Allah, Ia tentu Mahatahu perjuangan saya dan suami hingga Ia karuniai kami tiga orang buah hati. Sebelumnya, kami adalah pasangan yang tidak subur. Satu orang saja yag tidak subur, sangatlah sulit memiliki anak. Apalagi kami, dua-duanya tidak subur. Saya bermasalah dengan hormon kesuburan. Pemeriksaan hormon kesuburan saya menunjukkan nilai orang yang hampir menopause, sel telur saya tidak pernah berkembang sempurna. Sementara suami saya bermasalah dengan jumlah sperma yang sangat jauh dari subur hingga nyaris azoospermia. Setelah mengkonsumsi obat-obat penyubur (medis) dan tanpa hasil, kami mengenyahkan pengobatan medis dan berobat kepada seorang tabib dengan air putih yang dibacakan do’a. Hanya air putih, itulah obat kami hingga akhirnya saya berhasil hamil dan melahirkan Affiq (hampir 10 tahun), Athifah (4 tahun 8 bulan), dan Afyad (1 tahun 8 bulan). Secara logika tidak masuk akal, tetapi dengan iman, tak ada yang mustahil bagi Allah.
Saya tentu tak akan menyia-nyiakan karunia itu walau sekejap pun. Saya harus menjadi sosok yang pertama dan utama bagi mereka. Saya tahu akan melelahkan tapi pasti ada ridha-Nya di situ yang akan membawa saya kepada kebahagiaan sejati tanpa batas, kebahagiaan yang tak terukur seperti terukurnya materi ataupun jabatan.
Takkan bisa dihingga nikmatnya memandang kedalaman binar bola mata mereka kala lahap menyusu, saya bersyukur bisa menyusui ketiganya dan melalui masa-masa ‘sulit’ saat mereka sulit menyusu padahal mereka sebenarnya sangat ingin sementara saya juga sangat ingin menyusui sehingga sering diakhiri dengan adegan kami sama-sama menangis, lalu saya berdo’a meminta belas kasih-Nya supaya memudahkan urusan menyusui ini. Juga saat ada ‘kampanye pro susu formula’ dari orang-orang dekat kami, alhamdulillah suami saya mendukung sehingga saya berhasil menyusui ketiganya. Pun binar-binar polos mata mereka kala si sulung Affiq bercerita tentang keberhasilannya menjawab soal-soal ujiannya, kala Athifah tertawa gembira saat saya menemaninya bermain ‘tumbu’-tumbu’ belanga’, kala Afyad terkekeh-kekeh mendengar bunyi-bunyian aneh yang saya keluarkan dari mulut saya, dan banyak lagi.
Indahnya mendengar komentar “Enak” dari Affiq dan Athifah saat mereka menyukai masakan saya meski itu hanya tempe goreng yang direndam bawang putih dan garam sebelumnya, apalagi jika mereka lahap hingga berkali-kali menyantapnya.
Juga saat menyadari bahwa saya (atau papanya) adalah orang pertama (bukannya orang lain) yang mereka tanyai jika ada tanya berkecamuk di benak mereka. Meski kewalahan meladeni pertanyaan ‘berekor’ mereka yang entah kapan berhentinya jika terus diladeni, seperti : “Boleh makan manusia?” atau “Apa itu menunduk/mendongak/air/sesuatu?” atau “Kenapa orang kawin bisa hamil?” atau “Apa Allah tidur?” atau “Apa mama cari papa untuk melahirkan Saya?” dan lain-lain.
Bahagia rasanya menjadi satu-satunya orang pertama yang menyaksikan setiap tahap perkembangan mereka, saat bisa duduk, berdiri, berjalan, bernyanyi, mengenal huruf, memegang benda, main game HP/komputer, dan banyak lagi momen-momen pertama lainnya.
