Friday, January 21, 2011

SEKOLAH OH SEKOLAH ...

Affiq sudah kelas 4 sekarang. Saat ini saya harus menambahkan ‘program’ dalam mengajari Affiq mata pelajaran-mata pelajaran di sekolahnya di agenda keseharian saya. Kecuali bahasa daerah tentu saja. Saya tidak menguasai aksara lontarak – aksara yang dipakai dalam kesusasteraan Bugis-Makassar, apalagi bahasa Makassar, meskipun lahir dan besar si Makassar, saya hanya fasih berbahasa Indonesia dialek Makassar, bukan berbahasa Makassar. Kedua orangtua saya pun tidak berdarah Makassar. Bapak saya Bugis, ibu saya Gorontalo. Jadi, untuk urusan bahasa daerah saya menyerah. Papanya pun tidak bisa berbuat apa-apa karena ia orang Bugis asli. Ya, apa mau dikata jika soal ulangannya misalnya disuruh menerjemahkan dari bahasa Makassar ke bahasa Indonesia, sudah begitu disuruh membuat aksara Lontaraknya. Sementara butuh penguasaan yang memadai untuk itu karena bahasa Makassar tulisan Latin, berbeda dalam penulisan Lontaraknya, misalnya kata kongkong (anjing) kalau dituliskan aksara Lontaraknya, berbunyi koko sebab tidak ada (atau tidak diajarkan?) cara penulisan bunyi ‘ng’ dalam aksara Lontarak.

            Saya hanya bisa pasrah saja melihat nilai ‘60’ untuk mata pelajaran Bahasa Daerah di rapor Affiq baru-baru ini. Tak apalah, nilai-nilainya yang lain jauh di atas itu, syukur-syukur, alhamdulillah ia bisa ranking 1. Mungkin lebih bisa dikontrol andai saja catatan bahasa daerahnya lengkap. Ini tidak, seringkali catatan bahasa daerah Affiq tercecer entah ke mana. Kenapa bisa? Entahlah ... mari kita bertanya pada rumput yang bergoyang karena Affiq hanya bisa menjawab ‘tidak tahu’ jika ditanya ...

