Suatu Ahad pagi di bulan Mei 2011.
Saya berusaha secepat mungkin menyelesaikan urusan pagi-pagi rumah agar bisa menghadiri Blogilicious Fun Makassar hari kedua tepat waktu.
Saya ke warung sebelah untuk membeli roti buat anak-anak. Sambil menunggu empunya warung melayani pembeli yang sudah lebih dulu berada di tempat itu, saya memperhatikan seorang kakek, tetangga sebelah yang sedang ‘ribut’ dengan cucu laki-lakinya berusia 3 tahun yang tengah mengendarai sepeda roda tiganya. Entah apa yang diinginkan si cucu, sang kakek tak mengerti. Cucunya merengek-rengek keras. Sang kakek mulai bersuara keras, berupaya menghentikan rengekan cucunya sambil menawarkan makanan yang ada di genggamannya. Cucunya menolak. Masih tetap merengek keras. Sang kakek kesal. Sang kakek meletakkan kakinya ke sisi kanan sepeda dan melakukan sedikit gerakan mendorong sepeda itu ke arah kiri, sambil mengancam dengan suara keras. Walau tak jatuh, cucunya akhirnya menangis dengan suara sangat keras.
Saya istighfar. Apa saya menyalahkan kakek itu? Oh, tidak, istighfar saya bukan untuk kakek itu. Melainkan untuk diri saya sendiri. Walau kelakuan sang kakek amat tak pantas dibenarkan, tetapi saya bukan hendak menyalahkannya sambil membenarkan penilaian saya. Bukan itu. Saya istighfar karena, saya sendiri masih sering berlaku serupa itu dalam bentuk yang lain kepada anak-anak saya. Sungguh, mengasuh tiga orang anak merupakan ujian kesabaran yang sesungguhnya bagi saya. Karena mengusahakan kesabaran seolah melawan diri saya sendiri. Seolah melawan egoisme saya sendiri. Mungkin karena mereka hadir ke dunia ini melalui rahim saya, jadi sering kali timbul rasa ‘memiliki’ terhadap mereka. Sering saya menjadi semena-mena, menjadi seenaknya dalam memperlakukan mereka, dalam menghukum mereka, dalam mengancam mereka di kala hati saya sedang sumpek karena masalah lain yang bukan disebabkan oleh mereka.
Misalnya saja saat malam sebelumnya. Anak-anak sudah tidur saat saya mencoba mempelajari sedikit materi seminar dan workshop Blogilicious Fun Makassar hari pertama. Seperti biasa, seperti pada malam-malam sebelumnya, Athifah tiba-tiba bangun. Biasanya ia minta minum teh atau minta dipijat, atau minta ditemani ke kamar kecil. Kali ini ia minta ditemani ke kamar kecil, “Mau pipis”, katanya. Saya berkata kepadanya, “Sama Papa, ya”. Athifah menolak, “Tidak, Saya mau sama Mama”. Saya membujuknya lagi supaya ia mau ditemani papanya. Ia tetap menolak dan mulai merengek. Setan yang menggoda saya hampir saja menang, saya mulai kesal. Ia tetap berkeras mau ditemani oleh saya. Untungnya saya cepat sadarkan diri. Saya istighfar berkali-kali dan membawanya ke kamar mandi. Astaghfirullaah hal ‘azhiimalladzi laa ilaaha illaa huwal hayyul qayyuumu wa atubu ilaih.
Makassar, 25 Mei 2011
No comments:
Post a Comment