Dr. Hunter "Patch" Adams Sumber foto: www.electronicintifada.net |
Film drama komedi produksi tahun 1998 ini berdasarkan kisah nyata tentang Dr. Hunter "Patch" Adams" yang terkenal dengan metode penyembuhannya yang tidak lazim dan melawan pakem tradisional kedokteran. Kisahnya dimulai dengan Hunter Adams (Robin Williams) yang depresi lantaran ditinggal pacarnya namun secara sukarela masuk ke rumah sakit jiwa lantaran ingin sembuh.
Ketika berada dalam perawatan di rumah sakit, Hunter mulai menemukan jalan hidupnya. Di sana ia menikmati bisa menolong pasien lain lantaran melihat dokter dan staf bersikap kaku pada para pasien. Ia menolong para pasien dengan humor dan tawa. Sejak itu Hunter yang kemudian lebih dikenal dengan julukan Patch bertekad menjadi dokter agar bisa membantu banyak orang.
Namun di sekolah kedokteran, Patch melihat metode pengobatan yang diajarkan sangat kaku karena hanya melihat sisi badaniah dan mengabaikan sisi rohaniah. Patch menganggap pengobatan harusnya mencakup dua sisi tersebut serta melihat humor adalah obat terbaik untuk kesehatan. Metode yang digunakannya sangat ditentang para dokter dan profesor sekolah kedokteran yang tidak suka metode mereka dipertanyakan.
Tetap saja Patch maju terus, tidak peduli kecaman atau gugatan dari kolega di dunia medis. Setelah lulus kedokteran, Patch kemudian mendirikan klinik sendiri yang bernama Gesundheit Clinic agar lebih leluasa menggunakan metodenya dan juga ingin membantu banyak pasien miskin yang tidak terjangkau sistem kesehatan Amerika yang mahal dan elitis. Namun lantaran Patch berpraktek tanpa izin praktek, ia lalu diajukan ke dewan kehormatan kedokteran, Medical Review Board.
Ini adalah sinopsis dari film Patch Adams yang diproduksi tahun 1998[i].
Patch Adams adalah seseorang yang nyata, ia adalah seorang dokter dan juga “badut” (ia suka berpakaian seperti badut) yang terlahir dengan nama Hunter Doherty Adams pada tahun 1945, anak kedua dari seorang ibu yang bekerja sebagai guru dan seorang ayah – mayor pada US army, ia adalah seorang aktivis sosial yang percaya bahwa gelak tawa, keceriaan, dan kreativitas adalah bagian yang tak terpisahkan dari proses penyembuhan seseorang[ii].
Robin William dalam film Patch Adams sebagai Dr. Patch Adams |
Saya ingat dua tahun yang lalu pernah menjenguk seorang tante yang terkena penyakit diabetes sehingga kakinya luka dan mulai membusuk. Ia dirawat inap di sebuah rumah sakit selama beberapa hari hingga akhirnya dokter memutuskan untuk mengamputasi kakinya tetapi ia tidak bersedia. Suatu hari saat sang tante hanya dijaga seorang ‘asisten pribadi’-nya, saya menjenguknya. Dokter ahli yang menangani menyuruh menyampaikan melalui asisten (dokter)-nya rencana itu kepada saya. Tak lama kemudian dokter yang bersangkutan muncul. Ia memberi tahu hal itu seolah itu adalah vonis yang tak boleh ditawar. Saya yang mendengar hal ini merasa ada jalan buntu di depan, satu-satunya jalan agar jalan itu terbuka hanyalah ‘amputasi’. Tante saya berkeras tak mau diamputasi. Ia menolak. Sang dokter tersinggung, seolah merasa diremehkan kredibilitasnya. Sikap arogannya sungguh tak enak bukan hanya di mata, juga di hati. Kini tante saya baik-baik saja, lukanya telah tertutup dan sembuh. Meski ia tak sekuat dulu karena tertatih-tatih jika berjalan, Allah menunjukkan kuasa-Nya kalau ia bisa tak diamputasi. Pengobatan herbal membantu perkembangannya hingga kini. Untung saja saat itu tante saya itu segera keluar dari rumah sakit, jika tidak ia mungkin akan sangat tertekan di sana dan penyakitnya bisa semakin gawat.
