Tuesday, June 28, 2011

Jaka Sembung Pakai Baju Berkerah, Kalau Nyambung Jadinya Pasti Indah

Indonesia berada di peringkat tertinggi memiliki angka perceraian paling banyak dalam setiap tahunnya, dibandingkan negara Islam di dunia lainnya. Hal tersebut diungkapkan oleh Dirjen Bimas Islam Departemen Agama Nazaruddin Umar[i]
Dalam lima tahun terakhir kasus perceraian meningkat lebih dari 40 persen, di mana pada lima tahun lalu angka perceraian masih di bawah 100 ribu, tetapi kini mencapai sekitar 200 ribu. "Sekitar dua juta pasangan menikah setiap tahun, di sisi lain sekitar 200 ribu pasangan juga bercerai setiap tahun.Angka perceraian 10 persen dari angka pernikahan ini besar sekali," kata Nasaruddin Umar.[ii]


Meningkatnya angka perceraian ini disebabkan oleh 14 faktor. Di antaranya cerai karena pilkada dan politik, perselingkuhan oleh istri yang angkanya naik drastis, kawin di bawah umur, dan kekerasan dalam rumah tangga. Bahkan kasus cacat karena kecelakaan sepeda motor juga menjadi salah satu dari 14 faktor penyebab perceraian di Indonesia. Fakta lain dari kasus perceraian yang tercatat pun menunjukkan adanya pergeseran bentuk perceraian. Sekitar 70 persen perceraian yang terjadi di Pengadilan Agama adalah cerai gugat. ”Data tersebut juga menunjukkan trend pergeseran kasus cerai di mana istri yang menggugat cerai,” tutur Nasaruddin.[iii]
Campur tangan pihak keluarga pasangan juga bisa menjadi salah satu penyebab perceraian. Salah seorang kerabat saya, Nina (nama samaran) misalnya, selalu saja bermasalah dengan ipar-iparnya. Mereka sampai meminta Andi (nama samaran) – suami Nina agar menceraikan Nina hanya karena Andi menolak ikut andil dalam menyediakan uang suap bagi salah seorang adiknya yang hendak mendaftar tes CPNS sebesar 20 juta rupiah dari 40 juta rupiah yang diminta calo CPNS. Saya pernah mendengar sendiri, salah seorang adik Andi berkata-kata kasar, memaki-maki Nina. Andi sendiri, tidak pernah setuju dengan sikap keluarganya.
Andi adalah seorang perantau yang cukup berhasil di Papua. Keberhasilannya dilatarbelakangi oleh kegigihannya dalam memperjuangkan hidupnya. Waktu masih di kampung, di salah satu pedalaman di Sulawesi Selatan, anak kedua dari 10 bersaudara ini merupakan anak yang sangat berbakti kepada kedua orangtuanya. Saking berbaktinya, kedua orangtuanya tidak membolehkan ia mengejar cita-citanya dengan melanjutkan pendidikan di perguruan tinggi. Orangtuanya ‘memilih’ Andi di antara saudara-saudaranya yang lain untuk tinggal di kampung saja, mengurusi sawah mereka yang cukup luas.  Andi, anak muda yang cerdas. Sebenarnya ia berhasil memperoleh kursi di salah satu perguruan tinggi negeri di pulau Jawa melalui jalur bebas tes. Namun anugerah itu tak mungkin diambilnya mengingat orangtuanya tidak bersedia membiayai kuliahnya.
Dengan tekad baja, Andi meninggalkan kampung  halaman pada menjelang penghujung tahun 80-an. Walau tanpa dukungan dana, ia bekerja keras membiayai sendiri kuliahnya di kota Makassar. Ia kerja serabutan. Apa saja dikerjakannya, mengayuh becak sekali pun. Yang penting halal. Singkat cerita, ia hampir menyelesaikan kuliahnya. Ia tak sanggup membayar ‘bagian akhir’ S1-nya, lalu merantaulah ia ke Papua. Orangtuanya tak peduli, demikian pula dengan saudara-saudaranya.
