Pak Haryadi tengah memimpin rapat |
Sore itu pak Haryadi, pendiri, pengelola, sekaligus guru TPA Babul Jannah mengundang rapat para orangtua/wali santri pra sekolah TPA Babul Jannah. Meski sekolahnya sangat sederhana, undangannya sangat elegan, diketik rapi dengan komputer dan di-print lalu diberikan kepada setiap anak yang hadir 2 hari sebelumnya. Namun hanya 7 orang yang hadir. Bahkan tetangga terdekat beliau yang anaknya juga sekolah di situ yang rumahnya berjarak kurang dari 10 meter, tidak hadir. Awalnya berdirinya sekolah ini ditanggapi dengan antusias hingga ada 30 anak yang terdaftar di sini. Namun seiring waktu, makin lama jumlahnya menyusut hingga tinggal 10, bahkan pernah 4 anak saja yang datang. Beginilah lingkungan tempat tinggal saya, Rappocini Raya lorong 3 dan sekitarnya: sudah ada volunteer yang mengbdikan hidupnya di bidang pendidikan anak-anak sekitar, tidak pernah meminta imbalan pula, tidak ditanggapi dengan antusias. Sementara jika misalnya diharuskan ke sekolah yang berbayar, bakalan mengomel.
Apa karena di pikiran mereka terlalu sibuk dengan bagaimana mencari nafkah sehari-hari? Atau memang pikiran mereka yang ‘kurang panjang’? Kalau terlalu sibuk dijadikan alasan, rasanya terlalu dicari-cari lha ini kan bukan sekolah berbayar. Anak-anak hanya dibiasakan mendermakan uang Rp. 1.000 – Rp. 2.000, atau seikhlasnya ke celengan sekolah. Itu pun bukan untuk pak Haryadi, untuk kebutuhan pendidikan mereka juga, untuk dibelikan berbagai bahan pendukung kegiatan belajar anak pra sekolah yang harganya tidak lagi murah. Lagi pula, uang celengan anak-anak itu yang terkumpul tidak banyak. Kalau tak ada sumbangan yang masuk, pak Haryadi rela merogoh koceknya sendiri, menambahi uang celengan yang terkumpul itu demi menyenangkan anak-anak di sekolah itu. Rupanya di mana-mana ada tanggapan yang sama terhadap pendidikan murah yaitu kurang dihargai. Karena betul–betul nothing to loose. Mau datang atau tidak sama saja, sama-sama tak ada ruginya. Padahal sebenarnya menurut saya, pendidikan yang diusahakan oleh orang yang berdedikasi tinggi terhadap pencerdasan generasi penerus bangsa sekaligus berjiwa ‘lillahi ta’ala’ justru memiliki nilai lebih karena pengelolanya pasti akan berusaha sekuat tenaga memberikan yang terbaik untuk anak-anak didiknya.
Saya lebih cenderung mengatakan ‘pikiran mereka kurang panjang’. Mereka tidak mengerti visi dan misi pendidikan anak usia dini. Padahal tuntutan kurikulum sekarang .. ya ampun, seandainya bisa menjerit ala Tarzan, ingin saya menjerit seperti itu untuk mengekspresikan beban pikiran dan perasaan saya melihat beban kurikulum anak SD sekarang. Beban kurikulum itu menuntut, mau tidak mau, suka tidak suka, anak-anak sudah harus bisa membaca tulisan berbahasa Indonesia sebelum masuk SD, sudah harus tahu huruf Hijaiyyah dan bisa membacanya, dan sudah mulai mengenal bahasa Inggris. Karena jika tidak, terlambat. Mereka tidak akan bisa mengejar laju percepatan tuntutan kurikulum. Guru-guru kelas 1 SD sekarang tidak bisa secara khusus mengajar anak-anak muridnya satu demi satu untuk mengenal huruf karena tuntutan beban kurikulum itu tadi. Mereka juga punya banyak hal/urusan yang harus mereka kejar. sehingga anak-anak yang tidak punya bekal apa-apa saat masuk SD nanti, akan jauh ketinggalan dari apa yang seharusnya mereka sudah capai. Ini mungkin tidak begitu kelihatan di sekolah-sekolah di dalam-dalam lorong di Rappocini ini atau di daerah pinggiran lain di kota ini (anak-anak yang masuk SD berbekal seadanya atau malah tidak ada), karena rata-rata orangtua mereka punya pola pikir yang sama, pola ‘pikir kurang panjang’. Maka kesenjangan mutu pendidikan strata sosial bawah dan atas akan selalu ada.
Makassar, 25 Juli 2011
Artikel lain yang terkait:
No comments:
Post a Comment