Menguasai 4 Struktur Berbahasa

            Ada 4 cara berbahasa yang harus dipelajari Affiq sehubungan dengan kurikulum yang ditetapkan di sekolahnya:
1.      Bahasa Indonesia.
Sejak kelas 1 tentu saja mata pelajaran ini sudah harus dipelajari. Isinya antara lain struktur berbahasa, misalnya bentuk-bentuk kalimat sempurna, tidak sempurna, kalimat tanya, kalimat perintah. Kosa kata, misalnya dalam bidang pertanian, ekonomi, medis, pendidikan. Saya melongo waktu menemani Affiq mengerjakan latihan dari buku cetaknya, ada soal membuat kalimat dari kata ‘kompetensi’. Bagaimana tidak terlongo, bagaimana caranya saya mengajari Affiq apa arti kata ‘kompetensi’?  Sementara pemahaman saya sendiri pun tentang makna kata itu belum tentu tepat. Apa gurunya mampu mengajarkan pemahaman makna kata seperti  ini? Berapa banyak guru yang tahu makna kata ini? Lalu ada pengetahuan tentang puisi, cerita, legenda, fabel, termasuk unsur-unsurnya. Misalnya ‘rima’ (pengulangan bunyi) adalah salah satu unsur puisi. Nah, apa yang dimaksud dengan ‘pengulangan bunyi’ di sini, saya yakin tidak dijelaskan oleh gurunya. ‘Bunyi’ yang dikenal anak-anak seperti Affiq contohnya: bunyi klakson, bunyi motor, suara kucing, suara manusia. Pemahaman tentang ‘rima’ sangat abstrak bagi mereka. Berapa banyak guru sekarang yang bisa mentransfer pengetahuan ini ke murid-muridnya? Waktu kelas 2, Affiq dan teman-temannya diberi PR mencari puisi dari majalah yang bertemakan cinta kepada orangtua. Saat itu sudah pukul 21 lewat baru Affiq ingat. Papanya bergegas keluar rumah, memacu motornya ke kios majalah dan membelikan Affiq majalah Bobo. Alhamdulillah, tema puisi seperti itu ada di majalah itu. Affiq pun menyalinnya. Akan tetapi keesokan harinya, ibu guru memberinya nilai rendah, katanya yang Affiq setor itu bukan puisi tapi cerita dan kemudian saat papa menanyakan hal ini kepada ibu guru, ia tetap ngotot. Padahal halaman yang memuat puisi-puisi di mana puisi yang dikutip Affiq terdapat di majalah tersebut sudah dihamparkan di depan matanya. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala. Sangat nyata guru ini tidak belajar. Pada buku cetak Bahasa Indonesia yang dibagikan ke siswa, ada puisi yang bentuknya seperti cerita tetapi bukan cerita karena unsur-unsur yang membangunnya adalah unsur-unsur puisi, bukan unsur-unsur cerita.
2.      Bahasa Derah
Tentang mata pelajaran ini sebagian sudah saya ceritakan di atas. Waktu kelas 3 SD, mata pelajaran ini menjadi sangat sulit karena ada soal-soal yang mengharuskan anak-anak bisa menyusun kalimat yang terstruktur baku ke  dalam bahasa Makassar. Duh, bahasa Indonesia saja kadang-kadang masih belepotan ... Saya jadi bertanya-tanya, apa urgensinya mata pelajaran ini buat Affiq dan teman-temannya?
3.      Agama Islam dan GPQ (Gerakan Pembelajaran Al Qur’an).
Sebagai penganut Islam, saya sepakat kalau anak-anak wajib mendapatkan pelajaran ini. Kurikulum yang diterapkan sekarang menuntut anak-anak sudah mengetahui aksara Hijaiyyah sebelum masuk SD. Bukan hanya aksara Hijaiyyah saja, bahkan sudah harus bisa membaca tulisan bersambung. Kalau tidak, pasti kewalahan.
4.      Bahasa Inggris.
Wow ... kurikulum yang diperoleh Affiq sejak belajar mata pelajaran ini 2 tahun yang lalu, adalah apa yang harus saya pelajari di bangku SMP dulu. Sekarang anak-anak mulai belajar bahasa Inggris sejak di bangku SD , dahulu anak-anak seangkatan saya dan papanya mulai mempelajarinya di bangku SMP. Dahulu kami (anak-anak SMP) kewalahan dengan mata pelajaran ini karena bukan bahasa ‘ibu’ kami, terlebih lagi sebagian besar orangtua kami tidak fasih dengan bahasa ini. Sekarang, anak-anak SD sudah harus dicekoki dengan mata pelajaran ini. Anak-anak mulai belajar struktur berbahasa (grammar), misalnya sudah harus tahu perbedaan penulisan bentuk tunggal dan jamak, bagaimana menuliskan kata kerja untuk subyek orang pertama tunggal/jamak, orang kedua, dan orang ketiga tunggal/jamak. Syukurnya, Affiq punya minat pada bidang studi ini dan dia cepat menangkap pelajaran. Alhamdulillah-nya lagi, saya dan papanya cukup paham bahasa ini dan bisa menemani Affiq belajar

PKN, IPA, IPS, dan SBK (Seni Budaya dan Keterampilan)

