Setelah Athifah pergi sekolah, saya keluar hendak membeli kopi di warung. Tiba-tiba lewat penjual ikan bersepeda yang menarik perhatian saya. Ya, perhatian saya sampai tertarik begitu kuat hanya karena ia menyebutkan nama ‘ikan layang’ sebagai salah satu makhluk jualannya. Hmm .. sudah lama tak makan ikan layang. Kebetulan, saya pingin sekali makan ikan rebus khas Sulawesi Selatan. Kalau di daerah Makassar dikenal dengan nama pallu mara, di daerah Bugis dikenal dengan nama nasu bale. Penjual ikan itu rupanya sangat tanggap. Ia menangkap hasrat menggebu melalui lirikan mata saya ke arah makhluk dagangannya. Maka ia berhentilah di dekat saya.
Saya pun kepincut dengan harga yang diusung oleh penjual ikan itu, “Sepuluh ribu, lima ekor,” katanya. Cukup murah. Dasar ibu-ibu, saya mencoba menawar, “Ditambah satu ya?” Si bapak penjual ikan menolak, “Tidak bisa Bu. Ini ulu balu, jadi saya kasih ki’ sepuluh ribu untuk lima ekor. Sebentar lagi naik jadi dua puluh ribu per tujuh ekor.” Wah, beruntung saya menjadi ulu balu – pembeli pertamanya. Pembeli pertama memang biasanya mendapat diskon.
***
Kepada suami yang masih menggeletak di tempat tidur saya berpesan, “Pa, ada ikan layang. Tolong dibersihkan ya.” Iya mengangguk terkantuk-kantuk. Sepagi ini ia masih mengantuk. Kasihan, semalam ia sendirian meladeni anak-anak karena saya teler diserang flu.
Alhamdulillah, suami saya seorang family man. Ia tahu mengerjakan ikan sehingga istrinya yang senantiasa bergidik dengan darah dan sisik ikan ini bebas dari rasa tidak nyaman dalam membersihkan makhluk satu itu. Ia bersedia sekali bila diminta mengerjakannya. Ya iyalah. Kan setelah itu saya yang mengerjakan bumbunya, saya yang masak, dan saya yang cuci piring? Kalau hanya dimintai tolong mengerjakan ikan masak iya tidak mau? Itu kan hanya bagian kecil dari ‘urusan’ ini?
Eh, bukan hanya ikan lho. Kalau ia ingin makan kangkung tumis pun, ia sendiri yang mengerjakannya. Ia yang mencuci dan memotong-motongnya. Terkadang ia pula yang menyiapkan bumbunya, saya tinggal memasaknya saja.
***
Pagi itu saya bisa kembali cuci piring dan membuat sarapan. Ikan yang baru saya beli, saya letakkan di dalam sebuah mangkuk plastik. Seabreg pekerjaan rumah mengantri untuk di kerjakan. Ada berember-ember pakaian hendak dicuci, dua tumpuk pakaian bersih hendak diseterika, lantai kamar mandi hendak disikat, makanan anak-anak yang hendak dimasak, tumpukan piring kotor yang hendak dicuci dan tentu saja ikan itu akan dimasak juga. Bukan hanya itu, ada juga de el el es be ge (dan lain-lain sebagainya) tetek-bengek kecil-kecil yang harus diselesaikan.
5 ekor ikan layang yang sudah dibersihkan oleh suami saya |
Setelah suami saya membersihkan ikan dan memotong-motongnya:
“Pa, tolong ya, seprei dan selimut yang di kamar mandi itu mau dikucek dan dibilas.”
Mencuci tidak tiap hari saya minta tolong kepadanya, wajar dong sesekali minta dibantu.
Mencuci tidak tiap hari saya minta tolong kepadanya, wajar dong sesekali minta dibantu.
“Iya.”
“Nanti tolong disikat lantai kamar mandi ya.”
“Iya.”
Lalu ia bertanya, “Terus pakaian anak-anak ini mau diapakan?”
“Baju Athifah mau disikat, ada nodanya. Yang di ember yang satu itu mau direndam kembali dengan sabun,” kata saya.
Maka ia pun menyelesaikan urusan mencuci pakaian. Saya melanjutkan mengiris-iris bumbu (bawang putih dan bawang merah). Bumbu yang lain juga disiapkan, asam mangga pemberian ibu mertua, sereh yang dikeprek (sebenarnya aslinya tidak pakai sereh, tapi saya pribadi menyukainya), kunyit bubuk, sedikit gula merah, dan garam. Setelah semua siap, dilanjutkan dengan memasak ikan.
Setelah ikan masak:
“Afyad BAB ini, mau dicebok,” katanya.
“Oke, sini.”
