Thursday, November 24, 2011

Tentu Saja Makassar Tidak Kasar

Pantai Losari - dok. Pribadi
Saya Cinta Makassar!

            Merantau selama dua tahun lebih di pulau lain membuat saya merindu setengah mati kepada kota Makassar, kota di mana saya lahir dan besar. Kini, hampir sepuluh tahun saya dan suami saya meninggalkan perusahaan tempatnya bekerja dulu dan itu tidak membuat saya menyesal meski banyak yang mengatai kami ‘bodoh’. Bagaimana tidak dikatakan bodoh, betapa banyak orang ingin bekerja di perusahaan minyak yang kerja sama dengan Amerika itu tapi kami malah meninggalkannya? Saya malah sangat bersyukur suami saya mengundurkan diri setelah bekerja hampir lima tahun waktu itu.


Pantai Losari - dok. Pribadi
Kasar?
   
         Persepsi bahwa orang Makassar (dengan asumsi orang Bugis itu juga orang Makassar) itu kasar sering saya dengar. Suami saya pun pernah ditanya secara blak-blakan tentang ini oleh temannya sewaktu masih bekerja di pulau seberang. Katanya, “Orang Makassar itu kasar, kata ‘Makassar’ kan mengandung kata ‘kasar’?”
        Ibu saya pun pernah berbincang-bincang dengan seseorang sewaktu beliau sedang berkendara bis menempuh perjalanan panjang di pulau seberang. Waktu itu ibu saya bercerita bahwa beliau orang suku lain yang sekarang bermukim di Makassar. Mengetahui hal ini, seseorang tersebut bertanya, “Wah, tidak takut Bu tinggal di sana?” Jelas saja ibu saya menjawab, “Tidak,” dengan mantap. Ya iyalah ... ayah saya kan orang Bugis, dan mereka sudah menikah selama tiga puluh tahun waktu itu!
       Di daerah ibu saya, sejak dahulu kala hingga sekarang pemeo, “Jangan menikah dengan orang Bugis/Makassar karena orang Bugis/Makassar itu tukang kawin!” Dan masih banyak lagi yang lain yang 'menggambarkan kekasaran' orang Makassar. 


Hei ... Makassar Tidak Kasar!

            Maaf, saya tidak mau pakai kata ‘kasar’ untuk menyifati orang Bugis/Makassar.
            Buat saya istilah itu muncul hanya karena dialeknya yang ‘keras’.
        Makassar tak kasar. Ada buktinya, kawan. Baru saja saya temukan pada website pemerintah kota Makassar:
Pemerintah Makassar akan menerima Bung Hatta Award 2011 dari Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia pada 8 Desember nanti di Jakarta. Panitia Bung Hatta Award menyampaikan undangan tersebut kepada Wali Kota Makassar Ilham Arief Sirajuddin. "Tahun ini Makassar yang memperoleh Bung Hatta Award," kata Darus Amin, Panitia Bung Hatta Award dari Badan Penelitian dan Pengembangan HAM Kementerian Hukum dan HAM, di ruang kerja Wali Kota Makassar.
Penetapan Makassar sebagai peraih penghargaan, menurut Darus, “Setelah melalui sejumlah proses penilaian. Banyak aspek yang dinilai, termasuk ekonomi, pendidikan, kesehatan, pelayanan publik, dan hak asasi manusia."

        Kawan, cermati baik-baik kutipan di atas: yang akan memberikan penghargaan adalah KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA. Sementara salah satu indikatornya adalah: HAK ASASI MANUSIA.
         Kita pakai logika sederhana saja: Jika orang Makassar itu kasar. Sifat kasar mengacu kepada keburukan sikap/tingkah laku yang sangat masuk akal berbanding lurus dengan tindak kriminal. Dengan demikian logikanya, tingkat kriminalitas di Makassar adalah yang paling tinggi di Indonesia kan? Nah, kalau tingkat kriminalitas di Makassar paling tinggi seantero negeri ini, mana mungkin Bung Hatta Award akan diberikan kepada kota Makassar?
Darus menjelaskan, penghargaan tersebut akan diserahkan langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Amir Syamsuddin. Sebelumnya, Kementerian Hukum memberikan penghargaan kepada Kabupaten Jembrana, Bali, pada 2009, sedangkan penghargaan pada 2010 diberikan kepada Kabupaten Serdang, Sumatera Utara. "Program ini akan memotivasi pemerintah daerah untuk terus memacu pembangunan daerah di berbagai sektor," kata Darus.
            Coba cermati lagi kutipan itu: pada tahun 2009 dan 2010, penghargaan itu hanya diberikan kepada satu kabupaten/kotamadya. Dari empat ratusan pemeritah kabupaten/kota, hanya Makassar yang akan menerima award itu bulan Desember nanti!
            Hei, Makassar tidak kasar kawan.
           Saya tahu pasti. Karena saya berasal dari orangtua berbeda suku dan karena saya pernah bermukim di wilayah heterogen.
          Saya pernah mendengar orang-orang Makassar dan Bugis yang berdialek keras dan lembut. Seperti juga daerah-daerah lain di Indonesia yang memiliki masyarakat dengan dialek berbeda (keras dan lembut), Makassar (dan Bugis) pun demikian.
            Ayah saya yang berasal dari Soppeng campur Sengkang, berbicara dengan sangat pelan. Dan tentang pemeo ‘tukang kawin’ itu? Halah itu hanya pemeo – olok-olok. Ayah saya sangat setia pada ibu saya, demikian pula paman-paman saya, pun sepupu-sepupu saya - mereka sangat setia pada istri-istri mereka. Di mana-mana ada lelaki tukang kawin kawan, tak harus ia bersuku Bugis/Makassar.
            Sementara suami saya yang berdarah Sidrap-Pinrang dan besar di Pare-Pare memiliki volume dan power suara yang keras. Tapi suami saya sama sekali tak pernah kasar pada saya. Ia malah menyapa saya dengan sebutan kita’. Kita’ adalah kata ganti orang kedua tunggal yang digunakan untuk menyapa orang yang dihormati, biasanya tidak digunakan untuk menyapa orang yang lebih muda, dan tidak lazim digunakan kepada istri. Tetapi suami saya yang usianya lebih tiga tahun lebih tua daripada saya menggunakan sapaan itu kepada saya hingga kini di saat usia pernikahan kami dua belas setengah tahun. Ah, ‘keras’ (saya tak mau memakai kata ‘kasar’ ya) hanyalah dialek, kawan. Itu bukan sifat. 
Pada suku-suku lain pun di mana saja tidak peduli dialeknya keras atau tidak, di situ ada orang yang kasar dan yang tidak kasar. Saya tahu ini karena pernah mengamati lingkungan saya yang heterogen (lingkungan yang terdiri atas beragam suku) bertahun-tahun yang lalu dan karena keluarga besar saya sudah banyak yang menikah dengan orang-orang dari suku lain.
Bagi Anda yang masih berpikir ‘Makassar itu kasar’. Please grow up.
Think like an adult!
Makassar, 25 November 2011

           
Silakan dibaca : 

           

No comments:

Post a Comment