Lagi-lagi WOW !!!
Ternyata banyak sekali yang harus dikuasai anak-anak SD sekarang!
Saya tak henti-hentinya geleng-geleng kepala jika menemani Affiq belajar PKN. Bagaimana tidak, begitu banyak pemahaman abstrak yang harus dihafal. Saat kelas 2 SD, ia harus menghafal sederet hak dan kewajiban, di sekolah, di rumah, dan di masyarakat, juga definisi tentang hak dan kewajiban. Saat kelas 3 SD, ia belajar tentang ‘harga diri’, apa definisi harga diri dan sederet hafalan mengenai harga diri. Mereka sudah harus memahami bahwa bukan hanya barang yang memiliki harga, diri pun memiliki harga. Meski sudah dijelaskan, tetap saja jika kemudian ditanyakan, Affiq masih bingung. Yang tidak disadari oleh kebanyakan guru adalah, bagaimana mentransfer pemahaman abstrak seperti ini menjadi nyata di benak anak-anak?  Biasanya anak-anak hanya disuruh menghafal saja. Apa gunanya mereka menghafal definisi tanpa bisa menghubungkan pada realitas mereka, apa makna dari definisi itu?
Materi PKN-nya semester yang baru lewat ini  sebenarnya bagus, karena siswa kelas 4 diharapkan mengenal lembaga-lembaga dalam susunan pemerintahan desa, kecamatan, kabupaten/kota, dan propinsi. Bagan struktur organisasi masing-masing tingkat pemerintahan juga digambarkan. Misalnya pada struktur organisasi desa, kepala desa setara dengan BPD, kepala desa membawahi sekretaris desa dan kepala-kepala dusun, dan sekretaris desa membawahi kepala-kepala urusan pemerintahan, pembangunan, keuangan, kesra, dan umum, demikianlah hingga struktur propinsi. Makin ke atas makin rumit. Pada kenyataannya, mereka bukan hanya diharapkan mengenak lembaga-lembaga tersebut tetapi juga menghafalkan tugas-tugasnya. Pada kenyataannya lagi, tidak semua tugas lembaga tersebut tercantum di buku cetak tetapi harus diketahui oleh siswa, bahkan diujikan dalam ulangan umum awal semester! Bagaimana pembuat soal mengharapkan siswa menjawab soalnya dengan benar?
Jika sekretaris desa membawahi 5 kepala urusan (seperti yang tersebut di atas), sekretaris lurah membawahi 5 kepala seksi ( pemerintahan, kesmas, perekonomian dan lingkungan hidup, sosial budaya, dan pelayanan umum), sekretaris camat membawahi 5 kepala seksi (dengan nama yang sama seperti yang dibawahi sekretaris lurah), sekretaris daerah di kabupaten/kota membawahi 3 asisten pemerintahan (pemerintahan, pembangunan, dan administrasi), dan sekretaris daerah di propinsi membawahi 4 pembantu gubernur (bidang pemerintahan dan OTDA, bidang hukum dan HAM, bidang organisasi, dan bidang umum) – yangmana tidak ada satu pun tugas dari bawahan para sekretaris ini dicantumkan di buku. Bagaimana diharapkan siswa menjawab dengan benar jika ada pertanyaan tentang tugas dari salah satu/beberapa lembaga-lembaga tersebut? Kalaupun ada tercantum, sungguh teganya jika otak anak-anak kita harus dibebankan dengan hal ini? Lalu, urgensi (pentingnya) soal ini apa selanjutnya?