Kami pun bergotong-royong menghadapi Afyad J
Kami pun bergotong-royong menghadapi Afyad J
“Habis itu, Mama yang ganti celananya.”
“Wah, Saya masih mau masakkan telurnya anak-anak ini. Papa saja yang ganti.”
Singkat cerita, setelah anak-anak makan, menjelang pukul dua siang saya dan suami menghadiri pesta pernikahan kerabat. Pulangnya saya masih harus menghadiri pertemuan orangtua murid/santri TPA Babul Jannah di dekat rumah hingga pukul 5.
***
Hari itu saya sangat kelelahan. Fisik saya drop hingga radang tenggorokan dan flu menyerang. Tentunya saya butuh istirahat setelah serangkaian pekerjaan rumah dan menghadiri acara keluarga membuat saya tidur pukul 1.30 di malam sebelumnya. Maka saya mengambil posisi memeluk guling selepas maghrib. Suami saya pun dengan rela wara-wiri mengurus anak-anak. Ia memasakkan yang diminta anak-anak, dua kali mencebok Afyad yang BAB, menyuapi Athifah, menjerang air, masak nasi, dan mengurus makanan yang ditumpahkan Afyad di meja makan dan lantai.
Alhamdulillah, saya bangun pukul 22 dengan perasaan lebih enak. Baru shalat isya dan kembali melanjutkan mencuci piring dan beberapa pekerjaan kecil yang harus dikerjakan malam itu. Kami baru naik ke pembaringan pada pukul 1.
***
Dalam kondisi tak memiliki asisten seperti ini, suami harus rela bahu-membahu dengan istrinya mengurus pekerjaan yang oleh sebagian laki-laki dianggap pekerjaan perempuan. Saya bersyukur, beberapa kali mendengar gumaman iri dari ibu-ibu lain terhadap istri yang memiliki suami macam suami saya ini. Ada bahkan yang mengatakan, “Biarpun melahirkan dua puluh kali Saya rela kalau suami Saya seperti ini,” saat melihat suami saya menggendong anak kami – membiarkan saya melenggang santai. Tak jarang mereka mengatakan, “Enaknya kalau suamiku seperti itu. Suamiku tidak tahu apa-apa soal mengurus anak.”
Setelah bertahun-tahun menikah baru saya menyadari bahwa perilaku suami yang ringan tangan membantu istrinya dalam melakukan pekerjaan rumahtangga itu baru terdeteksi setelah menikah, bukan sebelum menikah. Mana pernah saya memikirkan hal ini dulu sebelum menikah? Tetapi Allah sungguh Maha Bijaksana, ia menjodohkan saya dengan lelaki yang rela membantu istrinya, bahkan membelikan pembalut ke warung pun ia tak sungkan. Pst, buat adik-adikku yang belum nikah, tambahkan ke do’a kalian ya: mohon diberikan suami yang ringan tangan membantu istrinya melakukan pekerjaan rumahtangga.
Sebuah hadits menyebutkan: Dari Abu Hurairah ra., Rasulullah bersabda: “Orang mukmin yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik akhlaknya. Dan sebaik-baik kalian adalah yang paling baik terhadap istrinya.” (HR. Tirmidzi, Abu Daud)
Ada pula hadits berikut: dari Al-Aswad, ia berkata, “Saya bertanya kepada Aisyah ra., ‘Apa yang Rasulullah lakukan untuk keluarganya?’ Ia berkata, ‘Beliau selalu membantu urusan rumahtangga dan apabila datang waktu shalat, beliau bergegas melakukannya.” (Bukhari)
Lalu, apakah suami saya adalah seseorang yang sempurna dengan kisa saya di atas? Come on, mana ada manusia yang sempurna. Seperti tak sempurnanya saya, tak sempurna pula ia. Tapi kan tak pantas saya mebeberkannya di sini. Biar saja kekurangannya menjadi konsumsi saya pribadi, tersimpan dalam sebuah bilik terkunci dan tak ada yang boleh memasukinya. Kami sama-sama tak sempurna tetapi kami sama-sama saling membutuhkan. Oya, hanya satu hal lagi yang bisa saya bagi: biarlah kelebihannya melengkapi kekurangan saya karena kelebihan saya – insya Allah melengkapi kekurangannya.
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya adalah Ia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir (Ar-Rum: 21).
Subhanallah, alhamdulillah. Terimakasih tak terkira ya Allah. Terimakasih ya suamiku atas segala pengertianmu meringankan bebanku. Maafkan kalau mendapatkanku bersikap tak manis kala beban rutinitas sedemikian besar menghimpit.
Makassar, 23 Januari 2012
Boleh dibaca juga tulisan-tulisan yang ini ya:
No comments:
Post a Comment