Tak perlu jauh-jauh untuk menikmati Indonesia. Sejak kecil saya menikmatinya, bahkan dari rumah.
Ibu dan ayah saya berasal dari dua suku berbeda. Ayah, sukunya Bugis (Sulawesi Selatan). Ibu, sukunya Gorontalo. Menarik menikmati perbedaan bahasa daerah ayah dan ibu. Menarik memperhatikan bagaimana perbedaan suku menyerasikan mereka, juga memperhatikan ada konflik yang tak bisa dihindari karenanya. Konon, asal orang Gorontalo adalah dari tanah Bugis, sehingga ada pula kosa kata dari keduanya yang sama. Misalnya, kata ‘Tau’, dalam bahasa Bugis dan bahasa Gorontalo, sama-sama berarti ‘Orang’ dalam bahasa Indonesia.
Meski berada dalam satu pulau, kedua suku ini memiliki bahasa daerah yang jauh berbeda. Menarik mendengar kedua bahasa ini. Bahasa Gorontalo yang kaya dengan vokal ‘O’ dan memiliki alun sendiri. Dan bahasa Bugis (dialek Soppeng – Soppeng adalah salah satu kabupaten di Sulawesi Selatan) yang halus mengalun unik. Jangan mengira semua suku Bugis memiliki bahasa dan dialek yang persis sama kawan! Tidak demikian. Bahasa Bugis dialek Soppeng, mirip dialek Bone tetapi tidak persis sama. Bahasa Bugis dialek Soppeng, berbeda dengan dialek Sidrap. Selain itu ada pula perbedaan-perbedaan kecil dalam kosa katanya dan cara pelafalannya.
Jangan mengira semua daerah di Sulawesi Selatan berbahasa Bugis. Ada pula bahasa Makassar dan Toraja. Selain itu ada juga sub bahasa daerah. Misalnya saja, ibu mertua saya, beliau berasal dari Pinrang, masih daerah Bugis. Tetapi di kampung beliau yang bernama Malimpung, ada sub bahasa daerah, yaitu bahasa Malimpung yang berbeda sekali dengan bahasa Bugis. Hanya orang-orang di dalam area itu yang menggunakan bahasa itu dan masih bisa diusut pertalian darah antara mereka. Warga di kampung ibu mertua saya menggunakan 2 bahasa daerah: bahasa Bugis dan bahasa Malimpung. Mereka berbahasa Bugis dengan sesama orang Bugis di luar kampung, dan mereka berbahasa Malimpung jika berada di dalam kampung.
Begitu pun di Gorontalo. Kampung kakek saya di daerah Suwawa. Di sini, masyarakatnya memiliki sub bahasa daerah sendiri pula, bahasa Suwawa yang berbeda jauh dengan bahasa Gorontalo. Jika berkomunikasi dengan orang Gorontalo yang bukan orang Suwawa, mereka berbahasa Gorontalo. Tetapi jika berkomunikasi dengan orang-orang di dalam kampung, mereka menggunakan bahasa Suwawa.
Itu baru bahasa, kawan. Sudah takjub saya dengan kekayaan Indonesia. Belum adat dan budayanya, mulai dari upacara pernikahan, kehamilan, kelahiran, hingga penyelenggaraan jenazah. Belum pula kulinernya. Aneka masakan ayamnya, masakan nasinya, masakan ikannya, sambalnya, kue-kuenya. Hmmm ... sedap. Begitu pula alamnya, sawah yang membentang, gunung yang menjulang, pantai dan sungai yang beriak, air terjun juga pemandian air panas. Yang tertata maupun yang ‘belum disadari’ oleh pemerintah potensi wisatanya. Dan tahukah kawan bahwa seperti seorang manusia, setiap suku punya karakter sendiri? Tahukah kawan bahwa lidah setiap suku memiliki kecanggungan dalam berbahasa Indonesia yang bisa terdengar aneh di telinga ahli bahasa Indonesia yang baik dan benar? Ini dikarenakan pelafalan bahasa daerahnya yang berbeda-beda tiap suku. Ah, walau aneh tetapi itulah khas dan kayanya Indonesia, tak patutlah dinilai negatif.
Amboi ... betapa dekatnya Indonesia. Betapa kayanya ia.
No comments:
Post a Comment