Sewaktu masih berumur 2 – 3 tahun, Athifah suka menanyakan sederetan pertanyaan di waktu pagi:
Athifah: “Mama, ato’ sudah bangun?”
Mama: “Sudah”
Athifah: “Kalau Oma?”
Mama: “Sudah”
Athifah: “Kakak?”
Mama: “Sudah”
Athifah: “Papa?”
Mama: “Sudah”
Selanjutnya ia akan ‘mengabsen’ satu-satu om-om, tante-tante, dan sepupu-sepupunya yang berada di Sorowako, Bontang, dan Manokwari dengan pertanyaan serupa (hanya berganti ‘subyek’).
Sekarang ia punya deretan pertanyaan lain: “Mama, coba ceritakan sama saya, apa saja yang jauh”. Mama: “Sudiang”.
Athifah: “Apa lagi yang jauh?”
Mama: “Daya”
Athifah: “Terus apa lagi?”
Mama: “Maros”
Athifah: “Apa lagi? Ceritakan!”
Mama: “Pangkep”
Dan seterusnya sampai ia bosan atau ia puas dengan jawaban ini: Barru, Pare pare, Soppeng, Rappang, Pangkajene, Palopo, Sorowako, Gorontalo, Palu, Bontang, Manokwari, gunung Merapi, gunung Bromo, pulau Kalimantan, pulau Sumatera, pulau Jawa.
Pertanyaan belum selesai, masih ada: “Sekarang, coba ceritakan sama saya apa yang sedang?”.
Mama: “Tamalanrea”
Athifah: “Apa lagi?”
Mama: “MTos”
Athifah: “Apa lagi?”
Mama: “Mal Panakukang”
Athifah: “Lagi!”
Mama: “UNM”
Seperti sebelumnya, ia belum berhenti jika belum puas. Dan jika jawaban ini memuaskan: kampus UNHAS, lapangan karebosi, rumahnya tante Suja, dan lain-lain sudah memuaskan, ia baru pindah pada pertanyaan terakhir: “Sekarang ceritakan sama saya, apa saja yang dekat?”.
Mama: “Rumahnya nenek Hj. Ipa”
Athifah: “Apa lagi?”
Mama: “Masjid Bani H. Adam Taba”
Athifah: “Apa lagi?”
Mama: “Tempat ngajinya kakak”
Dan ia akan puas jika sederetan jawaban ini sudah dikemukakan: masjid Amaliyah, masjid Da’watul Khaer, masjid al-Mukarramah, masjid Nur Jannah, rumahnya kakek H. Syamsuar, pasar Rappocini.
17 Desember 2010
No comments:
Post a Comment