Pada lebaran kali ini, Athifah pertama kali mengenal ‘angpao’. Maksudnya, bukan dari segi bahasanya, melainkan prakteknya. Saat ziarah bersama ke rumah mertua tante Mirna (adik mama), ia kebagian angpao dari om Pai dan om Iwan (adik om Pai).
Semangat mengumpulkan angpao meninggi pada Athifah kala tante Nani, sepupu mama berkunjung ke rumah dan memberikan angpao kepada Athifah dan saudara-saudaranya. Sebenarnya ia belum paham nilai uang, entah apa yang membuatnya sesemangat itu. Mungkin karena alasan yang simpel saja: karena mengoleksi uang angpao adalah hal yang menarik.
Pagi tadi Athifah ikut ato’ (kakek) dan oma (nenek) berkunjung ke rumah tetangga. Tak ada yang tahu ia membawa uang 2 lembar lima ribuan dari rumah. Pulang ke rumah, Affiq yang melihat uang itu mengira ada seorang dermawan yang memberikan Athifah uang. Affiq berseru kepada adiknya, “Siapa yang kasih Kamu uang? Kenapa Kamu tidak mintakan Saya juga?” Mama yang mendengar ini, nyeletuk dari ruangan sebelah, “Eits Affiq, tidak boleh begitu. Siapa yang tidak ikut, dia tidak dapat!” Seperti Affiq, mama mengira ada yang baru saja memberikan angpao kepada Athifah.
Menjelang siang, sepupu mama – om Arfan berkunjung bersama istri (tante Aty), dan putri bungsunya. Anak-anak yang nampak: Athifah, Afyad, dan kedua sepupunya: Ifa dan Faqih kebagian angpao. Betapa senangnya mereka.
Tak lama kemudian, om Arfan sekeluarga pamit pulang. Athifah dan Faqih bersalaman dengan om dan tantenya. Kakak Ifa sedang berada di dalam rumah saat itu. Tiba-tiba Athifah berseloroh, minta angpao lagi, “Untuk kakak Ifa,” katanya. Tante Aty membuka tasnya dengan sigap dan mengeluarkan selembar uang kertas. Ia masuk ke dalam rumah mencari Ifa dan memberikannya sendiri kepada Ifa.
Perasaan mama saat itu sudah mulai campur aduk, antara bingung dan malu. Bingung, karena mengetahui Athifah memintakan kakaknya angpao. Dan malu, karena tidak pernah mengajarkan hal seperti itu kepada Athifah, dan di dalam kamus mama tidak ada istilah ‘meminta angpao’. Kenikmatan memberi dan diberi bagi mama adalah saat sang pemberi dan penerima sama-sama ikhlas memberi dan menerima, berapa pun nominal pemberian tersebut. Mama berharap, mudah-mudahan orang-orang dewasa ini salah mengerti, Athifah hanya hendak bersalaman, bukannya meminta angpao.
Sementara itu ... Di latar belakang, di dalam rumah .. Ifa bersimbah air mata dalam diam.
Ketika para tamu sudah pulang, mama memanggil Athifah, “Athifah dengar Mama. Lain kali tidak boleh lagi memintakan siapa pun uang untuk orang lain. Kalau Athifah yang diberikan, bilang terimakasih. Begitu saja. Tidak boleh minta-minta!” Athifah diam saja. Ia mengangguk. Mama melanjutkan, “Tidak boleh begitu lagi ya? Ingat itu. Mama malu kalau Athifah minta uang sama orang!” Ia masih diam dan mengangguk. Mama dan tante Mirna menginterogasi Athifah, memperjelas lagi apakah memang Ifa minta Athifah untuk memintakannya angpao. Jawabannya ternyata: Tidak. Rupanya itu tadi murni inisiatif Athifah, meminta angpao.
Sekarang giliran Ifa yang diinterogasi oleh umminya, “Kenapa Ifa menangis?” Ifa menjawab dengan mimik yang masih cemberut, “Habis .. Athifah memintakan uang untuk Ifa padahal Ifa tidak pernah minta. Ifa ‘kan malu, nanti dikira Ifa yang suruh minta padahal Ifa sudah dikasih tadi!”
Mama menoleh kepada Athifah, “Tuh Athifah, bukan hanya Mama yang malu, kakak Ifa juga malu. Kasihan ‘kan dia sampai menangis. Lha kakak Ifa tidak minta kenapa dimintakan?” Tante Mirna menukas, “Tante Mirna juga malu, nanti orang kira tante Mirna yang ajari kakak Ifa minta uang!”
Athifah diam. Mudah-mudahan ia mengerti. Tampaknya ia sudah belajar ‘menulis skenario’. Sebelum tetamu datang, ia membuntuti mama dan mengejar mama dengan kalimat, “Mama, kasih juga kakak Ifa uang!” Apa mungkin sebenarnya ia yang mengincar uang angpao itu? Duh, seperti bukan anak balita!
Makassar, 2 September 2011
Nak ... Nak ... mama memang suka menulis tapi belum pernah menulis skenario. Kamu mau mendahului mama belajar menulis skenario? Ck ck ck ....
No comments:
Post a Comment