Menyenangkan bisa membuktikan bahwa seorang ibu adalah sosok multi-tasking bersama mereka. Saat menemani si sulung belajar sambil menyusui si bungsu, saat memijat kaki si tengah sambil menyusui si bungsu, saat menyuapi mereka sambil mengetik naskah untuk diikutkan lomba, dan lain-lain.
Indah rasanya bisa mendampingi Affiq belajar mengenal huruf, membaca, hingga sekarang ia kelas 4 SD – tetap menemaninya belajar menghadapi ujian. Membahagiakan mengetahui ada amal jariyah di situ, amal yang dijanji Allah pahalanya tetap mengalir meski saya sudah tak ada lagi di dunia ini kelak.
Satu nikmat pula mengetahui kendali tingkah polah mereka yang super aneh sekali pun ada di tangan saya dan papanya, bukan di tangan orang lain. Misalnya dalam menyuruh melakukan shalat dan belajar, tak mempan kalimat perintah dari kakek dan neneknya. Affiq – anak yang super aktif, orang yang tak mengenalnya bisa mengecap dirinya nakal. Ulahnya macam-macam, tak hanya senang membuat Athifah menjerit-jerit, ia masih suka membongkar sana-sini, bermain bedak hingga berserakan, menggunting-gunting kertas dan membuatnya berserakan di mana-mana, berlari dan lompat-lompat di atas kursi/tempat tidur, berteriak-teriak, bereksperimen hampir setiap hari, dan lain sebagainya. Saya pernah mendengar ada suami-istri yang kewalahan menghadapi anaknya yang tantrum, mereka tak mampu menghadapi anak mereka karena kesibukan karir mereka menyebabkan anak sehari-harinya dititip kepada neneknya, sementara sang nenek tak mampu menghadapi anak tersebut. Alhamdulillah, walau sering sulit, Affiq masih mematuhi saya dan papanya. Saat usianya masih batita, ia sering tantrum. Pernah malah memakan waktu sekitar 2 jam. Jurus pamungkas saya kala itu adalah surah Yasin. Jika dibaca satu kali belum mempan, saya ulangi, jika belum mempan juga, saya ulangi lagi. Biasanya usai pembacaan yang ketiga kalinya ia tidur lalu bangun selang 5 menit kemudian, dengan segar dan ceria seperti tidak pernah terjadi apa-apa!
Ada haru yang luar biasa di dalam hati mana kala Affiq berani minta maaf setelah berteriak-teriak kasar kepada neneknya, atau saat ia memperlihatkan nilai rapornya dengan bangga, atau saat Athifah membelai mesra rambut saya sembari berkata lembut, “Mama, I love you. Jangan suka marah-marah ya? Kalau marah-marah, nanti Mama cepat tua,” juga saat si kecil Afyad menepuk-nepuk pundak saya kala menggendongnya. Juga saat Athifah senantiasa minta maaf jika sadar telah melakukan kesalahan.
Saking tak bisa lepasnya anak-anak dari kami, Affiq ikut nginap di rumah bersalin saat saya melahirkan Athifah. Tiga tahun setelah Athifah lahir, Affiq dan Athifah juga ikut menginap dengan saya dan papanya di rumah bersalin. Affiq bahkan sudah ‘menyodorkan proposalnya’ kepada saya tentang kamar mana lagi yang layak kami tempati jika saya nanti melahirkan lagi. Waduh.
Pun saat lepas kendali hingga kesal atau marah kepada mereka. Saya menikmatinya. Lho ? Iya, saya menikmatinya kala saya menyesal lalu minta ampun pada-Nya karena belum lulus ujian kesabaran dari-Nya. Saya menikmati kekerdilan saya di hadapan Ia yang Mahabesar. Sungguh tak ada daya dan upaya melainkan dari-Nya jua.
Suatu kenikmatan menyadari betapa besar karunia-Nya melalui ketiga mutiara yang Ia titipkan, dan betapa saya membutuhkan-Nya dalam membesarkan mereka karena segala daya dan upaya adalah dari-Nya yang Mahapengasih lagi Mahapenyayang.
No comments:
Post a Comment