Monday, December 26, 2011

Pengalaman Tak Terlupakan di Masa Pengantin Baru

Masa pengantin baru tentu saja menjadi masa yang tak terlupakan. Karena di saat itu terjadi transisi besar-besaran dari kehidupan lajang kepada kehidupan bersama. Meski sudah mengenal suami di kampus, pelan-pelan muncul hal-hal nyata mengenai diri suami saya yang diikuti kalimat ‘Oooh ternyata dia itu aslinya seperti ini ...’ dalam benak saya (pastinya dia pun demikian he he he). Saya dulu sering kesal setengah mati sama suami saya karena sepulang kerja ia kembali sibuk dengan rutinitasnya sebagaimana yang ia jalani sebelum menikah: menekuni buku-buku, komputer, dan tontonan yang ia anggap menarik di televisi seolah-olah saya ini hanya penjaga rumahnya saja. Padahal seharian saya hanya ditemani tembok-tembok dingin dan acara televisi. Sesekali saja saya keluar rumah yang terletak di kawasan kota mandiri di tengah hutan Sumatera itu. Ingin sekali rasanya memecahkan komputer dan televisi itu, serta merobek-robek buku-bukunya. Tapi apa itu hal yang bijak? Absolutely not. Barang-barang itu kalau ditotal, harganya mahal, saya sangat yakin bakal menyesal di belakang hari jika berani melakukannya. Hmm, ini cerita saya. Ia pun pasti punya cerita mengenai emosi saya yang bisa tiba-tiba berubah ^_^. Oya, kisah lengkap tentang ini bisa di baca di sini.


Suatu hal yang memalukan, saya baru getol belajar masak setelah menikah. Saat itu adalah pengalaman pertama saya membeli tempe. Saya yang sangat awam soal masak-memasak sangat terkejut saat hendak memasaknya demi melihat ada bahan putih serupa bulu menyelimuti tempe itu. Dengan panik, saya langsung menelepon suami saya di kantor. Suami saya masih lebih pandai daripada saya dalam urusan masak-memasak. Saya ‘terpaksa meneleponnya’ karena saya belum punya kenalan baik di lingkungan baru kami. Kalaupun punya kenalan, malu dong meneleponnya untuk bertanya masalah ini ...
“Kak, kenapa tempenya begitu? Apa masih bisa dimasak kalau begitu?” tanya saya.
“Memangnya kenapa?” suami saya balik bertanya.
“Berbulu dan terasa panas,” jawab saya.
“Oooh tidak apa-apa, masih proses fermentasi itu. Dimasak saja,” jawab suami saya sambil tertawa ringan.
“Dimasak bagaimana?” saya masih bertanya.
“Terserah,” jawab suami saya
“Digoreng saja?” saya masih gigih bertanya.
“Boleh,” kata suami saya.
Belakangan baru saya tahu ternyata suami saya menggunakan speaker telepon saat menjawab telepon saya. Dan ia tidak sendiri saat itu, ada seorang kawan yang sedang bersamanya.

Sebelum menikah, calon suami saya mengajak saya untuk membaca buku-buku pernikahan. Beruntung ia maniak buku jadi ia tahu mana buku yang bagus untuk kami baca. Berdasarkan rekomendasinya saya membaca buku-buku yang ditulis oleh Fauzil Adhim (sejujurnya buku-buku itu milik dia yang dipinjamkannya kepada saya J). So, saya menghimbau kepada para lajang supaya melakukan yang sama karena banyak hal yang akan membuat kalian terkejut-kejut setelah menikah, maka banyak-banyaklah berbekal, di antaranya melalui buku-buku dan belajar dari banyak rumahtangga di sekeliling kalian, insya Allah akan sangat banyak membantu. Persiapan pernikahan bukan hanya persiapan secara materi dan persiapan kelengkapan hari H tetapi juga persiapan mental. (Saya punya tulisan tentang filosofi pernikahan, kalau berminat silakan baca di sini).

Buku ini baru terbit, judulnya 'Rahasia Pengantin Baru'
Cocok buat para lajang yang hendak memperbanyak bekal
penulisnya adalah seorang kawan saya
bernama Leyla Hana


Bagaimana berbaur dengan keluarga suami adalah sebuah prioritas bagi saya. Saya serius mengusahakan hal ini. Selain itu, sebagai orang yang lahir dan besar di ibukota provinsi, saya menyadari akan mudah bagi saya dicap sebagai ‘perempuan kota’ yang tak bisa mengerjakan pekerjaan rumahtangga oleh keluarga suami yang bermukim di daerah. Jika berada di rumah ibu mertua, saya tak pernah sungkan membantu beliau di dapur, mencuci piring, menyapu rumah, ataupun menyuguhkan minuman kepada tamu yang datang.

Beberapa kali ibu mertua saya datang membawa bahan-bahan yang masih harus diolah/dimasak. Adik ipar saya sering kali mewanti-wanti ibu mertua untuk mengajar saya mengolahnya, ia sudah yakin saja saya tak bisa melakukannya. Beberapa kali itu pula beliau menanyakannya dulu, “Bisa ji masak/bikin yang seperti ini?” Alhamdulillah, meski tak mahir setelah belajar banyak di awal pernikahan, saya bisa melakukannya.

Kalau pun saya belum pernah mengolah bahan yang beliau bawa, saya sudah pernah melihat orang lain melakukannya. Seperti pada suatu ketika beliau membawa tepung beras untuk dibuat putu pesse – kue khas Bugis. Dengan bahagia dan mantap saya mengatakan bahwa saya tahu caranya karena pernah melihat kakak dari ayah saya membuatnya sewaktu saya berkunjung ke kampung ayah di kabupaten Soppeng bertahun silam (bahagia dong  karena bisa pamer sama ibu mertua kalau saya bisa mengolahnya). Saya mengatakan kepada beliau, “Tepung ini kan dicampur dengan kelapa agak muda yang diparut dengan gula merah yang dicincang, terus dimasukkan ke dalam cetakan ...” Ibu mertua saya mengangguk dan berkata, “Oh, Saya kira Kamu tidak tahu ...” (Oya saya juga punya kisah mengenai hubungan saya dengan ipar, bila berminat klik saja di sini dan di sini  ^__^).

Saya berusaha untuk bisa berbincang akrab dengan ibu mertua, ipar-ipar, dan keluarga besarnya. Kalau pun tidak bisa berbincang akrab, sebuah senyuman hangat setidaknya bisa mencairkan suasana. Sebuah senyuman yang berasal dari hati yang tulus juga akan sampai ke hati. Bukan begitu?

Makassar, 27 Desember 2011

Silakan dibaca juga tulisan saya yang lain:

No comments:

Post a Comment