Monday, July 18, 2011

Kakak Sekaligus Adikku

Kilas balik - memasuki pernikahan (lebih dari dua belas tahun yang lalu), saya merasa sangat siap. Yang masih tanda tanya bagi saya ketika itu adalah bagaimana saya bisa diterima dengan baik oleh ibu mertua dan ipar perempuan (adik suami). Ini karena banyak cerita yang saya dengar tentang tidak harmonisnya hubungan antara istri dengan saudara ipar perempuan/ibu mertua.
Apalagi menjelang pernikahan, saya bermimpi berada dalam suatu ruangan seperti dalam masjid dengan banyak sekali orang berpakaian putih yang tidak saya kenal di dalamnya, seperti sedang pengajian. Kedua tangan saya tengah memegang nampan yang penuh berisi kue-kue. Calon ibu mertua beserta anak perempuan satu-satunya berdiri, dengan jarak sekitar 5 meter dari saya. Saat hadirin yang berada di situ berdiri dan berebut mengambil kue-kue yang berada di atas nampan yang saya pegang, mereka berdua tidak turut berebut. Mereka hanya diam terpaku di tempat, memperhatikan saya. Saat kue di nampan tinggal sedikit, saya bergegas menyimpannya. Mimpi saya berujung di sini. Lama mimpi itu masih terkenang-kenang. Bagi saya, ini merupakan suatu pertanda bahwa saya harus ekstra memperhatikan kedua sosok perempuan terdekat dengan calon suami saya ini, terlebih lagi walau masih aktif sebagai guru agama SMP di daerah Sulawesi Selatan, ibu telah menjanda selama 4 tahun dan saat itu calon suami saya harus membantu ekonomi keluarganya karena kedua adiknya belum mandiri.