 IPA, banyak materi yang dulu saya pelajari di bangku SMP, sekarang sudah harus Affiq ketahui. Misalnya semester lalu, ia mulai belajar rangka – fungsi, bagian, dan jenis-jenisnya, organ-organ panca indera – fungsi dan bagian-bagiannya, bagian-bagian tumbuhan beserta proses perkembangbiakannya, perkembangbiakan hewan, daur hidup hewan, gaya, dan lain-lain. Yang sangat menggemaskan saya, sehubungan dengan kampanye pendidikan gratis di awal pemerintahan kota yang baru, buku cetak ‘gratis’ yang dipinjamkan ke siswa datangnya bertahap, rata-rata 2 jenis buku setiap tahun. Jadi buku cetak IPA, baru ada di tangan Affiq semester lalu, saat ia baru naik kelas 4. Sebelumnya, 2 tahun berturut-turut tidak ada buku cetak pegangan untuk mata pelajaran IPA di sekolahnya. Guru-guru pun takut menyuruh siswa membeli buku karena takut dimutasi, takut dianggap komersial. Jadi pelajaran IPA dua tahun berturut-turut kemarin sangat seadanya. Nyata sekali tidak ada target kurikulum yang dikejar oleh guru pada saat itu.
IPS, materinya tak kalah banyak dengan IPA. Sederet hafalan harus saya ujikan kepada Affiq. Tentang peta, apa itu daratan,dataran tinggi, pantai, (juga jenis tanamannya dan mata pencarian penduduknya), laut, palung, selat, pahlawan proklamasi, pahlawan revolusi, pahlawan nasional, G30S/PKI, sejarah Jakarta, peninggalan sejarah, nama-nama danau/selat/tarian/lagu daerah/sungai/gunung di Indonesia, pemanfaatan sumber daya alam, koperasi (meliputi pengertian, tujuan, manfaat, macam-macamnya), dan lain-lain.
SBK. Awalnya hanya menggambar, lalu bermain pianika. Terakhir ini ditambah lagi, teori SBK. Materinya misalnya definisi seni murni dan seni terapan (apa ada gunanya anak-anak disuruh menghafalkan ini?). Yang bikin saya rasanya mau mengamuk adalah saat ulangan umum semester lalu. Saat itu jadwal ulangan yang tadinya mulai hari Senin-Sabtu, tiba-tiba dipangkas (harinya yang dipangkas), dari hari Senin – Kamis. Tanpa pemberitahuan, tiba-tiba hari Kamis anak-anak harus mengerjakan 5 macam ulangan dari 5 bidang studi, rata, dari kelas 1 hingga kelas 6. Kasihan sekali otak anak-anak dibebani dengan hal seperti ini, sungguh tega. Salah satu materi ulangan saat itu adalah ulangan tertulis SBK. Soalnya adalah, jenis-jenis suara laki-laki dan perempuan, dan materi-materi yang berhubungan dengan seni musik. Bagaimana bisa ia jawab kalau tidak belajar? (sudah begitu materi hafalannya banyak lagi, saya pun menyerah kali dikasih bahan sebanyak itu. Kalau belajar pun, bagaimana ia bisa menyelesaikan dengan baik 5 macam ulangan? Sudah begitu suatu hari ia pulang membawa kertas ulangan SBK ini dengan nilai ‘36’ tertera di bawah namanya, dan permintaan supaya saya menandatangani kertas ulangan itu, katanya permintaan dari guru seni musiknya . Grrrrrrrrrrrr .......

