Jika memutar mundur ingatanku. Rasanya aku masih ingat, mengapa bisa jatuh cinta kepada laki-laki yang kini jadi suamiku ini. Tetapi sebelumnya, kuceritakan terlebih dulu sekilas tentang diriku.
Jika kawan-kawanku mulai pacaran di usia SMP, tidak denganku. Saat itu aku sudah berprinsip pacaran hanya satu kali dan inginnya naik ke jenjang pernikahan lalu langgeng selamanya. Tidak mungkinlah bagiku pacaran di usia SMP karena bayangan menikah masihlah terlalu jauh. Begitu pun saat usia SMA. Aku ikut-ikutan seru saja bersama sahabat-sahabat centilku jika mereka punya gebetan, tetapi aku sendiri tak pernah punya gebetan. Teman-teman yang menyatakan rasa sukanya pun mundur teratur karena langsung kutolak. Alasan waktu itu simpel saja, tak ada satu pun dari mereka yang mengena di hatiku. Kalau ada, mungkin prinsip yang tadinya tertanam sejak SMP bisalah kugeser sedikit J.
Masuk kuliah, masih di tahun pertama aku sempat terpesona oleh kebaikan seorang senior berpembawaan tenang yang sefakultas (tapi beda jurusan) yang menjadi asisten di salah satu laboratorium yang harus kumasuki. Semua temanku juga mengatakan ia baik. Ia menunjukkan perhatiannya padaku. Dan saat ia menyatakan kepadaku perasaannya, tanpa pikir panjang langsung ku”iya”-kan. Namun seminggu setelahnya, ia langsung kuputuskan dengan alasan yang simpel: aku ternyata tak menyimpan sedikit pun rasa suka sebagai lawan jenis di hatiku kepadanya. Penolakan itu kusampaikan lewat surat melalui temannya. Merasa bersalah sekali aku padanya. Tetapi itulah yang terbaik karena akan dibawa ke mana hubungan yang pincang? Setelah kutanya baik-baik hatiku, aku hanya sebatas kagum saja pada kebaikannya, tidak lebih. Rasa euforia menjadi mahasiswi yang sudah bukan ABG lagi sajalah yang membuatku menerimanya karena waktu itu aku membolehkan diriku untuk mempunyai hubungan khusus karena merasa sudah ‘cukup dewasa’.
Setelah itu, pemuda-pemuda yang menyatakan rasanya kutolak. Simpel juga alasannya, karena aku tak pernah punya rasa khusus kepada lawan jenis. Apalagi tak kulihat sosok dewasa dari pemuda-pemuda itu. Hingga akhirnya aku memutuskan berjilbab di tahun ketiga kuliahku, aku semakin hati-hati lagi dalam bergaul. Jilbabku pun bisa menjadi semacam filter dan tanda, agar tak sembarang lelaki yang mendekatiku.
Aku memang tak pernah menyimpan rasa suka kepada pemuda mana pun hingga tiba-tiba aku merasakannya. Ya, pesona kedewasaan dan kecerdasan seorang kakak tingkatkulah yang membuatku jatuh cinta. Rasa yang harus kusimpan rapat-rapat. Tak mungkin diumbar tetapi tak mungkin juga dihilangkan. Saat itu aku hanya berdo’a saja agar diberikan yang terbaik oleh Allah SWT.
Ternyata tak gampang dihinggapi rasa itu. Serba salah. Sering kali ingin kuhilangkan tapi tak tahu bagaimana caranya. Aku hanya mencoba berpikir bagaimana kalau ia tak punya rasa yang sama denganku, mungkin dengan berandai-andai bisa kutepis rasa itu. Di kampus aku harus sering bertemu dengannya. Ia kelihatan biasa-biasa saja padaku, tetap seperti semula. Di setiap kesempatan interaksi aku mencoba bersikap sewajarnya, mencoba menghalau rasa itu sambil tetap belajar kepadanya (saat itu ia suka membagi pengetahuannya dalam diskusi ringan atau dalam pelatihan di himpunan jurusan kami).
Anehnya, saat itu aku suka sekali melihat pemuda yang menjaga shalatnya, yang suka memakai sarung, dan pemuda yang menggendong anak kecil. Suatu kebetulan, aku melihat itu semua padanya. Aku sering melihatnya shalat di mushalla himpunan jurusan kami, aku beberapa kali melihatnya mengenakan sarung, dan aku pernah melihatnya menggendong keponakan batita salah seorang teman kami, tambahan lagi: ia suka berpuasa seperti puasanya nabi Dawud dan ia menghindari bersalaman dengan wanita. Aduh, rasanya makin bertambah besar rasa itu.
Hingga suatu ketika ia mengajak bicara empat mata. Berdebar-debar jantungku menunggu apa yang hendak dikatakannya. Aku tak mengharap mendengar pernyataan sukanya padaku. Tapi kenyataannya itulah yang disampaikannya, bahwa ia tak bisa lagi menganggapku teman biasa karena ada rasa yang khusus di dirinya terhadapku. Apa yang kulakukan? Aku langsung mengatakan aku pun demikian, karena begitulah sesungguhnya perasaanku saat itu!
