Ini kejadian nyata. Lebih dari sepuluh tahun yang lalu Ningsih (nama samaran) merantau ke pulau seberang. Ia nyaman dengan kehidupannya saat itu hingga suatu saat seorang kawan bertanya, “Kamu kangen sama ibumu? Orang seperti kamu, yang terpisah sedemikian jauh dari ibunya, pastilah kangen pada ibunya”. Ningsih tertegun, dengan suara pelan tapi mantap, ia menjawab, “Tidak”. Ada rasa pahit mengatakannya, tetapi memang itulah yang terjadi, selama dua setengah tahun di sana, tidak pernah sedikit pun terselip rasa rindu dalam hatinya untuk ibu kandungnya, walaupun tiap minggunya ia rutin menelepon sang ibu untuk memberi kabar, ia menelepon hanya untuk menjalankan kewajibannya sebagai anak. Malah yang ada adalah rasa ‘merdeka’, terbebas dari tekanan psikis dari temperamen tinggi sang ibu yang meninggalkan banyak koyak pada hatinya. Saat masih kanak-kanak ia sering berkhayal bertukar ibu dengan kawan-kawannya karena kekerasan psikis yang kerap diterimanya.
Pertanyaan dari seorang kawan itu melekat erat dalam benaknya hingga ia kembali ke kampung halamannya. Pertanyaan yang menimbulkan pertanyaan baru: sayangkah ia pada ibunya? Pertanyaan sederhana itu ternyata memakan waktu 3 bulan untuk terjawab, ya ... ia sayang pada ibunya. Dan sebagai seorang muslimah, kewajibannya adalah berusaha semaksimal mungkin berbakti pada sosok yang telah mengandung dan membesarkannya dengan cucuran keringat, walau banyak hal pada ibu hingga sekarang yang telah mengoyak hatinya. Ia akan berusaha menisik dan menambal semua koyak itu agar Allah tidak murka padanya.
Suatu sore, saya – diantar suami, mengantarkan titipan adik saya – Mirna dan suaminya – Rifai ke rumah sahabatnya Jhonson, untuk diberikan kepada ayah dan ibu Jhonson. Masih berkesan bagi Mirna dan Rifai pengalaman ketika semasa SMA mereka dan teman-teman sekelas mereka sering menjadikan rumah Jhonson sebagai tempat berkumpul. Kami disambut ibunda Jhonson, seorang yang hangat dan ramah. Beliau menyilakan kami masuk, menyuguhi kami makanan kecil dan minuman, dan bercerita tentang Jhonson yang sekarang berdomisili di Jakarta dan ingatan masa lalunya tentang kawan-kawan sekelas Jhonson. Beliau bahkan masih ingat nama-nama mereka, padahal sudah belasan tahun berlalu. Yang sangat berkesan bagi saya adalah yang tersirat dari cerita beliau tentang kedekatannya dengan Jhonson. Hampir setiap hari, Jhonson menelepon sang ibunda, sekedar bercerita tentang kegiatannya dan anak-anaknya. Sangat berkesan bagi saya, karena saya belum pernah mendengar ada laki-laki dewasa yang sudah terpisah kota dari ibunya tetapi masih menyempatkan diri menelepon sang ibu hampir setiap hari. Kalau perempuan (dewasa), banyak. Pastilah Jhonson memiliki jalinan ikatan batin yang kuat dengan ibunya karena dorongan untuk tetap berkomunikasi dengan ibunya demikian kuatnya dalam dirinya.
Sementara di tempat lain, Hamidi (nama samaran) yang juga berdomisili di kota berbeda dengan ibundanya, harus sering diingatkan istrinya untuk menelepon sang ibu. Padahal ibunya sangat mengharapkan kabar dari putra kesayangannya setiap minggunya. Sementara Hamidi, dengan alasan kesibukan atau malah tanpa alasan sering kali lupa memberi kabar. Adakah walau setitik rasa bersalah saat ia lupa menelepon ibunya ? Atau jangankan rasa bersalah, sedikit rasa ‘tidak enak’ saja, di hatinya. Adakah ?. Jawabannya, tidak. Padahal baik ibu, maupun ayahnya, hingga sekarang senang sekali menceritakan prestasi Hamidi sejak kecil hingga dewasa kepada orang-orang, dengan binar rasa bangga di mimik wajah dan sorot mata mereka. Siapa pun yang mendengarnya pasti setuju, Hamidi-lah anak yang paling mereka sayangi dan banggakan. Pahit, tapi sejujurnya - begitulah kenyataannya. Jangan tanya rasa rindu. Setitik rasa tidak enak, setitik rasa bersalah saja tidak ada, apatah lagi rasa rindu ? Pengalaman masa kecilnya terhadap sang ibu tidak pernah membiarkan rasa rindu tumbuh spontan di hatinya.