Sekarang Andi menjadi juragan ojek. Belasan sudah sepeda motor dimilikinya. Ia juga memiliki bengkel yang mengerjakan pembuatan teralis. Bengkel yang ikut dimodali oleh Nina, dan dibantu oleh ibunda Nina ini cukup laris. Saudara-saudara dan orangtua Andi, entah mengapa – merasa berhak menikmati keberhasilan ini.
Beberapa kali perseteruan antara Nina dan keluarga suaminya hanya karena masalah sepele. Misalnya saja, waktu Nina datang dari Papua pertengahan tahun lalu, saat itu Andi lebih dulu tiba dengan kapal laut. Karena kakak Nina menjemput di bandara, ia berpesan kepada saudara-saudara suaminya untuk tidak menjemputnya. Tetapi ipar-iparnya berkeras, dengan 2 mobil mereka menjemput ke bandara. Di atas mobil, salah seorang dari mereka mengata-ngatai Nina, Nina dibilanginya ‘sombong’. Sangat tidak nyaman Andi mendengarnya. Apalagi saat mengetahui Nina ternyata tidak membawa penganan khas Papua yang mereka sukai sebagai buah tangan, bertambahlah keculasan mereka.
Salah seorang ipar Nina ikut merantau ke Papua. Di sana keculasannya berlanjut. Hingga suatu saat bertengkar hebatlah ia dengan Nina. Melalui sms-sms yang dikirim Nina kepada saya, bisa saya pahami permasalahannya. Namun ada hal yang membuat saya gemas sekali pada Nina, karena ia mengatakan sudah tidak kuat lagi dan ada kemungkinan minta pisah dengan Andi. Bukan hanya itu, ada hal yang membuat Nina merasa di atas angin, ibunya mendukung sepenuhnya dengan memarahi Andi, “Kalau sudah tak suka pada anakku, pulangkan saja ia. Tapi jangan harap Kamu bertemu dengan anak-anakmu lagi!”
Jaka Sembung makan putu, tidak nyambung bu.
5 rangkaian ‘gerbong’ sms saya kirim padanya sebagai balasan. Singkatnya saya katakan, kalau ada masalah supaya dipilah-pilah, ini bukan masalah antara dia dan suaminya. Andi tak salah, ia pun tak suka dengan kelakuan adiknya. Jangan membuatnya stres dan jangan sampai menjadi istri durhaka. Nabi kita pernah bersabda, seandainya manusia boleh menyembah manusia lain, ia akan menyuruh istri untuk menyembah suaminya.
Jaka Sembung bawa kera, yang nyambung kalau bicara.
Tidak banyak ibu yang bisa bersikap bijak dalam hal ini. Tanpa disadari naluri keibuan membuat mereka sepenuhnya mendukung putri mereka, secara salah. Tetapi ada yang bisa. Esti yang mandiri, wanita karir yang merantau di Jakarta. Suaminya sudah yatim-piatu sejak lama. Ketiga kakak perempuannyalah yang mengambil-alih peran ibu untuknya. Mulanya Esti mencoba bertenggang rasa, kala pulang kantor tiba-tiba gordennya sudah diganti oleh iparnya dengan alasan warnanya tidak serasi dengan warna dinding, ia diam saja. Lalu rentetan kejadian lain terjadi dan ditelannya dengan terpaksa. Suatu ketika saat tengah hamil anak pertamanya, sebelum ke kantor Esti berpesan kepada Atun - pembantunya untuk memasak makanan kesukaannya. Lelah sepulang kantor, ia membuka tudung saji di meja makan. Bukan makanan favoritnya yang ia dapati melainkan masakan hasil perintah salah seorang kakak iparnya yang terhidang, dengan alasan makanan itu lebih sehat buat ibu hamil[iv].
