Tuesday, December 28, 2010

Pengembangan Diri Dunia-Akhirat

9 Januari 2007.

Malam ini, 2 orang teman, adik-adik dari almamater kami (Teknik Elektro UNHAS) datang ke rumah hendak mengcopy file guna keperluan tes bakat yang hendak mereka lakukan. Mereka berdua bertindak sebagai fasilitator dalam Talent Test yang akan dilakukan beberapa waktu ke depan.

Tes tersebut ditujukan untuk siswa-siswa SMA yang hendak melanjutkan pendidikan mereka ke jenjang S1 supaya tidak salah memilih jurusan. Melalui tes tersebut mereka dibantu untuk mampu mengenali potensi mereka yang sesungguhnya. Selain siswa SMA, tes tersebut ditujukan juga untuk pegawai-pegawai perusahaan rguna keperluan pemetaan karir mereka ke depannya, istilah kerennya ‘right man on the right place’. Tujuannya, supaya kinerja perusahaan ke depannya dapat lebih produktif tentu saja.

Selain itu, mereka berencana mengadakan semacam ‘after sales service ’ , berupa konsultasi setelah hasil tes diterima oleh peserta tes. Guna menjawab pertanyaan: “ Setelah tes, so what ?”.

Mereka berdua bertutur cukup ‘panjang lebar’ seputar tes tersebut. Di antaranya adalah bahwa keunggulan tes ini berikut pelatihannya adalah supaya setelah melakukan tes, tindak lanjutnya difokuskan pada potensi (kelebihan) peserta tes, bukannya pada kelemahan. Kelemahan untuk sementara diabaikan dulu karena dengan berfokus pada kelebihan, lama-kelamaan kelemahan akan tertutupi (mengecil). Ketimbang berfokus pada kelemahan, yang ada malah repot memperbaiki kelemahan dan lupa mengasah potensi.
***

Saya jadi teringat sebuah buku yang baru saja saya baca: “10 Anugerah Terindah Untuk Ananda, Cara Membesarkan Anak dengan Hati” yang ditulis oleh Steven Vannoy, juga memuat hal yang bersesuaian. Di antaranya dianalogikan dengan permadani indah dan noda di atasnya. Betapa pun indahnya permadani tersebut jika yang teramati hanya noda-noda di atasnya maka permadani itu tidak akan kelihatan keindahannya karena setelah itu, noda demi noda yang lain akan tampak dengan sendirinya. Tetapi jika yang diamati keindahan permadani itu maka noda-noda di atasnya dengan sendirinya malah tersamar.

Buku itu juga memuat berbagai kisah tentang pengasuhan anak, di antaranya kisah seseorang bernama Mike (pada halaman 221), sebagai berikut:
Usia saya 35 tahun dan orangtua saya masih memperlakukan saya seolah-olah saya masih berumur 5 tahun. Mereka mempertanyakan segala sesuatu yang saya kerjakan. Mereka biasa berkata, “Mengapa kau masih tetap melakukan pekerjaan yang tidak memuaskan itu?” atau “Apakah kau yakin warna setelan baju itu cocok denganmu?” Mereka menanyakan mengapa istri saya melakukan ini atau itu dan mengapa saya membiarkan anak-anak saya bertingkah laku seperti anak nakal, atau bukankah lebih baik jika kami pergi ke gereja di lingkungan yang dulu? Saya tahu mereka orang-orang yang sangat baik dan segala yang mereka lakukan bertujuan menjadikan saya orang yang bertanggung jawab, tetapi bagaimana saya bisa merasa bertanggung jawab jika mereka mempertanyakan setiap keputusan yang saya buat? Itu terus berlanjut sehingga saya tidak suka berbicara dengan mereka lagi, dan kami semakin sering mencari-cari alasan agar tidak usah mengunjungi mereka. Dan ini sangat disayangkan. Kesehatan ayah saya menurun dan saya ingin menemaninya selama sisa waktu yang dimilikinya daripada merasa ingin menghindarinya.


Menarik. Ternyata ada kesesuaian ‘konsep pelatihan’ dalam hal ini. Pelatihan pengembangan diri sebagai lanjutan dari Talent Test dan ‘pelatihan’ (baca: pengasuhan) anak. Bukan hanya dalam Talent Test. Buku-buku dan teori seputar pelatihan/pengembangan diri yang saya temui sejak mahasiswa hingga sekarang memiliki banyak kesesuaian dengan teori-teori pendidikan anak modern. Utamanya dalam hal yang berkaitan dengan pencapaian afeksi yang diharapkan. Hanya saja dibahasakan secara berbeda.

Saya kenal beberapa orang yang punya semangat melatih yang sangat tinggi. Mereka sangat menikmati bacaan-bacaan maupun kegiatan-kegiatan yang berhubungan dengan pengembangan diri. Mereka memiliki visi yang ideal dalam hal ini. Saya membayangkan apa jadinya anak-anak mereka kelak ... wow ... barangkali anak-anak mereka akan menjadi sumber daya handal yang dimiliki bangsa ini kelak. Sumber daya yang tidak hanya cerdas secara intelektual tetapi juga secara emosional dan spiritual. Karena sesungguhnya pengasuhan anak sejatinya adalah ‘program pengembangan diri‘ paket dunia-akhirat di mana pesertanya masih berupa ‘kertas putih yang masih kosong’ dan pelatih/instruktur/guru-nya adalah orangtua.

Sebenarnya ada yang tak kalah menariknya. Yaitu, orangtua sebenarnya ‘berperan ganda’. Tak hanya sebagai pelatih, sekaligus ia juga sebagai peserta. Sayangnya banyak orangtua yang tak sadar akan hal ini karena mereka beranggapan proses pengembangan dirinya sudah selesai padahal sejatinya manusia tak boleh berhenti belajar bahkan melalui anak/keturunannya. Tidak percaya ? Coba saja bercermin dari perilaku anak balita/remaja kita (catatan: jangan pada saat mereka sudah dewasa karena mereka pasti sudah belajar mengembangkan diri dari sumber-sumber lain, kepribadian mereka bukan lagi monopoli bentukan dari dalam rumah tetapi juga dari luar rumah). Coba simak cara mereka berpikir, berpendapat, mengeluarkan emosi negatif, bergaul dengan orang lain, bereaksi terhadap suatu masalah, dan lain-lain. Kalau bukan meniru orangtuanya, mereka pasti memiliki perilaku yang merupakan reaksi dari perilaku orangtua terhadap mereka. Sekali lagi: tidak percaya ? Ah, cobalah jujur. Steven Vannoy saja berpendapat demikian, ini tersirat dan tersurat sangat banyak dalam bukunya yang saya sebutkan di atas. Siapakah Steven Vannoy ? Oh, dia adalah salah satu penulis buku laris di Amerika sana yang memiliki pengalaman 25 tahun dalam kepemimpinan dan pelatihan. Dia diakui sebagai salah satu pakar terkemuka di Amerika dalam bidang membangun budaya perusahaan, komunitas, dan keluarga yang sehat.

Ini sungguh tantangan yang sangat menarik bagi para pecandu pelaksana pelatihan karena hasilnya bukan saja akan mereka saksikan di dunia ini, tetapi juga di akhirat. Dan saya yakin, jikalau hasilnya memuaskan (yah ... katakanlah rapornya dapat nilai ‘A’ dari Yang Mahakuasa) sang orangtua pastilah menjadi orang yang sangat bijaksana dan ia pasti memiliki ikatan batin yang sangat tulus dengan keturunannya. Hmmm .... indahnya ....

Makassar, ..... selesai 1 Februari 2007

No comments:

Post a Comment