Berbunga-bunga, itulah yang kurasakan. Tetapi selanjutnya kami berdua sama-sama bingung karena sebenarnya kami tak ingin berpacaran seperti layaknya pemuda-pemudi zaman sekarang. Tetapi menikah pun tak mungkin kami laksanakan karena kami berdua sama-sama anak sulung. Orangtua kami pasti murka, belum selesai kuliah sudah minta menikah. Akhirnya kami menjalani saja apa adanya. Sesekali kami bertemu di kampus, setiap minggu ia bertandang ke rumah. Kami membicarakan apa saja, tentang pelatihan kampus, tentang buku-buku, tentang sekeliling kami, bukan tentang hubungan kami. Kami tak bersayang-sayangan seperti muda-mudi lain, kami tak berpegangan tangan sama sekali. Kami tak nonton film, juga tidak ke tempat-tempat romantis. Jika ada yang bertanya perihal hubungan kami dengan pertanyaan, “Apakah Kalian pacaran?” Aku menjawabnya, “Tidak,” karena bagi kami hubungan kami bukanlah pacaran. Seandainya yang ditanyakan adalah, “Apakah kalian saling mencintai?” Aku bakal menjawabnya, “Iya.”
Aku suka bersama dengannya. Tapi jujur, aku merasa bersalah. Aku masih merasa bersalah dengan perasaanku. Aku masih merasa serba salah. Lalu tibalah saat ia lulus kuliah, dan aku menyusul, lulus beberapa bulan kemudian. Setelah itu ia diterima di sebuah perusahaan asing di pulau lain, sementara aku tetap di kota ini. Sewaktu ia harus bekerja di pulau lain, beban rasa bersalahku agak berkurang. Aku masih menyimpan rasa yang sama padanya tapi jarak tak memungkinkan kami bertemu. Tak masalah bagiku, daripada aku didera rasa bersalah terus-menerus. Beberapa teman heran melihatku tak bermasalah dengan jarak karena banyak pasangan yang putus hanya karena masalah jarak. Bagiku benar-benar tak masalah, kalau pun ia diambil orang di rantau sana, sungguh tak masalah bagiku, meski akan sakit hatiku tapi aku yakin jodoh Allah yang atur. Kalau ia ‘hilang’ berarti ia bukan yang terbaik untukku.
Hanya surat dan telepon yang menjadi penghubung kami saat itu hingga setahun lebih lamanya. Sampai suatu hari ia mengatakan hendak melamarku. Alhamdulillah, di penghujung tahun saat pulang cuti, ia menyampaikan kepada kedua orangtuaku niatnya menikahiku. Waktu pernikahan pun ditentukan, 4 bulan berikutnya.
Hari berganti hari, bulan berganti bulan hingga berbilang tahun. Tak terasa kini dua belas tahun sudah kuarungi rumah tanggaku bersamanya. Cukup banyak pasang-surut yang kami lalui. Terasa ada ikatan emosi yang menghubungkan kami. Misalnya saja – boleh percaya, boleh tidak, ia mengalami mual-mual saat aku hamil ketiga anak kami. Ia pun merasa nyeri seperti nyeri yang kurasakan saat haid. Perasaanku padanya makin bertambah. Syukur pada Allah, aku tak salah pilih. Hanya sekali seumur hidupku aku menyukai laki-laki – yaitu dirinya, dan memang ia yang ditunjuk Allah untuk menemaniku mengarungi luasnya samudera kehidupan. Kelebihannya melengkapi kekuranganku, dan tentu saja kekurangannya melengkapi kelebihanku. Ia seorang family man yang menyayangi anak-anak dan mampu menjadi ayah yang baik bagi anak-anak kami. Ia mampu mendampingiku melalui badai hebat yang pernah mencoba menghempaskan bahtera kami. Ini membuatku harus merasa mampu mendampinginya melalui ujian/cobaan apapun.
Pada bilangan ke-11 tahun pernikahan kami, aku membuat tulisan yang di dalamnya ada kalimat, “ ... Lalu, di bilangan sebelas tahun pernikahan kita suamiku, seberapa besar ikatan hati itu? Mmm, semoga semakin besar bagimu ya ? Karena bagiku, setelah menemukan sebagian diriku padamu, bidadari surga yang dijanjikan Allah untuk orang-orang beriman pun telah membuatku cemburu. Jangan sampai ia rebut tempatku di akhirat sana jikalau Allah mengizinkan kita mendapat tempat yang indah di sisi-NYA. Jangan sampai ia rebut tempatku, di akhirat pun aku bakal cemburu! Eh, tapi pernyataanku ini jangan membuatmu besar kepala ya? Sebaliknya, jangan sampai tempatmu di akhirat digantikan oleh makhluk suci-NYA …. (Maka, tolong jadilah imam yang hebat untukku ya?) ... “
Itulah aku. Aku tak bercanda mengatakan kecemburuanku pada bidadari surga. Aku beneran cemburu. Sampai-sampai saat membaca buku tentang akhirat, waktu masuk sub bab tentang Bidadari Surga, langsung deh di-skip. Untungnya dalam Islam, “Istri shalihah adalah penghulu para bidadari surga, lebih baik daripada bidadari” ... ini menghibur hatiku. Begitulah harapanku, tetap bersamanya sampai di akhirat nanti. Ridhailah ya Allah.
Makassar, 11 Juli 2011
No comments:
Post a Comment