Soal Ulangan Umum Dibuat Oleh Guru Kelas Lain dan Diknas

            Salah satu kebijakan sekolah adalah, soal ulangan umum semester awal dibuat oleh salah satu guru kelas, apakah itu kelas A atau kelas B, atau kedua guru bekerja sama membuat soal. Saya cukup kelabakan karena ada beberapa bidang studi yang tidak sampai selesai diberikan materinya untuk semester baru-baru ini kepada kelas 4B (kelas Affiq), mereka ketinggalan beberapa bab. Sementara kelas A mungkin saja sudah selesai. Jadi saya harus mengejar ketinggalan ini, karena soal ulangan umum ‘tidak mau tahu’ apakah kelas B selesai materinya atau tidak. Masalah serupa kami alami pula tahun lalu dan 2 tahun yang lalu (karena soal ulangan umum ternyata tidak dibuat oleh guru kelas Affiq). Sewaktu kelas 1 sih aman-aman saja karena kelas A dan B dipegang oleh guru yang sama.
Baru-baru ini beberapa soal ulangan Affiq membuat saya geregetan. Betapa tidak, berulang kali saya menemaninya latihan soal-soal, ternyata ada soal yang sama sekali tidak ada di buku cetaknya. Ada soal IPA misalnya, yang menanyakan tentang nama penyakit mata yang pada mata penderitanya tertutup selaput putih. Kita yang sudah familiar dengan istilah ‘katarak’ mungkin bisa menjawabnya. Tapi bagaimana Affiq dan teman-teman sekelasnya bisa menjawab sementara tentang ini sama sekali tidak ada di buku cetaknya? Mengenai penyakit mata yang ada di buku cetaknya hanyalah miyopi, hipermetropi, dan presbiopi!
            Saya betul-betul kebat-kebit di saat-saat menjelang ulangan umum semester akhir karena sang pembuat soal dari Diknas pasti ‘tidak mau tahu’ apakah materi untuk semester ini sudah dilalap semua oleh Affiq dan teman-temannya atau belum. Saya tidak tahu pasti, mungkin ini peraturan Diknas kota, beberapa soal ulangan dari mata pelajaran tertentu dibuat oleh Diknas, untuk kelas 3, 4, 5, dan 6. Tahun lalu, setelah meneliti daftar isi dari buku-buku cetak Affiq, saya mendapati rata-rata materi semester akhir tidak selesai diberikan oleh guru. Di samping itu ada buku cetak yang belum dibagikan kepada anak-anak (IPA dan Matematika). Syukur alhamdulillah, papa Affiq adalah orang yang tanggap teknologi (karena memang bekerja di bidang teknologi informasi), papa men-download ‘buku elektronik’ kelas 4 dari internet dan menyimpannya di harddisk komputer kami sehingga Affiq bisa mempelajarinya. Namun bagaimana dengan kawan-kawannya? Orangtua yang melek teknologi saja belum tentu tahu ada yang namanya ‘buku elektronik’. Di samping itu berapa banyak sih orangtua murid yang memiliki komputer? Di kelas Affiq, mungkin hanya kami saja.
            Saya bingung. Soal-soal ulangan diusahakan seragam/standar (distandardisasi), tetapi mutu guru tidak seragam/standar, apalagi kemampuan anak-anak tentulah tidak standar (selain daya tangkap mereka berbeda, kemampuan orangtua memperhatikan sistem pendidikan ini juga berbeda). Bagaimana ini ?