Sejalan dengan Dr. Patch Adams, Dr. Rita Charon, seorang guru besar fakultas Kedokteran di Universitas Columbia, berupaya menempatkan ‘cerita’ pada inti diagnosa penyembuhan. Ia meluncurkan satu gerakan medis naratif dalam sebuah artikelnya berjudul Narrative Medicine: A Model for Empathy, Reflection, Profession, and Trust” pada tahun 2001 dalam Journal of The American Medical Association yang menyerukan suatu pendekatan yang utuh terhadap perawatan medis:
Kedokteran yang mampu secara ilmiah itu sendiri tidak dapat membantu seorang pasien untuk menghadapi penyakitnya atau menemukan makna dalam penderitaannya. Bersama dengan kemampuan ilmiah, para dokter memerlukan suatu kemampuan untuk mendengar cerita-cerita dari pasien, memahami dan menghormati makna-maknanya, dan tergerak untuk bertindak atas nama pasiennya.
Mempelajari cerita pasien membantu seorang dokter untuk berhubungan lebih baik kepada pasien dan menilai kondisi pasien saat itu dalam konteks cerita kehidupan yang utuh dari orang itu. “Menjadi seorang dokter yang baik, membutuhkan kompetensi naratif: kompetensi yang digunakan manusia untuk menyerap, menafsirkan, dan merespon cerita-cerita,” demikian kata Charon.
Pada tahun 1990-an, kira-kira sepertiga dari fakultas-fakultas Kedokteran di Amerika menawarkan kuliah humaniora. Saat ini tiga per empat menawarkannya. Bellevue, rumah sakit umum legendaris di New York City, menerbitkan jurnalnya sendiri – Bellevue Literary Review. Bahkan jurnal-jurnal sastra pun telah muncul di fakultas-fakultas Kedokteran di Columbia, Universitas Negara Penn, dan Universitas Mexico). Editor kepala jurnal Bellevue, Dr. Danielle Ofri, yang mengajar mahasiswa-mahasiswa kedokteran, mengharuskan bawahannya yang masih muda untuk menuliskan setidaknya salah satu dari sejarah para pasiennya sebagai sebuah cerita – untuk menceritakan kisah pasien dari sudut pandang pasien itu sendiri agar mereka memiliki keterampilan yang lebih baik dalam berhubungan dengan pasien mereka.
Tentu saja kompetensi naratif tidak dapat menggantikan keahlian teknis. Namun pendekatan Charon dapat membantu para dokter untuk mengilhami kerja mereka dengan empati yang lebih dalam. Mahasiswa Charon menyimpan dua lembar kertas informasi berkenaan dengan masing-masing pasien. Di satu kertas mereka memasukkan informasi kuantitatif dan bahasa medis dari catatan laporan rumah sakit. Selain itu para mahasiswa mencatat cerita-cerita tentang pasien mereka dan mendeskripsikan emosi-emosi mereka. Menurut penelitian pertama untuk menguji metode ini, para mahasiswa yang menyimpankertas laporan ‘paralel’ itu mempunyai hubungan yang lebih baik dengan para pasiennya dan keterampilan mewawancara dengan teknis yang lebih baik, ketimbang teman-temannya yang tidak melakukannya. Cerita-cerita itu sendiri tidak akan menyembuhkan orang sakit. Namun dikombinasikan dengan teknologi modern, mempunyai kekuatan penyembuhan yang tidak dapat dibantah. Ini mungkin menjadi masa depan kedokteran: para dokter yang dapat berpikir secara tepat dan merasakan secara empati, para dokter yang dapat menganalisa sebuah tes dan menghargai sebuah cerita – para dokter dengan satu pikiran baru yang utuh[iii].
Betapa bahagianya dunia ini jika para dokternya mau berlapang hati mengembangkan dan menebarkan empati kepada sekitarnya ...
Makassar, 27 Juli 2011
[i] http://www.indosiar.com/sinopsis/3003/patch-adams
[iii] Daniel H. Pink, “Misteri Otak Kanan Manusia”, penerbit THINK Jogjakarta, Januari 2009 (cetakan ke-13). Judul asli: A Whole New Mind. Daniel H. Pink dapat dikunjungi di dunia maya di: www.danpink.com.
No comments:
Post a Comment