Esti menyimpan geramnya. Ke-3 iparnya masih merajalela. Pasca melahirkan, akhirnya meledaklah kegeraman yang selama ini dipendamnya. Pasalnya, suatu hari sepulang kerja ia tak mendapati Atun dan bayinya di dalam rumah yang gelap dan terkunci rapat. Ketiga ipar tak ada yang tahu, tetangga mengatakan ada mobil yang menjemput Atun dan bayinya. Ia panik sekali. Tiba-tiba muncul salah seorang ipar menggendong bayinya. Betapa marahnya Esti karena sebelumnya sang ipar ini mengatakan bayinya tak bersamanya. Sang ipar berdalih, saat Esti menelepon ia tengah mengajari Atun bagaimana cara mengasuh bayi yang benar dan saat itu ia belum selesai. Jadilah ia berbohong supaya Esti dan suaminya tak menjemput karena pelajarannya belum selesai. Esti juga memarahi suaminya yang dianggap tak tegas sehingga ipar-iparnya terlalu berani mencampuri.
Karena tak tahan, Esti menelepon ibunya dan menceritakan semuanya. Baru kali itu ia membuka masalah rumah tangga pada ibundanya. Ibunya mendengarkan dengan tenang, menanggapi seperlunya lalu menyuruh Esti menenangkan diri dan menelepon kembali keesokan harinya.
Esoknya, mereka mengobrol lama. Menurut ibunya, masalah antara Esti dan ipar-iparnya hanyalah masalah komunikasi. Esti yang terbiasa memiliki semua hal untuknya sendiri karena bertahun-tahun hidup sendiri, sulit berbagi. Sementara para ipar yang selama ini bergotong-royong memenuhi kebutuhan kasih-sayang suaminya juga tak bisa menerima sikapnya yang menutup diri dari uluran tangan mereka. Sehingga terjadilah: semakin erat Esti menggenggam erat privasinya, mereka justru semakin mendekat masuk. Ibunya menyarankan Esti untuk lebih membuka diri. Saling membantu antar-saudara wajar, Esti justru harus melibatkan mereka dalam kesehariannya sehingga mereka tidak perlu melakukan sesuatu tanpa sepengetahuannya.
Saat Esti protes, sang ibu tertawa dan berkata bahwa Esti telah melibatkan dirinya saat hendak melahirkan hingga merawat bayinya, mengapa Esti tak melibatkan ipar-iparnya? Menurut ibunya jika Esti mengulurkan tangan, mereka tak akan mendesak masuk. Esti merenungkan kata-kata ibunya dan menjalankan. Ia mendekati ketiga iparnya sewajar mungkin hingga perlahan hubungan mereka menjadi sangat nyaman. Akhirnya, bagi Esti tak ada lagi istilah ‘ipar’ karena rasa sayangnya kepada mereka sama besarnya dengan rasa sayangnya kepada saudara kandungnya sendiri.
Sungguh akhir yang indah. Seandainya semua ibu seperti ibunda Esti, niscaya angka perceraian bisa sedikit ditekan.  Jaka Sembung pakai baju berkerah, kalau nyambung jadinya pasti indah.
Makassar, 11 Mei 2011


[i] http://www.eramuslim.com/berita/nasional/angka-perceraian-di-indonesia-tertinggi-dibanding-negara-islam-lain.htm
[ii] www.lintasberita.com/.../Wooowww-Angka-Perceraian-Meningkat-70-Persen -Pihak-Istri-Yang-Menggugat (2010)
[iii] http://www.republika.co.id/berita/breaking-news/nasional/10/02/26/105073-waspadalah-angka-perceraian-terus-naik
[iv] Asma Nadia, dkk., “The Real Dezperate Housewives”, Lingkar Pena Publishing House, 2005.


Tulisan lain yang terkait:
Antara Hakku dan Haknya

Bercandanya Jelek!




No comments:

Post a Comment