Tuesday, December 6, 2011

Ada(t) yang Tak Lekang

Iring-iringan kecil membawa sapi
         Baru akhir-akhir ini saya sering mendengar bunyi tetabuhan dan suling tradisional membentuk harmoni. Klasik tapi terdengar asyik. Awalnya saya mengira itu bunyi dari tetabuhan atraksi topeng monyet namun lama-kelamaan saya menyadari perbedaan bunyi antara keduanya. Setiap bunyi klasik nan harmonis itu terdengar, makin penasaran saya apa itu.
          Hingga suatu ketika saat saya tengah berada di warung sebelah, saya mendengar bebunyian itu mendekat. Makin jelas sehingga tampaklah iring-iringan kecil laki-laki dan perempuan mengenakan pakaian adat Makassar datang dari arah barat. Beberapa dari mereka membawa gendang dan serunai (suling tradisional). Saya tak menyia-nyiakan momen itu, segera saya aktifkan kamera HP dan menjepret. Dapat. Namun betapa kecewanya saya saat mengecek, ternyata gambar iring-iringan itu terhalang selembar baju yang sedang dijemur tepat di depan saya. Saya hanya mendapatkan sepotong saja gambar dari iring-iringan itu. Aih ....

Sayangnya momen ini terhalang jemuran
Iring-iringan menuju kuburan
Mereka membawa alat-alat musik tradisional

            Esok harinya, demi mendengar instrumen klasik itu melintas, saya bergegas keluar rumah. Suami saya menyusul keluar rumah sambil menggendong Afyad, ia sama penasarannya dengan saya. Tampak oleh kami sebuah iring-iringan kecil berbelok dari lorong sebelah rumah menuju arah barat. Seorang anak perempuan usia SD yang juga mengenakan baju bodo tengah dipanggul oleh seorang laki-laki.
            Rombongan apakah itu? Makin penasaran saya dibuatnya.
          Kepada seorang ibu - tetangga yang juga turut menyaksikan adegan itu saya tanyakan, “Mau ke mana itu?”
            “Ke kuburan,” jawabnya.
          “Itu tradisi dari orang-orang dulu. Biasanya kalau ada yang mau menikah atau mau disunat[i], mereka pergi ke kuburan tua di sana itu. Di sana ada ritualnya lagi,” lanjutnya.
Iring-iringan kembali menuju rumah.
Di bagian belakang ada anak perempuan
yang dipanggul.
            Oooooh ... mengerti saya. Baru saya tahu, rupanya masih ada ritual seperti ini di lingkungan kami. Memang di dekat rumah saya ada kuburan tua yang kelihatannya diistimewakan masyarakat sekitar, konon yang dikubur di situ bergelar ‘karaeng Rappocini’. Seseorang yang berpengaruh pada zaman dulu, kabarnya seorang tokoh agama yang disegani oleh masyarakat sini.
            “Orang yang hendak mengadakan hajatan membawa kue-kue[ii] untuk pak imam. Di sana pak imam membacakan do’a. Malah biasa mereka membawa sapi ke situ, sapinya dibawa mengitari kuburan. Biasa, tradisi orang-orang dulu. Masih ada yang melakukannya,” jelas ibu itu lagi.
           “Ooooh, begitu,” kembali mulut saya mengerucut. Ternyata saya tinggal dekat sekali dengan masyarakat yang masih memelihara tradisi seperti ini ya. Rupanya imam kelurahan masih bertindak sebagai tokoh penting dalam ritual itu.
          Kemudian perbincangan kami beralih ke hal-hal lain. Selang beberapa menit kemudian iring-iringan yang membawa bebunyian tradisional tadi muncul dari arah barat. Kali ini tampak oleh kami seekor sapi muda berada paling depan. Segera kami arahkan HP untuk mengabadikan momen itu.
            Terlepas dari pendapat pro dan kontra akan hal ini. Tulisan ini hanya bermaksud mengangkat realita yang ada di lingkungan saya. Bahwa ternyata hal-hal seperti ini masih begitu mengakar pada sebagian masyarakat kita. Entah kapan akan hilang.
Tampak 2 orang sedang memegang bosara
(tempat kue) sebagai hantaran kepada imam.

Makassar, 7 Desember 2011

No comments:

Post a Comment