sepuh mampu membuat seseorang – karena osteoporosis (pengeroposan tulang) dengan mudah mengalami patah tulang setelah terjatuh. Meski kejadian jatuhnya tidak seberapa, akibatnya bisa saja parah. Bagaimana dengan ibu yang terjatuh dari ketinggian sekitar 3 meter? Katanya sih tidak apa-apa, hanya bagian bokongnya sedikit sakit. Kami menjadi cemas memikirkan kemungkinan efek jatuhnya beliau sehingga akhirnya suami saya berangkat ke kampung.
Acara pernikahan kerabat di kampung, di daerah Malimpung, kabupaten Pinrang berlangsung hari Ahad, sejak pagi hari hingga siang hari. Suami saya yang sedianya  berangkat Sabtu malam, karena satu dan lain hal tidak jadi berangkat. Ia batu berangkat pada Ahad pagi. Ia mengalami perjalanan yang sangat santai sehingga tiba di kampung pukul 3 siang, ketika tetamu sudah pada pulang ke rumah masing-masing.

BTS operator telekomunikasi di Malimpung
Lepas maghrib suami saya SMS, “Ibu tidak apa-apa.” (meskipun jarak Malimpung dari kota Pinrang cukup jauh, sekitar 14 kilometer, sinyal salah satu operator telekomunikasi cukup baik. Ini dikarenakan adanya BTS yang berdiri kokoh di tengah-tengah kampung). Alhamdulillah, mudah-mudahan ke depannya tidak ada efek bagi beliau. Kasihan, sekarang beliau harus mengurus Ahmad dan Althaf, anak dari adik ipar saya yang sedang sakit. Rencananya jika ipar saya ini balik ke kotanya – Manokwari, Ahmad dan Althaf tetap tinggal dengan neneknya di rumah beliau di Pare Pare, karena ibu mereka masih harus menjalani rawat jalan. Kondisinya belum sehat betul, apalagi selain harus menanggung penyakitnya, ia juga harus ‘menanggung’ 2 sayatan sejajar, bekas operasi di perutnya. Satu sayatan saja sudah cukup membuat seseorang menderita, ini ada 2 sayatan. Mengapa ada dua? Karena sebelum operasi, ada kesalahan diagnosa dokter atas penyakitnya sehingga saat perutnya dibedah, tak diperoleh penyakit yang terdiagnosa maka dibuatlah sayatan lain guna menemukan penyakit yang sesungguhnya. Apa boleh buat, kami sekeluarga berusaha untuk ikhlas saja, beruntung ia tidak mengidap kanker indung telur seperti diagnosa awal.
Oya, kembali ke kondisi ibu mertua saya.
Rumah tradisional Bugis di Malimpung
Keesokan paginya, suami saya menemani ibu ke tempat ‘fisioterapi’ kampung (di kampung lazim disebut ‘tukang pijat’). Ahli ‘fisioterapi’ ini bernama La Toli, seorang lelaki berusia di atas 60 tahun. Meski menderita tuna netra sejak kecil dikarenakan serangan cacar air yang merusak penglihatannya, La Toli memiliki kelebihan di indera lainnya. Ia piawai memijat. Pagi itu adalah kali kedua ia memijat ibu. Katanya beliau tak apa-apa, tak patah tulang, hanya saja ada tulang-tulang beliau yang sempat bergeser sedikit. Suami saya bahkan sempat dipijat juga. La Toli ‘membereskan’ punggungnya yang pegal-pegal dengan pijatan piawainya sehingga suami saya merasa segar kembali.
Jalan kampung
Selain itu, La Toli aktif berkebun setiap harinya. Ia melalui 2 kilometer jalan kampung, dari rumahnya menuju kebun tanpa bantuan siapapun, bahkan tanpa bantuan tongkat sekalipun. Ia hafal  lekuk liku jalan kampung - mungkin dari aroma atau ‘rasa’ di kulit yang terpindai olehnya. Ini salah satu kelebihan indera yang dianugerahkan Allah kepadanya. Beruntung kampung ini memiliki ‘ahli fisioterapi’ sekelas La Toli, jika tidak pasti warga sekitar akan sangat kesulitan jika terjadi hal yang tidak diharapkan semisal jatuhnya ibu mertua dari atas rumah di malam hari, karena di dalam kampung tak ada puskesmas, pun rumah sakit yang memiliki ahli fisioterapi.
Allah menunjukkan betapa Maha Besar-nya Ia, bahwa tak ada yang mustahil bagi-Nya, melalui La Toli, lelaki tua sederhana dari kampung Malimpung yang tetap dapat melihat meski nikmat penglihatan telah dicabut darinya.
Makassar, 5 Agustus 2011

Tulisan lain yang terkait:

No comments:

Post a Comment