‘Bukan Sinetron’ adalah salah satu reality show yang tayang di salah satu TV swasta. Isinya adalah realita pahit masa lalu banyak orang dalam kehidupan yang ingin mereka perbaiki. Saya sering menyimaknya untuk pembelajaran hidup saya. Ada kisah beberapa ibu yang selingkuh dengan menantunya tetapi akhirnya mereka sadar dan mau mencari anaknya yang telah raib entah ke mana selama sekian tahun untuk melakukan salah satu hal yang paling sulit di dunia ini: meminta maaf pada anak kandung sendiri. Bisa ditebak, kisah ini berakhir pilu karena anak mereka tidak sudi memaafkan mereka akibat borok hati mereka sudah sedemikian busuknya dimakan belatung, entah kapan pulihnya.
Ada pula kisah dua perempuan bersaudara yang sejak kecil selalu diperlakukan kasar oleh ibu mereka, baik secara fisik maupun psikis. Tentu saja hal ini menyebabkan luka mendalam pada hati keduanya hingga dewasa. Sang kakak bisa berlaku bijak, setelah mapan dan tinggal terpisah dari ibu dan adiknya, ia mampu mengubur pengalaman pahit masa lalunya. Tidak demikian dengan adiknya. Setiap hari ibu mereka balas disiksa oleh sang adik, secara fisik dan psikis hingga puncaknya ia berniat membawa ibunya ke panti jompo. Di perjalanan, sang ibu melarikan diri. Si adik pulang ke rumah dengan perasaan senang, larinya sang ibu malah mempermudah urusannya. Si kakak kemudian berusaha mencari ibunya. Pekerjaannya membuatnya sering bepergian ke luar kota sehingga ia tidak bisa merawat ibunya, ia tidak menyangka adiknya bisa setega itu. Akhirnya sang ibu ditemukan, dekil dan mengenakan pakaian robek-robek, sedang memulung sampah di depan sebuah toko. Akhir yang pilu, walaupun ibu ini sadar kesalahan masa lalunya, itu tidak memperbaiki keadaan. Bungsunya menjadi gila, teriak-teriak bak kesetanan melihat wajahnya. Ikatan batin rupanya merupakan barang mewah dalam keluarga ini.
Malin Kundang, siapa yang tidak kenal tokoh legenda ini. Kisahnya kerap dijadikan bahan untuk mendoktrin anak-anak TK dan SD supaya tidak menjadi anak durhaka. Andaikan bisa, saya ingin bertanya pada ibunya, apakah ia merasa memiliki ikatan batin dengan anaknya? Semasa Malin Kundang kecil, seberapa besarkah usahanya membangun ikatan batin dengan anaknya? Sebagai ibu, tidakkah ia merasa punya peran dalam pembentukan karakter Malin Kundang? Jangan-jangan Malin Kundang memiliki kisah serupa dengan Ningsih dan Hamidi, pengalaman masa kecilnya terhadap sang ibu tidak pernah membiarkan rasa rindu tumbuh spontan di hatinya.
Affiq, Athifah, dan Afyad ... mudah-mudahan usaha membangun ikatan batin dengan kalian yang mama rintis sejak mengandung kalian berbuah spontan di hati kalian. Buah yang manis, yang bernama ‘rasa rindu’. Mudah-mudahan do’a dan air susu Mama mampu menumbuhkan dan menyuburkan ikatan itu. Juga momentum-momentum spesial saat menatap kedalaman binar bola mata kalian, saat menjawab pertanyaan-pertanyaan kalian tentang Tuhan dan berbagai hal, protes dan kemarahan kalian, omelan dan kekesalan mama, canda-tawa kita, nyanyian dan permainan kita, saat menonton film kartun bersama, saat menyiapkan makanan yang kalian minta, saat kalian minta diladeni siang hari bukannya malam hari, saat kalian minta mama yang melayani bukannya papa, saat mendampingi kalian belajar, saat kita berkompromi akan suatu hal, kekhawatiran dan air mata yang keluar saat kalian sakit, dan masih banyak lagi ... mampu menumbuhkan dan menyuburkannya. Mama tahu, mama tak berhak menuntut adanya ikatan itu di antara kita hanya karena kalian hadir melalui rahim mama. Ikatan batin bukanlah sesuatu yang ada dengan sendirinya. Seperti sebuah proyek, ia harus direncanakan, lalu diusahakan. Mama sadar, mama hanya mampu menanamnya, selanjutnya kita sama-sama memupuknya biar subur. Bantu Mama, agar kita bisa sinergi. Insya Allah, buah manis bernama ‘rasa rindu’ itu pastilah lezat, nikmat luar biasa.
Makassar, 17 Desember 2010
No comments:
Post a Comment