Friday, December 23, 2011

Ada Pertolongan di Trans Studio

Begini ... bagaimana kalau dibaca juga: Trans Studio yang Selalu Malam dan Perjalanan Menuju Trans Studio karena tulisan ini semacam trilogi ... #jiaah trilogi ... gubraks J ... #





Entrance

Saya dan Athifah berjalan lambat-lambat keluar Trans Studio. Saya tak tahu apakah SMS-SMS yang coba saya kirim ke suami saya tadi itu diterima olehnya atau tidak karena tak ada tanda-tanda ‘Send’ di HP saya, pun tak ada balasan sama sekali darinya. Dua kali saya mencoba meneleponnya, terdengar deringan beberapa saat lalu HP langsung mati, baterenya akhirnya habis sama sekali. Mudah-mudahan saja ia datang pukul tiga. Jika tidak, apa yang harus saya lakukan?

Tiba-tiba ada suara menyapa, “Kak Niar!”

Langkah kami terhenti. Kami menoleh ke arah suara yang menyapa saya.

Siapa yang mengenali saya di tempat ini ya?

Saya perhatikan wajah perempuan berjilbab itu. Saya mengenalnya. Ya, saya pernah melihat wajahnya di fesbuk. Ini wajah Mir ...

“Saya Mirna,Kak,” katanya memperkenalkan diri.

Betul dugaan saya, ia Mirna, teman fesbuk dan teman di sebuah grup menulis, sekaligus yunior berjarak 15 angkatan di kampus (astaga tua amat saya ya?).

Saya menyambut salam tangannya dengan hangat dan erat juga saling menempelkan pipi, istilahnya ‘cipika-cipiki’. Dunia maya membuat kami merasa sangat akrab.

Koq tahu Saya ya?” tanya saya. Saya masih bingung, bagaimana bisa ia mengenali saya.

“Kita sudah pernah ketemu, Kak,” katanya lagi.

“Oh iya, di Blogilicious ya,” saya menyebut sebuah event – seminar blogging. Saya baru ingat, di event itu saya bertemu banyak perempuan muda berjilbab.

Kami berbincang-bincang sejenak. Ia dan seorang temannya yang juga berjilbab baru mau masuk ke dalam (aduh maaf ya dek, saya lupa menanyakan namanya, tolong beritahu saya namanya ya Mirna kalau komen di sini).

Saat Mirna menunjukkan gelagat hendak pamit, saya memberanikan diri mengatakan hal ini, “Batere HP-ku habis, Saya tidak bisa menelepon papanya Athifah. Boleh minta tolong SMS-kan, untuk menyampaikan kepadanya supaya menjemput jam tiga?”

Teman Mirna menawarkan kepada saya untuk menggunakan HP-nya, “Pakai maki’, Kak.”

Saya bertanya balik, “Tidak apa-apa ji?” (Soalnya saya jadi tidak enak. Saya hanya minta tolong di-SMS-kan tapi ia malah menawarkan menelepon. Saya tahu bagi sebagian orang, pulsa adalah barang berharga).

“Tidak apa-apa, Kak. Pakai maki’,” ujarnya lagi, sembari tersenyum.

Alhamdulillah. Saya menghubungi HP suami saya. Nada sambung terdengar. Ah, hanya sebentar lalu tulalit. Saya mencoba sekali lagi. Begitu lagi: nada sambung yang diakhiri bunyi tulalit.

“Waah, tidak bisa,” kata saya

Mirna menyerahkan HP-nya untuk saya gunakan. Begitu lagi, terdengar nada sambung namun diakhiri bunyi tulalit yang cukup bikin pekak telinga.

“Tolong di-SMS-kan saja ya. Bilang padanya kalau Saya minta dijemput jam tiga,” saya meminta tolong lagi.

Mirna mengetikkan dan mengirimkan SMS kepada suami saya. Lalu mereka pun pamit, hendak menikmati Trans Studio[i].

Syukurlah ... ada pertolongan tak terduga di dalam sini. Siapa menyangka saya bertemu mereka di tempat ini?

Kedatangan kami (kembali) di jalur antrian Trans Studio disambut ramah oleh petugas di situ dengan ucapan, “Kalau sudah keluar tidak bisa masuk lagi ya Bu. Kalau mau masuk lagi harus membeli karcis kembali.”

“Iya,” sambut saya mantap.