Saat kami menikah, suami saya baru bekerja selama 2 tahun pada sebuah perusahaan minyak di Sumatera. Ia – yang sulung dari 3 bersaudara, menjadi kebanggaan keluarga. Di antara keluarga besarnya (bukan ibu mertua dan ipar), bahkan ada yang seolah tak rela kami menikah ‘secepat’ itu. Menurutnya seharusnya suami saya lebih lama lagi membahagiakan ibunya. Saya sangat memahami hal ini di awal pernikahan kami. Saya harus tahu diri dan harus bisa menyesuaikan diri dengan keluarga suami saya, terutama ibu dan adik-adiknya.
Seperti banyak keluarga lain di Indonesia, keluarga suami saya masih erat menggenggam prinsip gotong-royong. Saya mengetahuinya dari cerita-cerita suami saya. Ia memberikan masukan kepada saya yang ‘anak kota’ ini bagaimana caranya supaya bisa berbaur dengan keluarganya. Dilahirkan dari sepasang orangtua yang sebenarnya berasal dari ‘daerah’, di mata keluarga suami saya, saya adalah ‘anak kota’, karena saya lahir dan besar di kota terbesar di Indonesia timur – Makassar.
Setelah menikah, ibu mertua membawa saya ke kampung halaman beliau, di kabupaten Pinrang. Suami saya berpesan, saya harus mengikuti ibu mertua ke mana pun beliau pergi. Biasanya, ibu mertua langsung menuju dapur begitu tiba di rumah tujuan di kampung. Lalu beliau membantu tuan rumah menyiapkan makan siang. Saya yang tidak bisa masak ini ketar-ketir. Bagaimana jika saya disuruh masak? Saya pasrah saja. Saya sudah berniat mengikuti ibu mertua ketika tiba-tiba seorang nenek menarik saya ke rumah beliau di sebelah rumah itu. Betapa baiknya beliau, di rumah itu, beliau menyuguhkan saya nasi dan lauk yang sudah masak. Selamat .. he he he.
Setelah menikah saya langsung mengikuti suami saya ke Riau. Setiap bulan, kami mentransfer jumlah yang sama ke rekening orangtua kami. Untuk urusan studi kedua adiknya, saya sepenuhnya mendukung. Berapa pun yang diminta untuk urusan itu, saya tak pernah berkeberatan. Untuk keperluan keluarga suami yang lainnya, saya menyerahkan sepenuhnya keputusan kepada suami saya. Saya tidak mau dicap sebaga menantu kikir. Sebaliknya, jika adik-adiknya menelepon untuk suatu keperluan, suami saya malah menyuruh mereka ‘melapor’ kepada saya, ia malah menyerahkan keputusan kepada saya. Sehingga pada akhirnya, mereka mengetahui kalau untuk urusan uang, kami saling transparan sehingga – alhamdulillah – tidak pernah ada masalah dengan ini.
Namun sebagai anggota baru, saya merasa senantiasa diperhatikan dan dinilai. Bukan oleh ibu mertua saya. Melainkan oleh adik perempuan suami saya. Saya menangkap gejala ia takut jikalau saya menguasai keuangan suami saya. Memang banyak cerita di sekitar mereka, setelah menikah, istri sangat berkuasa terhadap suami sehingga melupakan keluarga suami. Belakangan, ipar dan ibu mertua saya ini bercerita bahwa ada seorang tetangga yang juga menakut-nakuti. Ia mengatakan, “Tunggu saja nanti, setelah kakakmu menikah, pasti ia takkan mengirimi Kalian uang lagi.” Alhamdulillah kata-kata itu tak terbukti. Ipar saya ‘melaporkan’ kepadanya, “Iparku tidak seperti itu. Orangnya baik. Anda salah.” Namun tetangga culas itu tak putus asa. Ia berkata lagi, “Tunggu saja setelah ia punya anak. Ia takkan mengirimi kalian uang lagi. Kalau salah, boleh potong telinga Saya. Saya dulu seperti itu.” (Astaghfirullah, ia sudah menjelma menjadi setan!). Tentu saja omongannya akhirnya tak terbukti. Mana tega saya berlaku seperti itu? Dalam Islam, anak laki-laki adalah hak ibunya. Tak mungkin saya mengabaikan ibu mertua yang telah berpuluh tahun membesarkan dan mendidik suami saya. Apalagi saya sangat hormat kepada beliau karena ‘hati emas’-nya yang ‘sangat luas’. Beruntung orang itu tak dipotong telinganya. Mudah-mudahan saja ia bertaubat karena telah melakukan perbuatan kejam: mengadu domba dan memfitnah.
Menjelang kelahiran anak pertama, keluarga kami undang ke Pekanbaru. Maka berangkatlah ibu saya beserta adik laki-laki saya, juga ibu mertua beserta saudara ipar perempuan, menempuh perjalanan ribuan kilometer dari Sulawesi Selatan menuju Riau. Saya menyiapkan kamar mereka. Ranjang-ranjang saya alas dengan seprei bermotif abstrak favorit saya. Saat saya menyiapkan seprei batik untuk ranjang asisten rumah tangga yang baru tiba, ipar saya nyeletuk, “Koq sepreinya Upik lebih bagus?” Kontan saya mencak-mencak. Tetapi saya hanya merapatkan gigi, geram dan berusaha berkata sesopan mungkin, “Siapa bilang seprei Upik lebih bagus?” Bagaimana bisa ia membandingkan sepreinya dengan seprei asisten rumah tangga? Padahal saya sudah berusaha sebaik mungkin, mengalas tempat tidurnya dengan seprei favorit saya sementara ranjang Upik dengan seprei biasa saja? Koq hal sepele ini dipertanyakan?
Saya sangat tidak menyangka, bagaimana mungkin ia membandingkan dirinya yang adik suami saya dengan asisten rumah tangga kami? Pun setelah kembali ke Sulawesi saat kami menelepon dan menceritakan tentang si Upik yang sehari sebelumnya berobat ke puskesmas karena sakit, ipar saya nyeletuk lagi, “Kenapa Upik diantar berobat? Waktu Saya sakit tempo hari tidak?” Grrr, rasanya mau meledak. Seperti waktu lalu, saya merapatkan gigi menahan geram dan berkata, “Siapa bilang Upik kami antar? Ia hanya diantar temannya!” Lagi pula waktu ia masih di Pekanbaru saya tidak tahu ia sakit. Saya hanya ingat, suatu hari ia ngambek entah kenapa. Ditanya, ia tak menjawab. Mungkin berharap kami tahu tanpa harus ia beritahu. Bagaimana mungkin? Lagi pula saat itu saya sibuk dengan bayi saya dan pada akhirnya suami saya memberinya obat.
