Santriwati-santriwati ini sedang menghafal bersama |
Di Makassar, untuk masuk ke SMP negeri – siswa yang bersangkutan diharapkan sudah memiliki surat tanda tamat belajar al-Qur’an yang dikeluarkan departemen Agama RI. Malah ada sekolah yang mengharuskannya. Ide ini patut diacungkan jempol karena banyak anak usia 11 – 13 tahun belum bisa membaca al-Qur’an dengan lancar. Hal ini tentu akan memaksa mereka untuk serius belajar membaca al-qur’an.
Pak Haryadi tengah mendengarkan hafalan para santri |
Beberapa TPA di Makassar menyelenggarakan penamatan warganya dengan mengadakan wisuda. Seperti wisuda sarjana di perguruan tinggi, mereka dibuatkan acara seremonial dan dipakaikan jubah dan toga wisuda. Pasti mereka bangga jika bisa memakai pakaian wisuda seperti itu.
Tapi sebelumnya mereka harus melalui ujian dahulu. Syarat mutlak yang mereka harus penuhi – tentu saja khatam 30 juz al-Qur’an dan pintar mengaji, tidak terbata-bata lagi. Selain itu ada ujian hafalan. Mereka harus menghafal sejumlah surah dari juz ‘amma dan sejumlah ayat yang sudah ditentukan seperti ayat Kursi dan lain-lain.
Penyelenggaraan seperti ini tentu saja butuh biaya. Nah, rapat kali ini memutuskan setiap santri yang hendak tamat harus membayar Rp. 175.000. Cukup murah untuk ukuran Makassar karena ada yang menyelenggarakan wisuda semacam ini mengharuskan tiap santri membayar sejumlah Rp. 350.000.
Tahun ini Babul Jannah akan menamatkan 12 orang santrinya. Tetapi acara wisuda itu sendiri akan diikuti santri-santri dari TPA lain, dari TPA-TPA di sekitar jalan Rappocini. TPA-TPA yang tak mampu mengadakan wisuda menumpangkan santri-santri mereka di Babul Jannah sehingga mereka bisa ujian, wisuda, dan mendapatkan sertifikat tanda tamat baca al-Qur’an dari departemen Agama melalui Babul Jannah.
Affiq belum bisa ikut karena ia masih juz 21. Affiq baru ikut mengaji di TPA ini pada tahun 2010. Ia beserta 100-an orang santri lainnya mengaji setiap hari kecuali Selasa dan Jum’at. Jika di sekolah ia masuk pagi, ia mengaji siang. Jika ia masuk siang maka ia mengaji di pagi hari. Khusus hari Ahad, semua santri harus mengaji siang.
Ada yang mengatakan, "Kenapa bisa mengajinya sekian tahun, tidak bisa tamat cepat?" Itu karena bacaan mereka dikontrol oleh gurunya. Satu anak hanya bisa menyelesaikan satu halaman setiap harinya, lalu ditulis di buku Prestasi mereka. Dan guru yang menghadapi mereka menandatanganinya. Itu makanya tak seperti di beberapa tempat yang santrinya bisa tamat mengaji dalam waktu beberapa bulan saja.
Ada yang mengatakan, "Kenapa bisa mengajinya sekian tahun, tidak bisa tamat cepat?" Itu karena bacaan mereka dikontrol oleh gurunya. Satu anak hanya bisa menyelesaikan satu halaman setiap harinya, lalu ditulis di buku Prestasi mereka. Dan guru yang menghadapi mereka menandatanganinya. Itu makanya tak seperti di beberapa tempat yang santrinya bisa tamat mengaji dalam waktu beberapa bulan saja.
Siang itu, saat saya datang ke TPA pada pukul tiga siang, santri masih sementara mengaji. Sudah ada dua orang ibu yang anaknya juga mengaji di situ. Santri yang hadir ada 70 orang. Ruang seluas 20-an meter persegi itu terasa sesak. Udara segar yang mengalir melalui dua pintu yang terbuka dan jendela direbuti lebih dari 70 orang. Semilir angin yang ditimbulkan oleh dua buah kipas angin yang terpasang tidak bisa membantu menguapkan kepengapan yang terasa sangat nyata.
Jl. Rappocini Raya lr. 3 no. 3 |
Empat orang guru dengan tekun menghadapi ketujuhpuluh anak ini. Pak Haryadi, Raodah Haryadi - putrinya, ibu Narna dan seorang guru laki-laki. Tak putus rasa salut saya buat mereka yang bersedia dibayar minim oleh anak-anak ini. Dari 100-an anak, hanya separuhnya yang membayar. Itu pun tak tetap tiap bulan, ada juga yang jumlahnya tak tetap. Paling tinggi mereka membayar Rp. 20.000. Tetapi lebih banyak yang membayar di bawah itu.
Hanya Allah yang bisa membalas jasa pengajar TPA seperti mereka. Hanya Allah saja yang tahu berapa besar balasan yang pantas untuk mereka. Yang jelas, insya Allah mereka nanti memiliki bekal amal jariyah dari para santri yang akan tetap melantunkan ayat-ayat suci dari mulut mereka entah sampai kapan. Ya, mudah-mudahan saja ada di antara para santri ini yang menjadi pembaca tetap al-Qur’an. Mudah-mudahan ada yang tidak meninggalkan tadarus al-Qur’an meski ia sudah khatam belajar mengajinya. Karena selayaknya kitab suci ini dibaca seumur hidup hingga malaikat maut menjemput.
Makassar, 26 Januari 2012
Silakan dibaca juga tulisan-tulisan yang lainnya:
No comments:
Post a Comment