Kaki saya sudah sedemikian pegalnya. Athifah sudah menyerah. Tiga jam wara-wiri di dalam sana sudah lebih dari cukup baginya. Kami melenggang, meninggalkan ‘kota kecil’ yang selalu malam itu dengan bahagia. Athifah bahagia karena telah puas bermain, saya bahagia karena melihatnya bahagia.

Pemandangan di atrium
Di atrium, saya melihat Yamin – teman SMA yang juga teman kuliah saya (seangkatan). Ia berdiri bersama seorang gadis mungil berjilbab sepantaran Athifah. Kelihatannya sedang menunggu seseorang. “Yamin,” sapa saya. Ia menoleh.

Kami pun mengobrol. Istrinya – Murni, yang juga adik angkatan di kampus sedang berada di sebuah restoran bersama beberapa orang, salah seorang dari mereka adalah Subhan – adik angkatan saya juga di kampus.

Tanpa malu-malu (sebab kalau malu buntu), saya meminjam HP Yamin untuk menelepon suami saya. Ternyata HP-nya juga sedang lo-bat. Saya tak berhasil menghubungi suami saya. Tak lama kemudian Murni menghampiri kami. Saya berbasa-basi sejenak dengannya. Tak mungkin saya meminjam HP-nya, karena urusannya di tempat itu belum selesai. Beberapa menit setelah itu ia pamit kepada saya.

Saya dan Athifah berjalan. Kekurangan saya dalam segi kecerdasan ruang-spasial menuntun saya mengambil jalan yang salah. Kami menuruni tangga dan mendapat tempat parkir mobil. Glek, tadi tidak lewat sini. Untung ada satpam yang berjaga di situ. Ia menunjukkan arah yang benar kepada kami.

Masih di eskalator, tiba-tiba saya melihat suami saya sedang berjalan sepuluh meter di depan kami ke arah yang hendak kami tuju. Rasanya seperti mendapatkan durian runtuh. Saya ajak Athifah untuk berteriak memanggil papanya.

Pas.
Semuanya pas.
Pas HP mati, pas bertemu Mirna dan temannya. Lalu bertemu Yamin dan istrinya.
Pas kembali ke jalan yang benar setelah tersesat, pas bertemu suami saya. Terimakasih ya Allah.


***

Sekolah Affiq
Di 'pertigaan' itulah saya sedang menunggu suami saya
ketika Aisyah datang menghampiri


Kilas balik.

Masih pada hari itu, di sekolah Affiq, pada pagi hari saat sedang menunggu suami saya menyelesaikan suatu urusan di ruang kepala sekolah ...

“Tante, boleh pinjam HP-nya?” pinta seorang gadis manis berpakaian putih-merah dan berjilbab putih.

“Oh, boleh. Mau telepon siapa?” tanya saya.

“Mau telepon mama,” jawabnya.

Saya mengenalnya. Namanya Aisyah, teman sekelas Affiq.
Saat itu pulsa saya sudah mendekati sekarat. Kalau mau awet saya harus menggunakan fasilitas hemat kartu pra bayar saya yang tarifnya hanya Rp. 1.000 untuk pemakaian selama enam puluh menit hingga sore hari.

Hampir saja saya mengetikkan kode akses fasilitas hemat itu ketika saya tiba-tiba menyadari Aisyah sedang terburu-buru. Bisa makan waktu bermenit-menit menunggu proses persetujuan dari pihak operator. Dan hasil akhir proses itu belum tentu berhasil. Saya mengurungkan niat dan memberikan HP kepada Aisyah. Saya tak bertanya lagi untuk apa dia menelepon ibunya. Bodoh sekali kalau saya mempertanyakannya lagi, sudah barang tentu ada keperluan penting yang hendak ia sampaikan kepada ibunya, bukan hendak bergosip. Apalagi jam belajar sudah berlangsung.

Saya tak mendengarkan apa yang dikatakan Aisyah pada ibunya karena ia membelakangi saya saat menelepon. Ketika ia mengembalikan HP sambil berkata “Terimakasih” pun, saya tak berkata apa-apa, hanya menjawabnya dengan senyuman.

***

Apakah ini kebetulan?
Tidak, saya yakin ini bukan suatu kebetulan.
Inilah garis hidup saya hari itu. Saya bebas berkehendak memilih jalan dan Allah yang menentukan ujungnya.
Maha suci DIA yang memberi pertolongan yang tidak disangka-sangka datangnya.

Makassar, 23 Desember 2011






[i] Belakangan baru saya tahu, semua SMS yang terkirim sampai di HP suami saya hanya saja ia benar-benar tak sempat membalasnya.

No comments:

Post a Comment