Monday, June 13, 2011

Bukan Ibu Rumah Tangga Biasa

Satu hal yang hingga kini sering membuat saya sedih adalah jika ibu saya membicarakan tentang saya kepada kerabat kami sebagai seorang perempuan yang ‘hanya ibu rumah tangga biasa’. Di mana-mana, adalah hal lazim bagi orang-orang seusia ibu saya jika bertemu, saling menceritakan tentang keberhasilan anak-anak mereka dalam hal kesuksesan jabatan atau materi. Ada bahkan menyebutkan anaknya dengan, “Anak Saya yang nomor dua, yang notaris,” lalu dilanjutkan dengan, “Anak Saya yang nomor tiga, yang doker gigi,” sementara ibu saya hanya bisa menyebutkan “hanya ibu rumah tangga biasa”, jika menceritakan tentang saya dan adik perempuan saya. Lain halnya jika beliau bercerita tentang adik laki-laki saya. Terlihat jelas binar bangga di mata beliau (diperjelas dengan nada suara penuh kebanggaan) jika menceritakan tentangnya yang sejak SD selalu mendapat peringkat juara umum di sekolah, demikian hingga bangku SMA lalu lanjut di ITS, dan sekarang bekerja di salah satu perusahaan pupuk di Kalimantan dalam bidang IT. Tak pernah beliau sebangga itu jika bercerita tentang dua orang anak perempuannya yang hanya ibu rumah tangga biasa ini.
            Bukan hanya sekali dua saya melihat ekspresi kecewa beliau tentang kami. Sangat sering. Saya maklum, ibu dan bapak saya yang tidak pernah mencapai gelar sarjana sangat berharap anak-anaknya berhasil menjadi sarjana lalu bekerja. Sederhana sebenarnya, seperti harapan kebanyakan orangtua, apalagi saya dan adik perempuan saya, sama-sama sarjana teknik (Elektro), lulusan perguruan tinggi negeri terbaik di kota kami, bahkan di Indonesia timur. Pastilah sangat membanggakan jika kami menjadi wanita karir yang sukses (secara duniawiah) di bidang ini.
            Bukannya tak pernah mencari kerja, saat lulus kuliah tahun 1997, pekerjaan demikian sulitnya dikarenakan krisis saat itu. Saya hanya sempat bekerja sebentar di sebuah perusahaan jasa komputer kecil kemudian menikah dan mengikuti suami ke pulau seberang. Saya masih terus melamar pekerjaan saat belum memiliki anak, pernah dites namun gagal. Setelah melahirkan anak pertama pada tahun 2001, saya pendam keinginan bekerja di luar rumah demi mengasuh anak saya.
            Sejak menikah, saya rajin mencari informasi melalui media cetak, televisi, dan internet berkenaan dengan kehidupan berkeluarga. Mulai dari membina hubungan suami-istri, bagaimana mengasuh anak (secara fisik, psikis, dan islami), hingga berburu buku-buku resep masakan. Secara tidak sadar, pelan-pelan saya memiliki patron sendiri untuk saya terapkan kepada anak saya. Apalagi saya dan suami bukanlah orang yang begitu saja meng-copy-paste cara orangtua/mertua mendidik kami. Namun tak saya pungkiri, ada nilai-nilai baik dari mereka yang kami adaptasi. Sejujurnya, semakin lama, saya semakin tak ingin menjadi wanita karir karena pembagian waktu pasti menjadi masalah besar. Sebenarnya jika menjadi pengajar lebih fleksibel dalam hal waktu tetapi saya tak bisa ‘menikmati’ profesi itu karena saya memiliki masalah kesehatan di tenggorokan sehingga untuk cuap-cuap depan orang sangat menyiksa saya. Saya pernah memberikan kursus privat, hanya harus cuap-cuap kepada satu orang saja, tenggorokan saya langsung sakit. Lagi pula saya semakin sadar, tugas utama saya adalah jihad di rumah tangga saya.
            Sewaktu anak pertama saya menginjak usia 4 tahun saya pernah melamar-melamar pekerjaan lagi, tapi belum ada rezeki. Saya juga sempat mengadakan usaha outsorcing bersama teman-teman sekampus, alhamdulillah ada beberapa pekerjaan tetapi karena satu dan lain hal, usaha ini akhirnya berhenti. Tetapi hal ini bukanlah hal yang disukai ibu saya karena waktu itu kami baru merintis jadi tidak menghasilkan apa-apa.
