Saat itu, baru setahun menjalani perkuliahan, seorang senior meminta saya menjadi MC pada sebuah seminar yang diadakan oleh Senat Mahasiswa Fakultas Teknik. Entah apa yang mendorongnya meminta saya, padahal saya belum pernah satu kali pun menjadi MC dalam acara apa pun. Dan anehnya lagi, saya mengiyakan. Maka jadilah saya bersama seorang sahabat, dengan mengenakan jaket merah almamater hadir sepagi mungkin di lokasi seminar. Nanni – sahabat saya itu, sama juga seperti saya, tidak pernah menjadi MC. Berani sekali kami. Sebelum mulai, seorang pengurus senat memberi wejangan singkat kepada kami tentang bagaimana menjadi MC yang baik. Hmmm .. lumayan, dapat satu ilmu yang bermanfaat.
Seperti biasa dalam seminar kampus, acara itu dihadiri oleh pejabat-pejabat fakultas, dan dibuka oleh ketua senat. Meski gugup, saya dan Nanni berusaha menjalankan tugas sebaik mungkin. Beruntung tempat duduk kami berada di belakang meja yang agak tinggi, jadi hanya bagian kepala kami saja yang tampak oleh sebagian hadirin di ruangan itu sehingga rasa kikuk sedikit terobati. Setiap jeda, kami berdua duduk di kursi-kursi beroda itu.
Untuk lebih merilekskan diri, sambil bersandar dan berbisik-bisik dengan Nanni, saya iseng menggerak-gerakkan kursi ke belakang hingga kaki kursi bagian depan terangkat sedikit. Satu kali, aman. Dua kali, aman. Gerakan saya makin kencang ke belakang. Ke sekian kali ... “BRAK” ... Saya terjengkang ke belakang, lurus merapat di lantai. Aduh mak .. malunya. Seandainya saya tahu mantera untuk menghilangkan diri seketika, pasti buru-buru saya gunakan. Nanni membantu saya duduk kembali. Beberapa pasang mata menangkap kejadian memalukan itu. Tetapi karena seminar tengah berlangsung, mereka tetap di posisi semula. Sebagian hadirin yang lain mungkin tidak sadar dengan kejadian itu karena posisi saya terlindung oleh meja tinggi. Syukurlah ... Dengan rasa malu yang amat sangat besar, saya memohon-mohon pada Nanni supaya ia membiarkan sayamelarikan diri dari tempat itu, dan supaya ia sudi menyelesaikan tugas sebagai MC sendiri. Nanni yang baik, ia tetap tenang dan terus membesarkan hati saya, sehingga saya bertahan di tempat itu hingga acara selesai dengan rasa malu yang masih amat sangat besar. Nanni yang baik, bertahun-tahun kemudian mengingatkan saya kejadian itu dengan tertawa geli... hhhh... untung saat kejadian ia bersikap tenang, jika ia tertawa seperti itu saya pasti sudah lari meninggalkannya seorang diri. Beruntung peristiwa itu tidak berekor panjang.Mungkin hanya Nanni dan saya yang masih mengingatnya hingga kini. Ah .. mudah-mudahan Nanni sudah lupa.
Makassar, 16 Mei 2011
No comments:
Post a Comment