Saat-saat menjelang ujian akhir semester (kenaikan kelas) anak saya merupakan satu momok yang menggemaskan. Bagaimana tidak. Sejak ia kelas 3 SD, soal ujian untuk mata pelajaran yang diujian-nasionalkan yang diberikan kepada mereka seragam (baca: STANDAR), dibuat oleh departemen DIKNAS kota Makassar. Saya bersama anak saya – Affiq, sama-sama ‘jungkir-balik’ menyongsongnya.
Untuk menyuruhnya belajar saja, saya harus menguras energi. Sebab ia anak yang tidak bisa diam. Memanggilnya duduk di samping saya membutuhkan waktu bermenit-menit sampai berpuluh menit. Terkadang saat ia sudah duduk di sisi saya, sementara perhatian saya beralih ke hal lain – semisal adiknya, begitu saya menoleh ke arahnya hanya angin yang saya dapatkan. Maksudnya, ia sudah tidak berada di situ, sudah raib alias tak kelihatan. Jadi saya harus starter lagi meneriakkan, “AFFIQ!” dan menyuruhnya konsentrasi pada pelajarannya. Ini tak hanya berlangsung sehari sebelum ujian, tetapi berhari-hari sebelumnya, bahkan berbulan-bulan sebelumnya. Karena padatnya tuntutan kurikulum, sejak awal semester saya berusaha menemaninya belajar. Hari-hari menjelang ujian bukannya makin ringan, malah membuat saya jungkir-balik.
Affiq pun demikian. Menjejali otaknya dengan berbagai materi bukanlah hal yang mudah. Ia pun jungkir-balik. Terkadang ia belajar dengan posisi kepala di bawah kaki di atas. Bukan karena saking konsentrasinya. Bukan. Itu karena ia tak pernah bisa belajar dengan tenang. Ia bisa belajar sambil melompat-lompat di tempat, sambil mengayun-ayunkan anggota tubuhnya secara bergantian, sambil sesekali membuat Athifah menjerit-jerit, sambil berlari ke sana-ke mari, dan bermacam-macam gaya lainnya. Jungkir balik yang sesungguhnya .. he he he.
Seperti PKN, setelah menemaninya melalap materi seputar Pemerintahan Pusat dan Globalisasi. Tibalah saatnya ia harus mengikuti ujian. Dari 20 soal ujian yang bentuknya isian, tidak semuanya ia bisa jawab dengan mulus karena beberapa hal:
Pertama, sang pembuat soal kelihatannya memakai buku cetak lain. Ia kesulitan menjawab pertanyaan: “Jelaskan apa yang dimaksud dengan presiden mandataris MPR?” Buku cetaknya tidak memberikan wacana tentang ini (mandataris MPR), saya pun tak memberikannya (materi yang di bukunya saja sudah sedemikian banyaknya, saya tidak teringat tentang ini), gurunya juga tak pernah memberikannya. Sudah begitu, soalnya meminta penjelasan bukan penyebutan (yang tentu saja butuh satu kalimat panjang atau malah lebih dari satu kalimat untuk menjawabnya).
Kedua, beberapa soal merupakan pertanyaan terbuka. Sayangnya, rupanya ada kunci yang dipegang guru yang membuat pertanyaan ini memiliki jawaban tertutup. Sehingga apapun jawaban anak-anak meski itu benar, tidak dinilai sempurna. Misalnya ada pertanyaan: “Bolehkah kita marah kepada orangtua bila keinginan kita tidak terpenuhi? Mengapa?”
Ketiga, ada soal yang membutuhkan penalaran tinggi dalam menjawabnya. Sebagian besar siswa kelas 4 di kelas Affiq belum mampu menjabarkannya. Seperti soal: “Bagaimana cara kita meningkatkan iman dan taqwa dalam membentengi diri terhadap pengaruh globalisasi?” “Iman” yang mereka ketahui baru sampai pada hafalan tentang 'rukun iman’ (itu pun mungkin sudah banyak yang lupa karena pelajaran tentang rukun iman sudah beberapa tahun yang lampau). Lalu ‘taqwa’, seperti apakah konsep ‘taqwa’ dalam benak mereka? Belum ada. Apa guru-guru pernah memahamkan konsep ‘iman’ dan ‘taqwa’ yang sedemikian abstraknya hingga dapat dimengerti secara nyata oleh benak anak kelas 4 SD?
Sebenarnya masih ada lagi soal yang lebih menakjubkan daripada itu. Pada semester lalu (kelas Affiq juga ketiban sial, soal dibuat oleh guru kelas sebelah), ada soal seperti ini, “Jelaskan terbentuknya DPR” Sungguh bukan soal yang mudah.
Banyaknya masalah yang timbul sekarang ini menjelang dan sesaat setelah UNAS (ujian nasional) di tingkat SD, SMP, dan SMA adalah karena satu kata yaitu: ‘STANDAR’.
Betapa tidak, satu kata itu menyebabkan ada sekolah yang tidak malu memanipulasi nilai-nilai siswanya bahkan mengorganisir melakukan ‘CONTEK BERAMAI-RAMAI’ atau berusaha membocorkan soal kepada siswanya. Para siswa pun banyak yang berburu bocoran soal. Mereka melakukan berbagai cara aga supaya ‘sertifikasi STANDAR’ ini terpenuhi. Beberapa yang tidak lulus sampai tega bunuh diri!
Namun satu hal yang saya sayangkan. Mutu guru (apalagi guru-guru sekolah negeri) SAMA SEKALI TIDAK STANDAR. Sangat tidak adil.
Jika pemerintah ‘menuntut’ nilai yang standar untuk mengukur kecerdasan lulusan sekolah (output). Seharusnya sistem pendidikannya sendiri juga distandardisasikan. Para guru seharusnya diuji kestandaran kompetensinya supaya kami para orangtua ini cukup lega, anak-anak kami cukup punya peluang lulus dengan nilai standar. Demikian pula segala hal yang menyangkut sistem pendidikan di sekolah itu, seperti buku pegangan (buku cetak) seharusnya sama (baca: standar) di semua sekolah.
Nah bapak-bapak/ibu-ibu yang terhormat yang memegang wewenang dalam terlaksananya pendidikan di negara ini tentunya bisa melihat hal ini dan bisa duduk bersama menyelesaikan benang kusut sistem pendidikan kita. Saya hanya bisa ‘memotret’ untuk anda semua bahwa seperti inilah sistem pendidikan kita sekarang.
Makassar, 26 Juni 2011
Tulisan lain yang terkait:
No comments:
Post a Comment