Begitulah ia, selalu spontan mengungkapkan apa isi hati dan pikirannya. Sering kali tanpa pikir panjang tetapi saya tahu sebenarnaya ia baik hati dan sangat pemurah. Beberapa kali setelah itu ada saja lontaran-lontarannya yang membuat saya geram tetapi tidak pernah saya balas dengan garang. Saya hanya menceritakan kekesalan saya kepada suami. Suami saya pun menyikapinya dengan baik.
Seiring berjalannya waktu, hubungan saya dengan ibu mertua dan saudara ipar ini makin membaik. Saya  merasakan, ia menerima saya dengan tulus, bukan hanya sebagai saudara ipar tetapi juga sebagai saudara perempuannya. Ia bahkan memanggil saya dengan sebutan “Kak”, padahal usianya sebenarnya 2 tahun lebih tua daripada saya. Kami sering saling mengirim sms, mengabarkan apa saja.
Namun, hal itu bukan berarti ia berhenti ‘meledak-ledak’. Dalam saling berkirim sms itu pun masih beberapa kali ia tiba-tiba galak karena salah mengartikan maksud/tindakan saya.
Seperti suatu ketika di hari ulang tahunnya ...
Pukul 11 siang, saya sms ucapan selamat ulang tahun kepadanya. Tak disangka-sangka jawabannya demikian: “Sudah terlambat.” Sungguh kaget saya, apa ia menginginkan saya mengirim sms ucapan kepadanya subuh-subuh? Apa pula penyebab kemarahannya kali ini? Mungkin ia tengah berselisih dengan suaminya lalu membiaskannya kepada saya? Saya membalas smsnya, berusaha menggunakan kata-kata yang sopan. Saya berkata, “Maaf jika terlambat karena walaupun saya mengucapkan selamat hari ulangtahun kepada seseorang, hari ulangtahun bukanlah hal yang istimewa bagi saya. Kalaupun misalnya suami saya lupa dengan hari ulangtahun saya, tidak mengapa buat saya karena itu bukan hal yang penting dan bukan pula hal yang pantas dipermasalahkan karena itu sama sekali bukan masalah. Jadi maafkan saya jika terlambat.”
Beberapa bulan yang lalu, seperti biasa ia mengirim SMS. Kali ini curhat tentang penyakit yang dari hari ke hari terasa makin berat baginya. Saya menyarankannya untuk USG, ia sendiri berharap bisa segera dirujuk ke kota saya karena peralatan medis di sini jauh lebih lengkap dibanding di kotanya. Beberapa hari kami saling berbalas SMS hingga akhirnya ada diagnosa sementara dari dokter yang menanganinya. Kata dokter, ada kemungkinan ia terkena penyakit kuning (hepatitis). Karena antusias, saya mengumpulkan informasi. Tidak perlu jauh, cukup dari suami dan adik saya yang pernah terkena penyakit ini. Berharap ada penanganan memadai sesegera mungkin kepada saudara ipar yang satu ini, saya pun rajin meng-update informasi yang saya dapatkan. Terus terang, saya khawatir dengan keadaannya. Apalagi dengan berjalannya waktu, ia semakin mendapat tempat di hati saya sehingga saya tak sekedar berbasa-basi jika menanyakan kedaannya, jujur ... ada rasa khawatir yang juga mencuat.
SMS saya tak dibalasnya. Tetapi ia mengirim SMS kepada suami saya. Isinya menggambarkan ketersinggungannya terhadap kata-kata saya yang menyatakan penyakitnya adalah penyakit menular. Bahwa ia harus pisah tempat makan dan pisah kamar dengan keluarganya, “Saya belum mau mati,” begitu katanya. Untuk kesekian kalinya, saya merasa seperti ditampar. Bukan hanya saya yang terkejut dengan ledakan-ledakan ipar tersayang ini, kakaknya sendiri pun sering dibuatnya terkejut. Maksud kami baik. Tidakkah ia merasakan perhatian kami? Tidak mungkin saya bicara sembarang. Tega sekali ia kalau sampai berpikir saya asal bicara. Kakaknya dan adik saya pernah menderita sakit kuning. Lagipula ia sendiri yang mengatakan bahwa dokter mengatakan kemungkinan ia sakit kuning? Bukankah lebih baik mengambil langkah preventif, supaya aman? Apa ia tak memikirkan kemungkinan anak-anaknya yang masih batita terkena penyakit yang sama? SMS-nya saya balas demikian, “Maaf jika Kamu merasa tidak sreg dengan SMS saya. Saya mencari informasi ini karena Saya sayang sama Kamu. Kami hanya ingin Kamu segera ditangani dengan baik dan cepat, bukannya berpikir Kamu akan segera mati. Tetapi kalau Kamu tidak sreg, Saya tidak akan lagi mencarikan informasi.”
Saya pun mogok mengiriminya SMS selama beberapa hari. Saya jadi takut, kalau-kalau ia tersinggung lagi. Saya memutuskan untuk menunggu beberapa hari sampai kemarahannya reda. Saya tahu ia stres dengan SMS saya. Penyakit memang membuat seseorang menjadi stres. Tetapi apakah rasa stres itu ditanggapi dengan penyangkalan terhadap penyakit yang datang, dengan mengatakan bahwa dirinya baik-baik saja? Menurut saya, seharusnya penyakit seberat apapun, harus kita ketahui sebanyak mungkin informasinya supaya kita bisa menghadapinya semaksimal mungkin. Supaya jalan keluar yang dicari sepadan dengan ‘bobot’ masalah, bukannya dengan mencoba menutup mata. Ah, sudahlah. Terserah ia mau bersikap bagaimana.
Begitulah, cara saya menanggapinya. Kelihatannya, pada akhirnya ia berpikir-pikir juga tentang ‘ledakan emosi sesaat’-nya, karena SMS-SMS-nya setelah itu menunjukkan perbaikan sikap. Saya masih terus mencoba memahami karakternya. Bagi saya sekarang ini yang penting saya sudah bisa dianggapnya sebagai saudara. Sungguh merupakan suatu penghargaan bagi saya, ia memanggil saya dengan sebutak “Kak” padahal usia saya lebih muda darinya. Itu menandakan sesungguhnya ia sanggup meluaskan hatinya. Tak banyak ‘kakak’ yang punya kebesaran hati memanggil ‘kakak’ pada orang yang usianya lebih muda dari dirinya, apalagi di daerah kami  tak ada kebiasaan seperti itu (memanggil kakak kepada kakak ipar yang usianya lebih muda). Ini menunjukkan ketulusannya. Di balik ledakan-ledakan emosi sesaatnya, sebenarnya ia bisa menaklukkan egonya. I love you, sist. Hope you get well soon ...
Makassar, 18 Juni 2011

No comments:

Post a Comment