Rapat orangtua murid santri-santri mungil TPA Babul Jannah barusan membahas tentang rencana bergabungnya pra sekolah dengan Departemen Pendidikan Nasional. Kira-kira 4 bulan yang lalu saya mendengar dari almarhumah ibu Najmiah (istri pak Haryadi) tentang ini. Waktu itu beliau mengatakan sedang mempersiapkan proposal untuk dimasukkan ke Departemen Pendidikan Nasional. Hal ini masih ditindaklanjuti hingga sekarang.
Persyaratan yang diajukan dari Departemen Pendidikan Nasional adalah, hal-hal administratif yang harus dipenuhi oleh sekolah yang bersangkutan. Seperti: adanya paket pendidikan (seperti peralatan belajar siswa) dan uang pangkal. Pak Haryadi harus menyampaikan kepada para orangtua tentang sejumlah rupiah yang harus dibayar untuk itu. Jika ingin masuk di bawah naungan departemen ini, mau tidak mau persyaratan administrasi itu harus ada. Untuk TPA Babul Jannah, biaya itu ditetapkan totalnya sebesar Rp. 150.000, selama bersekolah. Tidak ada biaya bulanan. Hanya tetap ada celengan harian, di mana anak-anak kecil ini diajar untuk bersedekah setiap harinya. Hal ini penting sekali supaya Babul Jannah bisa mengeluarkan ijazah TK bagi santrinya yang sudah siap masuk SD dan bisa menerima bantuan dari Diknas.
Biaya masuk TK sekarang jauh di atas itu. Sudah termasuk murah jika sekolah mematok uang pangkal sebesar Rp. 750.000. Setelah itu pasti ada biaya bulanannya. Selama ini, biaya penyelenggaraan pendidikan diusahakan sendiri dari kocek pak Haryadi, atau dari sumbangan dermawan (kalau ada), dan dari uang celengan anak-anak yang terkumpul. Segala macam alat bantu pendidikan diusahakan oleh beliau. Mulai dari perosotan, ayunan, jungkat-jungkit, puzzle, DVD player, televisi, peralatan menggambar, peralatan mengenal huruf, dan lain-lain.
Untuk menggugah anak-anak supaya mau tampil baca do’a atau bernyanyi, mereka dibebaskan menggunakan mikrofon. Setiap hari sekolah mereka bisa nonton lagu-lagu anak-anak melalui DVD player yang terhubung ke televisi yang ada di situ. Di sekolah-sekolah yang jauh lebih mahal itu, belum tentu ada yang seperti ini. Biasanya mikrofon atau DVD player/televisi sekedar menjadi pajangan saja bahwa sekolah memiliki alat bantu itu. Hanya pada saat-saat tertentu saja digunakan. Belum tentu anak-anak bebas menggunakannya, apalagi digunakan setiap hari.
Sekarang pak Haryadi mengumpulkan buku cerita untuk taman bacaan di TPA itu. Untuk semua santrinya yang mau membaca, santri usia SD yang belajar mengaji juga santri pra sekolah ini. Untuk yang belajar mengaji, pak Haryadi hanya menetapkan biaya bulanan paling besar Rp. 20.000 per bulan. Bisa Rp. 15.000 atau Rp. 10.000. Malah jika tidak mampu, tidak membayar pun tak masalah baginya asal anak-anak itu rajin mengaji dan orangtua mendorong anak-anaknya belajar mengaji. Menurut beliau, masih banyak orangtua yang kurang kesadarannya dalam mendorong anak-anaknya untuk belajar mengaji dengan serius, maupun untuk mengikuti kegiatan belajar pra sekolah. Ini diindikasikan dengan semakin menurunnya jumlah santri yang mengikuti kegiatan belajar-mengajar. Pernah kejadian, seorang santri mungil yang rumahnya amat dekat dengan rumah beliau tidak ikut belajar, anak itu malah memanggil-manggil pak ustadz tersebut dari jendela. Saat ditanya mengapa ia tidak ikut belajar, ia mengatakan dirinya sakit padahal setelah itu ia berlari-larian di sekitar situ. Bukankah ini tanda, orangtua anak itu tidak punya keinginan serius bagi kemajuan anaknya?
Sayang sekali, ada orang yang berjiwa lillahi ta’ala, yang mau sepenuh hati, sepenuh jiwa dan raganya mengelola sekolah dan memberikan yang terbaik, masih ada masyarakat sekeliling yang tidak menanggapinya secara positif. Suatu saat, jika hendak memasukkan anak-anak mereka ke SD, tentu butuh ijazah TK dan saat masuk SD, anak-anak dituntut sudah bisa membaca. Aneh, tapi begitulah kenyataannya. Padahal, insya Allah berkah Allah akan turun di tempat seperti ini. Tempat yang di dalamnya ada keikhlasan membagi ilmu dan menggembirakan anak-anak. Berkah ini, insya Allah memudahkan anak-anak mereka menyerap ilmu pengetahuan yang ditularkan oleh guru mereka.
Makassar, 25 Juli 2011
Tulisan lain yang terkait:
No comments:
Post a Comment