Mempertanyakan Kompetensi Guru

            Terus terang, saya mempertanyakan kompetensi guru-guru sekarang. Saya akui, banyak guru yang bagus yang betul-betul mendidik dan mengajar dengan hati, punya ilmu untuk mendidik/mengajar, dan memahami psikologi perkembangan anak. Tetapi tidak kalah banyak guru yang patut dipertanyakan kompetensinya.
            Ada guru yang tidak memahami kurikulum. Kalau memahami, bagaimana mungkin pada beberapa bidang studi materi tidak habis diberikan untuk satu semester? Bagaimana mungkin guru kelas lain bisa memberikan soal ulangan yang sama sekali belum pernah dipelajari murid-murid kelas yang satunya?
Ada guru yang tidak menguasai materi. Saya pernah protes kepada wakil kepala sekolah bidang pendidikan di sekolah Affiq karena gurunya mengajari pemberian nama sudut sesuai dengan berapa jumlah sisi bangun datar yang bersangkutan. Misalnya untuk segitiga ada sudut ABC, BCA, untuk segi empat ada sudut ABCD, BCDA. Padahal dalam bukku cetak jelas-jelas dipaparkan tentang pemberian nama sudut, mau segitiga atau segi empat, yang dipakai tetap 3 huruf saja. Dan sepengetahuan saya memang 3 huruf, karena saya memiliki basic matematika yang alhamdulillah lumayan kuat. Affiq sedemikian ngototnya mengikuti kemauan gurunya. Saya hanya bisa geleng-geleng kepala lagi dan mengatakan, “Kalau segi delapan, bagaimana, apa delapan huruf juga nama sudutnya?”. Ada guru yang tidak tahu cara memberi nilai, misalnya kalau jumlah soal ada 20 nomor lalu yang salah 5, berapa nilai yang harus diberikan – ia tidak tahu. Ada juga yang suka salah-salah periksa dan kalau murid mengkonfrontir kenapa ia disalahkan, sang guru malah berbalik marah.
Ada guru yang tidak mengontrol kata-katanya dengan mengatakan muridnya ‘bodoh’, ada yang menghukum dengan mencubit, dan menampar. Ada guru yang suka sekali menyuruh anak-anak menyalin kembali ‘peta konsep’ (peta konsep itu menggambarkan tentang apa yang harus dipelajari dalam sutu bab), atau menyalin teori dari buku cetak padahal buku cetaknya dipegang sendiri oleh anak-anak (tujuannya apa?).  Ada pula guru yang memberikan tugas yang – wallahu a’lam – tidak tahu apa urgensinya untuk anak-anak, seringkali tugas itu sudah pasti tidak bisa dikerjakan sendiri oleh murid. Pernah suatu malam, saya dan papa Affiq begadang sampai jam 3 dini hari untuk membuatkan Affiq prakarya. Kami saja, sudah berdua, orang dewasa, masih harus begadang, tentu saja anak-anak tidak bisa mengerjakannya seorang diri. Katanya sih, supaya orangtua peduli dan membantu anaknya. Apa iya, dengan cara itu?
Sayang, banyak guru tidak sadar kalau mereka harus terus ‘belajar’ (atas kesadaran sendiri), belajar dalam hal meningkatkan ilmu/pengetahuan yang mereka memiliki, baik itu ilmu/pengetahuan mengenai penguasaan materi ajar, cara menyampaikan bahan ajar, pengetahuan tentang bagaimana menghadapi/menangani anak didik (psikologi perkembangan anak usia yang sedang mereka tangani, ya ... keadaan psikologi anak TK tentu berbeda dengan anak kelas 1 SD, tentu pula berbeda dengan anak kelas 6 SD!), maupun perkembangan dunia pendidikan nasional dan internasional. Guru bukan pegawai belakang meja yang sehari-harinya berhadapan dengan dokumen, komputer dan kertas-kertas. Guru adalah sosok mulia yang pekerjaannya membentuk generasi penerus bangsa ini, yang karenanya intelektual, emosional, dan spiritual seorang anak bisa terpengaruh sehingga seterusnya bisa mempengaruhi pola pikir dan karakter sang anak yang kelak akan dibawanya bermasyarakat. Kalau tukang sapu sekolah, asal tahu cara menyapu yang baik dan benar, sampai mati ia menjadi tukang sapu sekolah cara ia bekerja tidak perlu berubah. Tetapi kalau guru ? Alangkah sayangnya jika ilmu yang ia miliki sejak mulai menjadi guru hingga ia mati begitu-begitu saja.
Sebagian masyarakat negeri ini tentu tahu dengan karya fenomenal ‘Laskar Pelangi’. Novel dan film dengan judul tersebut laris manis di pasaran, karena diangkat dari kisah nyata yang sarat dengan makna hidup yang dalam dari penulisnya, Andrea Hirata. Sosok ibu Muslimah, guru SD-nya sedemikian melekat erat di benak dan hatinya sehingga mampu berperan mendorong seorang anak sederhana dari kampung Melayu Belitong, dari pulau kecil Belitung sana mengarungi persaingan keras di metropolitan Jakarta bahkan hingga ke Paris hingga akhirnya dengan bekal ilmu ekonomi telekomunikasi yang dimilikinya ia menjadi pegawai perusahaan telekomunikasi nasional lalu kemudian menghasilkan 4 judul novel (tetralogi) yang kesemuanya best seller, lalu difilmkan (filmnya juga laku keras), novelnya bahkan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris, dan setelah itu ia menulis novel lain. Bukan hanya itu, banyak orang yang terinspirasi dari kisah Laskar Pelangi sehingga kehidupannya kemudian menjadi lebih baik. Para guru, sudahkah anda membaca kisah ini ? Atau menonton filmnya ? Sayang sekali lho kalau belum ..... !

Bisakah Mencerdaskan?

            Dengan gambaran seperti di atas. Saya tidak berhentinya bertanya, secerdas apakah yang diharapkan sistem pendidikan kita bagi anak-anak? Dan apakah sistem pendidikan yang sekarang ini dengan mutu guru-gurunya yang sangat beragam, bisa mencerdaskan?

Bagaimana Cara Orangtua Membantu?

