Thursday, December 29, 2011

Mengenang Kelembutan dan Seni dalam Dirinya

           Suatu hari saat masih kelas 2 SD, beberapa teman membuka buku catatan saat ulangan. Saat itu wali kelas meninggalkan kami sebentar untuk sebuah keperluan. Entah mengapa saya terpikir untuk mengikuti perbuatan mereka, saat itu tak terlintas di pikiran tentang resiko dari perbuatan itu. Itulah kali pertama saya mencontek tetapi saya yang masih sangat polos belum mengetahui istilah itu. Saya masih membuka-buka buku catatan ketika terdengar sebuah suara bagai halilintar, “MUGNIAR!!!” Ya, suara itu menyebut nama saya.

SD Mangkura sekarang
Sumber gambar:
http://totallyjumping.blogspot.com
         Saya mengangkat wajah, menoleh ke arah suara bernada keras itu. Pandangan saya beradu dengan tatapan tajam sang empunya suara – ibu Retno, wali  kelas saya! Tak saya sangka, ibu guru bertubuh mungil dan bersuara lembut itu bisa juga membentak dan menatap galak bagai sebilah pisau. Saya terdiam, urung membuka buku. Ibu Retno kemudian tak mengeluarkan sepatah kata pun. Hari itu saya menghabiskan sisa jam pelajaran dengan jantung berdebar-debar dalam waktu yang terasa berjalan sangat lambat.
            Keesokan harinya saya pergi ke sekolah dengan jantung yang masih berdebar-debar. Saya takut ibu Retno akan marah lagi pada saya. Rupanya persangkaan saya salah. Ia berlaku biasa saja kepada saya, seperti tak pernah terjadi apa-apa. Saya lega dan berjanji untuk tidak mengulangi perbuatan mencontek lagi.
          Suatu ketika, saya mendapat ibu Retno tengah menatap tajam ke arah saya. Tak sepatah kata pun terucap dari bibir mungilnya. Hati saya bertanya-tanya, apa gerangan yang terjadi. Tanya saya baru terjawab usai jam pelajaran sekolah. Ia memanggil saya dan bertanya, “Mau tidak, ikut latihan menari? Kalau mau, minta izin pada ibumu, tanyakan apa Kamu boleh latihan menari di rumah Ibu.”
            Wow ... latihan menari? Kedengarannya menarik. Sesampainya di rumah, saya mengabarkan hal itu kepada ibu saya. Ibu menyetujuinya maka jadilah saya ikut latihan menari di rumahnya secara rutin. Rupanya ibu Retno merupakan pelatih tari bagi siswa-siswa SD Kompleks Mangkura untuk diikutkan berbagai lomba antar-SD di kota Makassar. Betapa senangnya saya, ini pengalaman yang luar biasa bagi saya.
        Saya bergabung bersama tujuh orang penari cilik lain, enam orang perempuan dan seorang laki-laki. Kami melakoni tarian berjudul ‘Jaka Tarub’. Tarian ini menceritakan tentang tujuh bidadari dari kahyangan yang turun ke bumi untuk mandi di sebuah sungai. Jaka Tarub yang mengintai kegiatan ketujuh bidadari itu, mencuri sebuah selendang yang ternyata milik bidadari yang paling besar. Selendang itu disembunyikannya sehingga sang bidadari tak bisa pulang ke kahyangan sementara keenam saudarinya sudah terbang dengan selendang mereka.
         Ibu Retno melatih kami menari dengan sabar dan lembut. Selain mengikuti lomba menari, ia mengikutkan kami pada sebuah acara di TVRI Makassar. Aih senangnya. Kerabat-kerabat di kampung ayah dan ibu dikabari untuk menonton acara itu pada hari tayangnya.
         Ibu Retno tak pernah sekali pun menyinggung peristiwa mencontek itu. Hingga waktu ulangan umum tiba, saya mampu mengerjakan soal-soal dengan baik dan tanpa mencontek. Saat penerimaan rapor, akumulasi nilai saya di atas nilai teman-teman sekelas. Di sisi sebelah kanan rapor saya tertulis ‘Ranking 1 Naik ke Kelas 3’. Ah, ini pengalaman pertama saya mendapat juara kelas. Dan ibu Retno, ia meninggalkan kesan yang mendalam bagi saya.
Makassar, 29 Desember 2011
Baca juga yang ini yah:

No comments:

Post a Comment