Jakarta - Total utang pemerintah Indonesia hingga Oktober 2011 mencapai Rp 1.768,04 triliun. Dalam sebulan jumlah utang itu naik Rp 13,13 triliun dibanding posisi September 2011 yang sebesar Rp 1.754,91 triliun. Menggunungnya utang RI digunakan untuk menutup defisit dalam APBN. Namun ternyata ada beberapa negara yang tidak memiliki utang luar negeri. Negara apa sajakah?
Terkurung masalah politik, negara Libya dan Korea Utara tidak memiliki utang luar negeri dengan negara lain.
"Yang utang pemerintahnya nol atau hampir nol persen cuma Libya dan Korea Utara. Korea Utara dan Libya dikucilkan karena masalah politik. Oleh karena dikucilkan, mereka tidak bisa berutang," ujar pengamat ekonomi Drajad Wibowo kepada detikFinance, Minggu (27/11/2011).
Namun, Drajad yakin dengan lepasnya negara Libya atas kekuasaan Muammar Khadafi maka negara tersebut akan mulai banyak berutang karena terbukanya kesempatan besar dari negara-negara lain.
"Sekarang setelah Khadafi jatuh, saya rasa Libya akan mulai banyak berhutang," ungkapnya.
Drajad menyebutkan negara lain yang memiliki utang rendah sekitar 10 persen tetapi bukan karena masalah politik adalah Rusia, Saudi Arabia dan Kuwait. Rusia, lanjutnya, semakin kuat justru setelah lepas dari besarnya utang negara tersebut sebelum kepemimpinan Vladimir Putin.
"Saudi dan Kuwait sangat kuat, Rusia saat ini lebih kuat daripada ketika Putin belum berkuasa dan utang masih 97 persen dari PDB. Mereka bisa lepas dari utang karena basis penerimaan negaranya kuat. Maksudnya lepas adalah dengan utang hanya sekitar 10 persen, itupun lebih sebagai "pantes2"an di pasar global. China sendiri sekarang turun terus, mungkin bisa di bawah 20 persen tahun 2011 ini," paparnya.
Drajad menyatakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang, suatu negara perlu memperkuat penerimaan negaranya.
"Kuncinya, basis penerimaan negara harus kuat, sehingga pembangunan dan pertumbuhan ekonomi bisa dijaga tetap kuat tanpa harus menerbitkan utang baru untuk membiayai pembangunan dan pertumbuhan," tegasnya.
Menurut Drajad, biasanya penerbitan utang atau debt ratio sekitar 30-40 persen dari PDB suatu negara. Namun, meskipun rendah, hal ini belum menjamin peringkat utang negara tersebut akan tinggi.
"Buktinya, AS di atas 100 persen, tapi sovereign rating nya terus-terusan AAA dan baru akhir-akhir ini diturunkan satu notch. Rating AS malah lebih bagus dari negara-negara yang rendah debt ratio-nya seperti Rusia dan China," ujarnya.
Untuk itu, Drajad menegaskan, tidak ada angka yang solid tentang berapa debt ratio yang aman karena kuncinya adalah penerimaan negara yang kuat.
"Indonesia meski sudah turun ke 30 persen atau lebih rendah nantinya, tetap saja belum masuk investment grade, apalagi AAA. Jadi debt ratio bukan satu-satunya variabel yang menentukan aman atau tidak. Indonesia dengan tax ratio hanya 12 persen-an, sulit dianggap aman oleh investor meski debt rationya turun karena tax ratio 12 persen itu rentan sekali. Jadi kembali ke kuncinya tadi basis penerimaan negara harus kuat," tandasnya.
sumber : detik
Terkurung masalah politik, negara Libya dan Korea Utara tidak memiliki utang luar negeri dengan negara lain.
"Yang utang pemerintahnya nol atau hampir nol persen cuma Libya dan Korea Utara. Korea Utara dan Libya dikucilkan karena masalah politik. Oleh karena dikucilkan, mereka tidak bisa berutang," ujar pengamat ekonomi Drajad Wibowo kepada detikFinance, Minggu (27/11/2011).
"Sekarang setelah Khadafi jatuh, saya rasa Libya akan mulai banyak berhutang," ungkapnya.
Drajad menyebutkan negara lain yang memiliki utang rendah sekitar 10 persen tetapi bukan karena masalah politik adalah Rusia, Saudi Arabia dan Kuwait. Rusia, lanjutnya, semakin kuat justru setelah lepas dari besarnya utang negara tersebut sebelum kepemimpinan Vladimir Putin.
"Saudi dan Kuwait sangat kuat, Rusia saat ini lebih kuat daripada ketika Putin belum berkuasa dan utang masih 97 persen dari PDB. Mereka bisa lepas dari utang karena basis penerimaan negaranya kuat. Maksudnya lepas adalah dengan utang hanya sekitar 10 persen, itupun lebih sebagai "pantes2"an di pasar global. China sendiri sekarang turun terus, mungkin bisa di bawah 20 persen tahun 2011 ini," paparnya.
Drajad menyatakan untuk mengurangi ketergantungan terhadap utang, suatu negara perlu memperkuat penerimaan negaranya.
"Kuncinya, basis penerimaan negara harus kuat, sehingga pembangunan dan pertumbuhan ekonomi bisa dijaga tetap kuat tanpa harus menerbitkan utang baru untuk membiayai pembangunan dan pertumbuhan," tegasnya.
Menurut Drajad, biasanya penerbitan utang atau debt ratio sekitar 30-40 persen dari PDB suatu negara. Namun, meskipun rendah, hal ini belum menjamin peringkat utang negara tersebut akan tinggi.
"Buktinya, AS di atas 100 persen, tapi sovereign rating nya terus-terusan AAA dan baru akhir-akhir ini diturunkan satu notch. Rating AS malah lebih bagus dari negara-negara yang rendah debt ratio-nya seperti Rusia dan China," ujarnya.
Untuk itu, Drajad menegaskan, tidak ada angka yang solid tentang berapa debt ratio yang aman karena kuncinya adalah penerimaan negara yang kuat.
"Indonesia meski sudah turun ke 30 persen atau lebih rendah nantinya, tetap saja belum masuk investment grade, apalagi AAA. Jadi debt ratio bukan satu-satunya variabel yang menentukan aman atau tidak. Indonesia dengan tax ratio hanya 12 persen-an, sulit dianggap aman oleh investor meski debt rationya turun karena tax ratio 12 persen itu rentan sekali. Jadi kembali ke kuncinya tadi basis penerimaan negara harus kuat," tandasnya.
sumber : detik
No comments:
Post a Comment