            Dengan 3 anak dan tanpa pembantu, saya cukup kewalahan mengejar ketertinggalan Affiq dalam mengejar laju kurikulum pelajarannya. Beruntung saya tidak perlu bekerja di luar rumah karena ada suami yang bertanggung jawab terhadap nafkah. Bentuk dari sistem pendidikan ini mengharuskan orangtua mampu mengawal anak-anak mereka belajar, termasuk memberi pemahaman tentang segala macam teori yang tidak sempat diberikan oleh guru di sekolah. Setiap hari anak-anak dituntut untuk mengerjakan sekian soal, kemudian memperoleh nilai untuk disimpan sebagai bekal rapornya. Setiap hari guru mengejar laju kurikulum dengan latihan soal-soal dan belum tentu bisa/mampu memahamkan siswa tentang semua makna dari segala teori yang harus mereka serap dan hafalkan.
            Alhamdulillah saya bisa menemani Affiq belajar untuk sebagian besar mata pelajarannya (kecuali bahasa daerah), karena saya (juga papanya) memiliki basic ilmu yang – alhamdulillah – lumayan kuat sejak SD hingga S1. Tetapi bagaimana dengan orangtua murid yang lemah basic ilmunya?  Salah seorang kerabat yang tamatan SMP, sudah mulai menyerah untuk memahamkan anaknya bidang studi bahasa Inggris dan matematika, kalau sekedar hafalan ia masih sanggup – begitu pengakuannya. Bagaimana pula dengan rekan-rekan kita, masyarakat ‘marjinal’ yang sehari-harinya ayah dan ibu sibuk dengan urusan perut? Bukan bermaksud sombong – saya saja yang ibu rumah tangga, pendidikan S1 -  kewalahan, bagaimana dengan mereka? Contoh kecil, mbak Mar – tetangga saya yang tinggal di petak kontrakannya kira-kira ukuran 3 x 5 meter persegi. Di petak itu ia tinggal dengan suaminya yang bekerja sebagai buruh serabutan, dua orang anak laki-laki (yang satu sudah berkeluarga, yang satu lagi masih duduk di bangku kelas satu SD), seorang menantu, dan seorang cucu yang masih bayi. Mbak Mar sendiri, sehari-harinya berjualan pisang goreng, nasi kuning beserta lauknya, songkolo, lauk rumahan (ikan goreng, tempe/tahu goreng, sayur masak, dan telur asin). Sejak sebelum ayam berkokok ia sudah sibuk memasak dan mempersiapkan jualannya. Baginya sudah terpenuhi tanggung jawabnya menyekolahkan anak setelah ia daftarkan anaknya dan memenuhi segala keperluan sekolahnya. Tidaklah masuk dalam agendanya untuk meneliti apa tuntutan kurikulum dan bagaimana memahamkan anaknya hal-hal yang tidak sanggup sang anak pahami berkaitan dengan mata pelajaran di sekolahnya. Saya pernah mendengar dengan telinga saya sendiri mbak Mar mengatai anaknya ‘bodoh’ karena menurutnya anaknya itu tidak mau belajar. Baginya, seorang anak seharusnya sudah tahu dengan sendirinya bahwa ia harus belajar supaya tidak bodoh. Di sekitar rumah saya masih banyak mbak Mar – mbak Mar lainnya, yang jika sudah merasa tanggung jawab menyekolahkan sudah ia penuhi maka kata ‘bodoh’ dengan gampangnya keluar dari mulutnya, mengatai ‘kemalasan’ sang anak.
            Sistem pendidikan sekarang menuntut anak-anak semakin cerdas (secara intelektual lho ya ... secara otak kiri, yang sebenarnya hanya sebagian kecil saja dari aspek kecerdasan), tetapi juga menuntut orangtuanya semakin cerdas (karena dengan sistem seperti ini, tidak bisa hanya mengharap guru untuk mencerdaskan anak-anak kita, orangtua juga harus turun tangan karena anak-anak SD sekarang tidak mungkin belajar sendiri untuk menampung semua tuntutan kurikulum). Kalau bagi mereka yang berduit gampang, tinggal mengikutkan anak-anak mereka les di luar jam sekolah, tinggal pilih guru. Guru privat banyak. Tetapi bagi mereka yang tidak mampu? Apalagi sudah tidak mampu tidak tahu pula?
            Sekolah ... oh ... sekolah ... apakah benar anak-anak yang ‘melalui’-mu akan semakin cerdas atau malah tidak? Sudah begitu biaya pendidikan tinggi juga semakin tinggi pula ...  Indonesia ... oh .. Indonesia ... di tengah harga-harga barang yang terus meroket ini, hanya berapa banyak nanti putra bangsamu yang bisa mengenyam pendidikan tinggi?

Makassar, 18 – 21 Januari 2011

No comments:

Post a Comment