Mulanya, untuk mengganti kata ‘nakal’ yang tidak sreg di mulut mama, mama menggunaakan kata ‘jelek’ untuk menegur perbuatan Athifah (4 tahun) yang ‘tidak menyenangkan’. Itu sejak Athifah bisa berinteraksi secara verbal, kira-kira usia 1 tahun lebih.
Selanjutnya, ia menggunakan kata ‘jelek’ itu untuk memprotes mama atau orang-orang dewasa lainnya di dalam rumah untuk ‘perbuatan tidak menyenangkan’ yang dilakukan padanya. Lama-lama, entah dari mana, ia juga menggunakan kata ‘jahat’.
Dasar orang dewasa, mama dan orang-orang dewasa lainnya ini membalas kata ‘jelek’ yang ia lontarkan dengan kalimat semisal, “Kalau Mama jelek, Athifah juga jelek dong, karena Athifah kan anak Mama....”.
Suatu hari, saat Athifah sedang bercengkrama dengan ato’nya di halaman rumah, ada dua ekor kucing tengah berkelahi, sedang memperebutkan daerah kekuasaan mungkin. Ato’ berkata, “Lihat kucing-kucing itu, seperti itulah kalau Athifah berkelahi dengan kakak Affiq”. Mau tahu kalimat spontan apa yang terlontar dari bibir mungilnya? Ini dia: “Kalau saya kucing, berarti Ato’ juga kucing ...”.
Ato’ adalah sosok yang tenang, suaranya kecil, bicaranya pelan. Sering kali ia hanya mengangguk untuk mengatakan ‘iya’ dan menggeleng untuk mengatakan ‘tidak’. Untuk hal ini, Athifah merasa perlu membahasnya secara khusus pada suatu pagi di ruang makan. Athifah berkata, “Ma, saya tadi bicara dengan Ato’ , Ato’ begini ....”, ia memperagakan gerakan menganggukkan kepala. “Tidak boleh di’, Ma? Harusnya bilang ‘iya’ ...”, lanjutnya. “Lho, kenapa tidak boleh?”, tanya mama. “Kambing kalau bicara dengan temannya seperti itu....”, jawabnya sambil memperagakan kembali gerakan mengangguk. (Ia pasti memperhatikan gerak-gerik kambing-kambing yang dikurbankan pada idul adha lalu di masjid sebelah) .... Ato’ hanya bisa tersenyum mendengar protes sang cucu.
17 Desember 2010
No comments:
Post a Comment