Pada buku PKN (Pendidikan Kewarganegaraan) kelas 4 SD, bab 5 (Sistem Pemerintahan Pusat), tercantum tujuan pembelajaran adalah:
· Mengenal lembaga-lembaga negara pemerintahan tingkat pusat, seperti DPR, MPR, Presiden, MA, MK, dan BPK.
· Menyebutkan organisasi pemerintahan tingkat pusat, seperti presiden, wakil presiden, dan para menteri.
Pada kenyataannya, Affiq – sulung saya yang duduk di kelas 4 SD bukan hanya sekedar harus mengenal dan menyebutkan, melainkan ia harus menghafal segala sesuatu yang berkenaan dengan DPR, DPD, MPR, MA, MK, KY, BPK, Bank Sentral, KPU, Presiden, Wakil Presiden, Kejaksaan, TNI, Polri, dan Duta Besar. Ia juga harus menghafalkan menteri-menteri apa saja yang memimpin departemen, menteri negara nondepartemen, menteri koordinator, Lembaga Pemerintah Nondepartemen, Badan Ekstra Struktural, dan Badan Independen.
Kelihatannya, seharusnya tujuan pembelajaran yang dituliskan adalah ‘menghafalkan’, bukan ‘mengenal’. Pertanyaan yang harus dijawab di ulangannya ‘kan seperti : “Tuliskan tugas Presiden selaku kepala negara,” atau “Tuliskan tugas-tugas DPR”, atau “Coba bedakan antara tugas Kepolisian dan TNI.” Anak-anak tentu bisa menuliskannya setelah berhasil menghafalkannya. Tidak pernah ada soal demikian: “Kenalkah Kamu dengan DPR?” atau “Kenalkah Kamu dengan MPR?” (Yang jawabannya ‘Kenal’ atau ‘Tidak kenal’) ... Iya ‘kan?
Maka jadilah saya mendampinginya menghafal. Saat tiba di bagian KY (Komisi Yudisial), ada kalimat: “KY diangkat dan diberhentikan presiden atas persetujuan DPR.” Affiq bertanya, “Ma, ‘diangkat’ itu, maksudnya apa badannya diangkat oleh presiden?” Saya menjelaskan, “Bukan, maksudnya ditetapkan, disahkan.” Wah ... rupanya masih agak sulit memahami kata-kata yang maknanya abstrak bagi kelas 4 SD ya? Apa guru-gurunya memahami itu? Apa mereka mampu mentransformasi pemahaman abstrak menjadi nyata bagi otak anak-anak? Atau jangan-jangan mereka pun tak memahaminya?
Lalu materi hafalan berlanjut hingga tiba di bagian TNI. Saat tiba di kalimat, “TNI dibagi menjadi 3 angkatan, yaitu angkatan darat, angkatan laut, dan angkatan udara,” Affiq bertanya lagi, “Mama, apa ada angkatan sungai dan angkatan danau?” Tentu saja saya menjawab ‘tidak ada’. Entah apa ia serius ingin tahu, atau hanya sekedar bereksplorasi dengan pertanyaan itu. Terkadang ia menanyakan pertanyaan retorika, bukan bermaksud ingin tahu, hanya sekedar bereksplorasi.
Pada bagian ‘Perwakilan RI di Luar Negeri’ ada kalimat “Duta besar berkantor di mancanegara.” Affiq teringat pelajaran Bahasa Indonesia-nya. Dalam satu soal ditanyakan antonim (lawan kata) dari ‘mancanegara’. Affiq menjawab dengan: ‘pancanegara’. Dibenarkan oleh gurunya. Duh. Saya menjelaskan padanya, “Salah, Nak. Mancanegara itu maksudnya internasional, luar negeri. Antonimnya ya lokal, dalam negeri Indonesia.”
Saya teringat, guru yang sama pernah menjelaskan arti ‘marka’ adalah: merk, misalnya merk pakaian, merk celana. Padahal dari rumah saya sudah membekali Affiq dengan pengetahuan yang benar bahwa marka itu adalah rambu jalan. Duh.
Kalau orangtua murid sadar dengan hal yang seperti ini, pemahaman anak bisa diluruskan. Affiq pada akhirnya bisa memahami penjelasan yang saya berikan. Lha kalau tidak? Dengan beban kurikulum yang semakin berat, orangtua dituntut untuk semakin cerdas supaya bisa membantu membimbing anak dari rumah karena guru tak sanggup memahamkan anak semua materi yang dituntut oleh kurikulum. Lha, kalau orangtua tak paham? Masih banyak orangtua yang merasa cukup dengan mendaftarkan anaknya ke sekolah, terutama mereka yang berasal dari kalangan ekonomi menengah ke bawah. Saya banyak mengenal orang-orang seperti ini, yang untuk sehari-harinya mereka sibuk dengan urusan perut. Boro-boro memikirkan tuntutan kurikulum, sehari-hari saja hidup mereka sudah susah. Mau dipikir pun mereka tak bakal sadar bahwa ‘ada yang harus orangtua lakukan demi mengejar laju tuntutan kurikulum’, apalagi untuk mengerti harus melakukan apa untuk itu. Pelajaran SD saja segini ribet-nya. Lalu bagaimana dengan pembelajaran anak-anak mereka setelah ini?
No comments:
Post a Comment