Monday, June 6, 2011

Menyeterika Mengenakan Kaus Kaki di Tangan? Itulah Affiq!

Karena sudah terbiasa dengan beragam ide aneh produk kreativitas sulung saya Affiq, saat ia mencari-cari kaus tangan kemarin, saya tidak memedulikannya.
            Tadi pagi, saat mendengar ada bunyi-bunyian seseorang sedang menyeterika, saya mengira salah seorang dari orang-orang dewasa di rumah ini yang sedang beraktivitas dengan benda baja panas itu. Namun saya salah, terkejut saya mendapati Affiq yang sedang asyik menyeterika pakaian adik-adiknya dan pakaiannya sendiri. Seragam sekolahnya sudah tergantung rapi di hanger, yang lainnya ia letakkan di dalam keranjang hijau.
            Keterkejutan saya berganti rasa setengah geli demi melihat telapak tangan kanannya yang memegang seterika terbungkus kaus kaki sebanyak 2 lapis. Saya bertanya, “Kenapa pakai kaus kaki di tanganmu, Nak?” Ia menjawab, “Panas, Ma.” Pantasan, kemarin ia mencari-cari kaus tangan ...
            Saya biarkan ia ‘membantu’ saya meski hasil kerjanya tidak rapi. Biar saja, kerapian bukan hal penting buat saya. Yang saya syukuri, ia mau membantu saya kali ini, meski bukan didasari niat ingin membantu tetapi ingin bereksperimen seperti biasa. Selama ini ia belum pernah membantu saya menyeterika. Alhamdulillah kalau kali ini ia bersedia J.
            Athifah yang bertanya, “Sedang apa kakak Affiq?” pada saya, ia respon seperti biasa, dengan menggodanya, “Nanti saya seterika juga bajumu Athifah. Kamu pakai dulu lalu Saya seterika di badanmu.” Alhasil Athifah menjerit seperti biasa. Biasa Affiq, tiada hari tanpa membuat adik perempuannya menjerit-jerit. Senyum puas terkembang di bibirnya jika misi menggodanya berhasil.
            Saya kemudian asyik lagi dengan ‘urusan pagi-pagi rumah’ yang lainnya. Saat meninjau Affiq yang masih asyik menyeterika, saya dibuat terkejut lagi. Kali ini kedua telapak tanggannya memakai kaus kaki, masing-masing 2 lapis. Saya berkata, “Tidak usah pakai kaus kaki di tanganmu, Nak. Justru berbahaya karena lebih licin dibanding tanganmu sendiri yang memegang seterika. Bisa saja itu tergelincir dari tanganmu!” Ia berkilah, “Panas, Ma,” Saya berkata lagi, “Tidak panas, hanya agak hangat. Memangnya ada orang dewasa di dalam rumah ini yang Kamu lihat menggunakan sarung tangan saat menyeterika? Tidak, kan?”
            Jarum jam semakin bergerak maju, ia harus segera menghentikan kegiatan mengasyikkan itu karena harus bergegas bersiap ke sekolah. Hari ini ia masuk pukul 10 pagi. Seperti biasa, sederet kalimat perintah saya ‘muntahkan’ untuknya supaya ia bergegas. Agar ia menuntaskan sarapannya, agar ia menyiapkan buku-bukunya, agar ia memakai seragam sekolahnya, dan agar ia memakai kaus kaki dan sepatunya.
            Saat hendak mandi, ia menuju meja seterika lagi, “Mau seterika handuk, Ma,” saya mendelik, “Ngapain handuk yang dipakai hari-hari mau diseterika? Itu bukan hal yang penting untuk dikerjakan. Ayo bersiap!”
            Lalu saat ia sudah rapi berpakaian, dan belum memakai kaus kaki, ia masih mau menghampiri meja seterika lagi, “Mau menyeterika lagi ah ...” Kali ini saya memerintah lagi, “Affiq ... cepat, lihat jam, ini sudah jam berapa? Ayo cepat!” Tak lama kemudian, ia mondar-mandir dengan hanya sebelah kaus kaki dikenakannya. Terpaksa lagi keluar ‘kata-kata bijak’ saya.
            Sementara ia membawa keranjang pakaian seterikaan dan memasukkannya ke lemari, tak lupa saya memuji Affiq di depan papanya, "Affiq sekarang sudah pintar bantu Mama menyeterika lho Pa." Mudah-mudahan dengan pujian ini, ia mengetahui betapa kami menghargai usahanya. Papa menanggapinya dengan pusitif, "Oh ya? Pintar ya?"
            Kalau dipikir-pikir lagi, sering kali saya tertawa karena kreativitas anak ini sering mengundang tawa walau sebelumnya (sangat) menyebalkan bahkan sering merepotkan saya karena pada akhirnya saya yang harus membereskan segala kekacauan yang ditimbulkannya.
            Beberapa hari yang lalu, saya mendapati bungkus-bungkus bekas makanan kecil tertancap di pagar rumah kami. Pada bungkus-bungkus tertempel label dengan tulisan tangan Affiq di atasnya: “Rp. 500”. Untuk apa coba? Yah, kalau mau dipikir-pikir apa guna ia melakukan itu, bakal menghabiskan waktu. Kalau ditanyakan padanya pun ia akan menjawab, “Tidak tahu.” Tapi itulah Affiq yang tak pernah berhenti bereksplorasi dan bereksperimen.
Makassar, 7 Juni 2011
Tulisan terkait:

No comments:

Post a Comment