Thursday, December 22, 2011

Hari Ibu: Perempuan Tangguh dari Pulau Garam

Perempuan tangguh itu
sedang menyendok songkolo' pesanan saya.
Dikutip pada 12 November 2011

Namanya mbak Mar. Ia seorang perempuan sederhana paruh baya yang tinggal di petak kontrakannya yang sekaligus menjadi warung tempatnya berjualan di dekat rumah saya. Saya mengagumi ketangguhan perempuan heroik ini dari percakapan-percakapan singkat dengannya di kala saya membeli songkolo’ (penganan khas Makassar yang terbuat dari beras ketan yang ditaburi kelapa sangrai) atau lauk rumahan (ikan goreng, tempe goreng, atau sayur) hasil racikannya. Meski bukan asli Makassar, ia piawai mengolah songkolo’. Orang-orang seisi rumah menyukai songkolo’ buatannya. Sulung saya Affiq bahkan berencana membawa songkolo’ buatan mbak Mar untuk acara makan-makan menjelang penerimaan rapor di sekolah tanggal 23 besok.

         Lebih dari dua puluh tahun yang lalu ia datang dari pulau garam – Madura. Logat Maduranya sudah sangat samar sehingga orang yang baru mengenalnya pasti mengira ia orang Makassar asli karena lidahnya sudah sedemikian fasihnya mengucapkan dialek Makassar. Ia telah beberapa kali menikah. Suami-suami terdahulu ada yang bercerai dengannya dan ada yang meninggalkannya demi perempuan lain. Ah ... sungguh miris mendengar kisah perempuan yang dizalimi perempuan lain.
Ia memiliki dua anak perempuan sepantaran saya, mereka tinggal di Madura. Sekarang ia mengasuh anak bungsu suami terakhirnya yang diperlakukannya seolah anak sendiri. Walau mengetahui siapa ibu kandung yang sebenarnya, anak laki-laki berumur tujuh tahun itu memanggilnya ‘Mama’.
Di petak kontrakan itu, ia rela berbagi ruang dengan seorang laki-laki berusia menjelang dua puluh beserta istri dan anak perempuannya yang masih bayi. Laki-laki itu tak lain adalah anak tirinya yang juga diperlakukannya seolah anak sendiri. Saya pun kerap menyaksikan ia memperlakukan mereka selayaknya keluarga sendiri. Saat si bayi sakit, saya membaca raut khawatir di wajahnya. Saat orangtua si bayi tengah bertengkar hebat, saya menangkap raut prihatin dan sedih di matanya yang merona merah lagi berembun.
         Sebelum ayam berkokok ia sudah sibuk memasak penganan yang hendak dijual hari itu. Walau sakit, ia tak pernah bermanja diri, rutinitas tetaplah rutinitas baginya. Ia tak pernah berkemul[i] sepanjang hari untuk menepis penyakit. Baginya, penyakit harus diusir dengan cara tetap bekerja keras. Pukul setengah delapan pagi ia berjalan kaki ke pasar, guna berbelanja sebagian bahan yang hendak dimasaknya untuk jualan hari itu. Pulang dari pasar, ia kembali sibuk memasak.
           Saya senang mengorek kisah-kisah heroik darinya. Bagi saya, ia seolah khazanah[ii] hikmah mengenai ketangguhan seorang perempuan. Baginya tak ada istilah menadahkan tangan kepada suaminya yang seorang buruh. Segala kebutuhan rumahtangga dipenuhinya sendiri tanpa mengeluh. Di saat-saat sulit di mana suaminya sedang tak berpenghasilan pun ia tetap melayani sang suami dengan baik.
         Selain itu ia cukup menguasai pengobatan herbal tradisional. Beberapa kali ia menceritakan kepada saya mengenai jenis-jenis tanaman tertentu yang bisa diramu dan digunakan sebagai obat untuk penyakit-penyakit tertentu. Ah, bebal sekali saya, mbak Mar. Saya tak pernah mencatat ilmu pengobatan yang engkau bagi kepada saya. Jika suatu ketika saya menyambangimu dan ‘mewawancarai’-mu lagi, bersediakah kau mengulanginya untuk saya?
Makassar, 22 Desember 2011
"Potret ini di ikut sertakan dalam Kontes Perempuan dan Aktivitas yang di selenggarakan oleh Ibu Fauzan dan Mama Olive

Baca juga tulisan saya yang lain yaaa  J ....



[i] Berselimut
[ii] Kekayaan; perbendaharaan

No comments:

Post a Comment