            Kemudian saya hamil anak kedua. Sejak itu saya tidak pernah lagi mencari-cari pekerjaan. Saya sadar sepenuhnya beratnya tanggung jawab mengasuh anak. Di zaman sekarang, menjadi wanita karir adalah hal yang dilematis. Sementara itu saya tidak pernah berpikir menyerahkan urusan pengasuhan anak-anak kepada orang lain. Orangtua kami saja sudah berbeda pandangan dalam banyak hal dengan kami, terlebih lagi orang lain yang tidak ada hubungan darah dengan kami. Tanggung jawab pengasuhan anak-anak harus saya pikul bersama suami, karena kami yang akan dimintai pertanggungjawabannya kelak, bukan orangtua kami, ataupun orang lain. Begitu banyak bahan bacaan dan pengetahuan dari berbagai media yang semakin memperkuat keyakinan itu. Ditambah lagi, sangat sulit mencari orang yang bisa dipercaya untuk menjaga anak-anak di zaman sekarang. Kerabat pun sulit.
            Hingga sekarang masih saja ada lontaran-lontaran kecewa dari ibu saya  tentang ‘hanya ibu rumah tangga biasa’-nya saya. Tak apalah. Suatu saat entah kapan beliau akan menyadari, betapa tak pernahnya saya (dan juga adik saya) merepotkan beliau sekejap pun. Jika ibu-ibu muda lain selalu dibantu ibu-ibu mereka memandikan bayi-bayi mereka. Ibu tak perlu melakukannya untuk saya. Sejak anak pertama saya lahir, saya sendiri yang memandikannya, begitu pun saat anak kedua saya lahir. Hanya anak ketiga saya yang tidak, karena ia dimandikan oleh suami saya berhubung saya mengalami pendarahan dalam setelah melahirkan hingga HB saya drop, membuat saya tidak memiliki kekuatan untuk memandikannya.
            Jika ibu-ibu lain dibantu oleh ibu-ibu mereka dalam memandikan, memasakkan makanan, dan menyuap anak-anak mereka. Ibu saya tak perlu melakukan itu. Saya yang melakukannya, dengan dibantu suami saya, sesekali malah dibantu ayah saya.
            Jika ibu-ibu lain dibantu oleh ibu-ibu mereka dalam menjaga anak-anak mereka saat mereka bepergian, ibu saya tak perlu melakukan itu karena jika saya keluar sejenak, anak-anak saya dijaga oleh ayah saya atau suami saya.
            Jika ibu-ibu lain dibantu oleh ibu-ibu mereka dalam mencuci pakaian anak-anak mereka saat asisten rumah tangga berhalangan atau saat mereka sakit, ibu saya tak perlu melakukan itu karena sebulan setelah melahirkan anak kedua dan 2 bulan setelah melahirkan anak ketiga, saya sendiri yang mencuci pakaian-pakaian bayi saya, dan di saat-saat lain pun saya sendiri yang mencucinya, sesekali dibantu oleh suami saya. Sudah sekitar 8 tahun ini kami tak punya asisten rumah tangga. 4 tahun terakhir ini sempat ada asisten rumah tangga, tetapi hanya membantu saya mencuci pakaian setelah melahirkan anak kedua (hanya selama sebulan) dan setelah melahirkan anak ketiga (hanya selama 2 bulan).
            Walau sudah 9 tahun saya tinggal serumah dengan ibu (dalam 12 tahun pernikahan saya), bisa dihitung dengan jari hanya berapa kali ibu saya ikut menyuap ketiga anak saya. Selama ini saya membantu ibu dalam urusan dapur, dan pekerjaan rumah tangga lain, bahkan selama saya hamil (sejak baru ketahuan positif hamil hingga sehari sebelum melahirkan), baru habis melahirkan, atau saat saya sedang tidak enak badan sekali pun.
            Saya tak bisa berharap ibu saya berhenti berobsesi saya menjadi seorang wanita karir. Saya hanya bisa berharap, kelak suatu hari Allah akan membukakan hati beliau bahwa saya bukanlah seorang ibu rumah tangga biasa, karena saya – alhamdulillah, atas rahmat Allah – punya kekuatan luar biasa selama ini dalam membesarkan ketiga anak saya, tanpa asisten rumah tangga, dan tanpa perlu campur tangan beliau meski kami tinggal satu rumah.

No comments:

Post a Comment